6. The Storm

831 144 16
                                    

Fokus gue benar-benar kacau sekarang, gue tidak bisa memproses ceramah pak Hendri dan memasukkannya dalam kotak dalam otak gue yang memang tersedia untuk menyimpan materi kuliah. Gue sedari tadi banyak melamun membuat gue di tegur beberapa kali oleh beliau. Pikiran gue dipenuhi akan masalah-masalah yang lain.

Gue bingung disaat ini gue harus mendengarkan kata bokap atau nyokap, keduanya sama-sama minta didahulukan pendapatnya membuat mereka kembali berdebat di depan gue kemarin. Gue rasa orang tua gue lebih cocok menjadi politikus dibandingkan pengusaha, keduanya punya argumen yang tidak ada habisnya sampai kepala gue mau pecah dengan pertengkaran mereka.

Tidak ada kangen-kangenan antara anak dan orang tua padahal kami sudah tidak bertemu selama satu tahun, yang ada hanya pertengkaran mereka yang tidak ada habisnya walaupun sudah berpisah enam tahun belakangan ini. Kadang gue berpikir apalagi beban yang gue berikan pada mereka, disaat mereka membuang gue, gue tidak mempermasalahkan, disaat mereka tidak menghubungi ataupun menemui gue, gue juga tidak apa-apa. Sekarang pun mereka hanya perlu memberikan gue uang untuk kebutuhan sehari-hari karena uang kuliah gue yang sudah ditanggung pemerintah. Lalu apa lagi yang mereka ributkan? Atau mungkin pertengkaran mereka akan berhenti jika gue menghilang saja ditelan Bumi.

Sungguh miris, padahal rindu gue sudah teramat besar untuk kedua manusia yang berstatus sebagai papa dan mama gue. Mungkin jika bukan karena bantingan gelas kaca dari tangan gue, mereka masih bertengkar sampai pagi ini.

Gue sudah sangat lemas dan malas beraktivitas tapi merasa bertanggungjawab atas tugas gue sebagai mahasiswa. Perut gue memberontak beberapa kali menandakan gue membutuhkan asupan ke dalam lambung yang sejak kemarin pagi hanya terisi segelas susu dan dua lembar roti.

Dari kejauhan gue sudah melihat Raka melambaikan tangan memberi kode keberadaannya, gue memang lebih sering makan di fakultas Teknik tempat Raka berkuliah dibandingkan fakultas gue. Gue malas mendengarkan bisik-bisik mereka menggosipkan gue yang tidur dengan dosen atau menjadi simpanan pejabat hingga mendapatkan beasiswa padahal mereka tidak tau betapa kerasnya gue belajar bahkan hampir tidak tidur setiap ujian semester untuk mendapatkan beasiswa itu.

Manusia memang diciptakan untuk menilai satu-sama lain, tapi harusnya dalam artian positif bukan seperti manusia setengah siluman di kampus gue yang sibuk menilai gue negatif hanya karena penampilan gue yang katanya tidak jauh beda dengan perek yang dijual germo.

"Heh! Makan, malah melamun." Evelyn menyadarkan gue.

"Mikirin apa lo? Skripsi kaga kelar-kelar ye?" sindir Rena yang hanya gue tertawakan.

"Yah ada masalah dikitlah soal itu, Bab 3 gue harus revisi."

"Lagian lo cepet-cepet amat Dil, pake ngambil program 3,5 tahun segala."

"Gue beasiswa Lyn, ada limit buat lulus."

"Eh iya anjir, lo kan bitchy gue yang paling encer otaknya." ucap Evelyn.

"Iya, tapi beku kalo udah soal Arga." sambung Rena yang membuat Evelyn dan Fendi tertawa keras sambil memegangi perutnya sedangkan gue hanya berdecak sebal. Gue menangkap tatapan Raka yang seolah menyiratkan -gue tunggu cerita lo- yang gue balas dengan senyuman. Bukannya sok tau, tapi gue sudah sering mendapat tatapan yang sama oleh Raka karena memang dia orang yang pendiam di depan anak-anak tapi cukup banyak bicara hanya pada gue. Gue seneng akan itu karena membuat gue merasa special.

Setelah mengisi perut gue memilih berpisah dengan geng bitchy yang tidak berfaedah itu, beberapa dari mereka kembali ke kelas karena ada kuliah siang. Jadwal gue sangat senggang semester ini karena gue sudah mengejar SKS di semester-semester sebelumnya karena memang semester tujuh ingin gue peruntukkan untuk skripsi dan revisi yang tidak ada habisnya.

Langkah gue terhenti saat mendengar suara dua orang yang sangat gue kenal, gue mengintip sedikit di balik pohon dan benar saja itu Arga dan Dani yang sedang asik berbincang sambil sesekali meneguk soda. Jujur gue penasaran apa yang mereka bicarakan karena tidak biasanya Arga makan siang di taman belakang kampus yang sepi.

