Gue terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat, mata gue sulit dibuka, mungkin membengkak karena terlalu lama menangis tadi malam. Terpaan napas hangat serta lengan kekar membelit tubuh membuat gue berbalik.
Arga masih tertidur lelap di samping gue, wajahnya tampak kuyu kelelahan. Sepertinya Arga bergadang lagi. Gue merasa bersalah atas emosi gue kemarin, entah gue yang terlalu sensitif atau terlalu lelah hingga gue tidak lagi bisa menahan diri.
Kami sama-sama sudah lelah, tapi kami juga tidak pernah melepaskan. Gue memang tidak ingin melepaskan Arga, tapi gue akan belajar ikhlas jika dia meminta perpisahan. Walau dalam hati gue berharap Arga masih mau mempertahankan gue, gue akan menghargai apapun keputusannya nanti.
Jemari gue bergerak menyentuh setiap inci wajah sempurnanya, dia tetap tampan meski wajahnya pucat. Membelai bibir pucatnya, gue maju memberikan kecupan yang lama tidak gue berikan pada Arga.
Rupanya sentuhan itu mengusik tidurnya, Arga mengerjap menemukan netra kami bersinggungan. Bibirnya tersenyum membelai puncak kepala gue mendaratkan kecupan dalam dan lama di dahi. Membuncah rasa yang sudah layu, dia masih sehangat dulu.
"Morning, wife."
Bibirnya bergerak turun, mengecup ujung hidung gue sebelum mengecup bibir gue. Pertama kalinya gue membiarkannya mencium gue lagi, gue tidak munafik, gue merindukan kecupannya di bibir gue.
Ibu jarinya bergerak pelan membelai bibir gue, "Aku rindu bibir kamu." "Senyum kamu. Pelukan kamu." sekali lagi dia mengecup bibir gue. "Aku rindu kamu, kita." getar suaranya menyakiti gue. Dia tampak terluka. Gue merasa semakin bersalah atas keegoisan gue, menganggap bahwa hanya gue yang terluka di sini.
"Kamu-capek, ya? Capek sama aku."
Dia menggeleng mencium punggung tangan gue, "Aku ga pernah capek sama kamu. Asal sama kamu, aku bisa menghadapi apapun."
"Boleh aku minta kamu bersabar sebentar lagi? Aku janji untuk selesaikan masalah ini secepatnya. Maaf, aku udah nuduh kamu. Ga percaya sama kamu." dia bergerak menyisir helai rambut gue, menyelipkannya di belakang telinga.
"I love you, I really do. Tolong jangan menyerah berjuang sama aku."
"Tapi... aku capek." gue bergumam lirih. Gue benar-benar sudah lelah untuk bersabar, karena pada dasarnya gue bukan orang yang penyabar.
"I know, cuma sebentar. Sebentar lagi, ya?"
Dia mendekap gue erat, menghantarkan aroma tubuhnya yang menenangkan.
"Maaf aku egois, aku ga mau ngelepasin kamu."
Ya Tuhan, apa ini karena gue adalah perebut? Gue yang merebut Arga dari Windy. Gue wanita jahat.
***
Kedatangan Windy pagi ini membuat gue jengah, perempuan itu masih juga semena-mena. Dan ketidakhadiran Arga membuatnya semakin seenaknya.
Gue berusaha keras mengabaikan kata-katanya yang terus menyudutkan gue, menyalahkan gue atas kehilangan yang dia rasakan. Tidak juga lelah meminta gue melepas Arga yang jelas tidak akan pernah terjadi. Gue ingin egois untuk memiliki dia.
Berbagai kata kasar juga sudah terlalu sering dia ungkap bahwa gue tidak lebih dari seorang pelacur, perusak yang tidak seharusnya hidup di Dunia.
"Saya, tidak akan melepaskan Arga!" tegas gue menatap padanya, "Saya tahu kamu yang lebih dulu hadir dalam hidupnya, tapi tetap saja, saya istrinya. Sah di mata hukum dan agama!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Where is My Happy Ending?
General FictionWhen broke girl looking for happiness. Story in Bahasa Warning! * Non Baku * Harsh Words * Mature Content * Part 12 silahkan DM, tapi saya tidak meladeni siders