"Sampai kapan lo giniin Dila? Ngga kasian lo?" Dani membuka suara. Mendengar nama gue disebut membuat gue semakin tertarik dan menajamkan telinga gue menguping kelanjutannya.

"Ga tau gue, habis dia enak banget ga kaya jalang di club, bekasan."

"Bukannya lo bilang dia pengen udahan?"

"Makanya itu gue bersikap manis lagi biar dia ga pergi." entah kenapa rasanya nyesek mendengar ucapan itu terlontar langsung dari bibir Arga walaupun gue juga sudah tau.

"Jadi yang lo marah soal siapa itu namanya? Dien? Itu cuma pura-pura?"

"Dion ler. Gue beneran marah, bisa ajakan dia masukin Dila juga. Gue maunya cuma gue yang masukin dia."

"Anjing, emang lo ga ada rasa sama Dila?" gue mendengar suara Dani meninggi, tidak tau kenapa tapi sepertinya dia kesal.

"Nggalah, gue cuma butuh dia."

Gue termanggu dengan ucapan kejam yang terlontar dari cowo brengsek yang bodohnya gue cintai itu. Air mata gue mulai mendesak ingin keluar di sudut mata.

"Bajingan lo emang. Kenapa ga Windy aja lo masukin? Perawan kan dia? Beda loh rasanya sex dan making love. Dari pada lo nyakitin Dila."

"Ga! Gue ga akan ngerusak orang yang gue sayang!" ucap Arga penuh penekanan, "Lagian Windy sama Dila tu beda, Windy cewe yang gue cintai dan ingin gue jaga sedangkan Dila cuma jalang gue." air mata gue turun gitu aja tanpa izin, dada gue sesak, sakit baget mengetahui kenyataan kalau Arga selama ini menganggap gue jalang sama seperti yang lain.

"Tai lo, lo tau kan Dila cinta sama lo? Gimana kalau dia sampai tau?"

"Gue tau, justru itu yang bikin gampang mainin dia. Dia ga bakal tau kalau congor lo bisa dijaga."

Gue sudah tidak tahan lagi, selama ini gue sudah berusaha bersabar dan bertahan di sisi dia agar dia bisa menyadari ketulusan gue tapi ternyata dia hanya menjadikan gue budak nafsunya. Harga diri gue seperti diinjak di atas kotoran hina sekali gue di mata dia. Gue keluar dari persembunyian mendatangi dia dan temannya yang masih duduk di bangku taman membelakangi gue.

Plak!

Tangan gue dengan mulusnya mewakili semua emosi gue yang sudah sampai di ubun-ubun. Gue bisa melihat wajah kaget kedua manusia yang baru saja membicarakan gue tanpa merasa berdosa sama sekali.

"D-dil..." suara Arga sedikit berubah dari pada yang barusan gue dengar saat dia mengatai gue dengan sombongnya.

"Thanks buat gelar jalang dari lo." gue menarik kasar kalung yang melekat di leher gue lalu melemparnya tepat di muka cowok itu. Kalung pemberian Arga dua bulan yang lalu saat hari ulang tahun gue yang ke 21. Gue tidak sudi menyimpan barang pemberian dia lagi, sudah cukup.

Gue berlari kencang meninggailkan dua cowok yang masih terdiam di tempatnya setelah melihat kedatangan gue, gue masuk kedalam mobil dan membanting pintu dengan keras. Gue menghidupkan mesin dan mengunci pintu, kepala gue yang semakin pusing gue letakkan di kemudi. Air mata gue semakin deras gue ga mau kebut-kebutan lagi di saat emosi gue sedang kacau jadi sebaiknya gue harus sedikit tenang dulu. Isakan gue tidak mau berhenti terlebih setelah menyadari tidak ada orang yang benar-benar tulus untuk gue.

Ketukan kaca mobil membuat gue buru-buru menghapus air mata dan menoleh ke sumber suara.

"Dil, buka!" sial ngapain dia masih ngejar gue? Apalagi yang mau dia omongin?

Gedorannya semakin kuat ketika gue tetap mengalihkan pandangan dari dia, "Please Dil! kita ngomong dulu!" gue tertawa sinis dalam hati mungkin seharusnya tadi gue berpikir cepat untuk merekam pembicaraan mereka, karena itu sudah cukup menjelaskan semuanya.

"JANGAN GANGGU GUE LAGI BANGSAT!" pekik gue lalu menancap gas meninggalkan parkiran, gue bisa melihat di kaca spion dia berlari mengejar gue yang sayangnya sia-sia. Ga ada lagi perasaan tidak tega karena cinta, siapapun yang gue cintai hanya menyakiti gue.

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang