40. Lie to Me

619 105 2
                                    

Raka menatap gue dengan pandangan tak terdefinisi, matanya mengerjap beberapa kali menandakan dia dalam keadaan shock. Berkali-kali ia memandang gue dan juga layar monitor yang menyorot dalam rahim gue. Tapi tak lama dia tersenyum lebar, ada juga kelegaan yang gue lihat disana.

"Janinnya sehat pak, baru lima minggu, ibunya juga sehat cuma kecapean aja." dokter yang gue tau bernama Lyra itu beralih menatap gue setelah mebuliskan resep. "Hindari stres ya bu, bisa berpengaruh sama kandungannya."

Gue hanya tersenyum simpul lalu mengangguk, pikiran gue sudah sampai kemana-mana. Ini pertama kalinya gue mengandung saat berada dalam suatu ikatan, harusnya gue senang karena orang-orang tidak akan menerka lagi siapa ayah dari anak gue. Kebanyakan dulu teman kerja gue menganggap Dion yang okmenghamili gue karena saat itu dia yang benar-benar menemani gue selama tujuh bulan kehamilan gue sampai kepindahan Raka, mereka mulai bergantian menemani.

Kami keluar dengan bibir gue yang menahan tawa terlebih wajah Raka yang sedikit sebal. Dia digoda dokter tadi tentang hubungan intim selama kehamilan. Ya, dokter tadi berpikir dia suami gue tapi salahnya sendiri tidak membantah. Dulu dia juga tidak membantah ataupun mengiyakan jika ada yang mengecapnya sebagai suami gue, dia tipe orang yang hemat bicara dengan orang lain jadi malas menjelaskan. Belum tentu juga orang itu percaya katanya, sikapnyabyang cuek pada orang lain tapi cerewet pada gue membuat gue merasa istimewa untuk dia. Gue senang untuk itu.

"Gila si Arga, baru seminggu Elvan minta adek. Udah jadi aja." katanya menggoda gue.

Gue memukul kepalanya membuat dia meringis sambil mengusap kepalanya, "Ya ga langsung jadilah." balas gue tidak habis pikir. Dia kira hamil kayak bikin kue cepat jadinya.

"Tau gue, walaupun ga pengalaman hahaha..."

Kata-kata dia membuat gue spontan terbahak, gue baru ingat sahabat gue ini masih perjaka ting-ting. Padahal kalau dipikir-pikir Raka ini ganteng, banget malah. Tapi ya itu dianya kurang perduli sekitar, banyak perempuan yang terang-terangan mengejar dia tapi dia tetap acuh.

"Elvan pasti seneng mau dapet adek, dia bilang itu mulu. Pengen adek cewe katanya."

Gue mengangguk membenarkan, "Ya, dia bilang gitu juga sama gue."

"Gue seneng kali ini lo hamil dengan cara sehat." Dia bener jadinya gue tidak bisa menjawab dan hanya tersenyum tipis, "Arga pasti seneng." sambungnya lagi."

"Nanti biar gue aja yang kasih tau."

Rasanya gue tidak sabar melihat reaksi dia mengetahui gue sedang mengandung.

***

Batin gue gelisah dan sesekali melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam, Arga memang bilang mau lembur tapi biasanya tidak pernah sampai semalam ini. Paling lama dia lembur sampai jam sepuluh, itupun dia akan mengabari gue kalau sudah di jalan pulang tapi dari tadi tidak ada pemberitahuan apapun dari dia.

Ibu jari gue sibuk memencet remot TV mengganti siaran padahal tidak ada niatan menonton sama sekali, gue hanya menunggu Arga di ruang keluarga. Elvan sudah tidur dari jam setengah sembilan, setelah menidurkannya gue duduk di sini menunggu Arga yang tidak bisa dihubungi sama sekali. Akhirnya gue mematikan TV karena tidak ada yang menarik minat gue.

Hampir satu jam kemudian pintu rumah terbuka yang gue yakin itu Arga, benar saja itu dia tapi ada yang aneh. Gue berjalan mendekati dia yang sedang mengunci pintu, dia terlihat kaget mendapati gue di belakangnya dengan bersedekap tangan. Penciuman gue menangkap bau tidak asing yang dulu sangat akrab dengan kehidupan gue yang menyimpang.

Arga minum.

Mata gue menatap dia meminta penjelasan, "K-kamu belum tidur?" see? Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan dari gue, dari gelagat paniknya gue sudah tau dia tidak jujur.

"Where were you going? I smell something familiar." tutur gue dingin.

Dia mendekati gue dengan sempoyongan, oke he's drunk gue tau dia. Kalau sudah seperti ini setidaknya dia sudah minum satu sampai dua botol karena dia masih sadar walaupun sempoyongan.

"Sayang, aku bisa jelasin." katanya setelah berhasil memegang kedua lengan gue.

"Tell me then."

Arga terlihat memikirkan alasan yang membuat gue kesal, dia seperti mencoba membohongi gue. Kalau dia jujur gue tidak perlu menunggu lama untuk mendengar jawabannya.

"T-tadi aku nemenin Dani, tapi malah ikutan minum." Arga tidak sadar dia membohongi orang yang salah, ditambah dia yang setengah mabuk pasti sulit mencari alasan.

Gue melepaskan tangannya dari kedua lengan gue, kemudian menatap matanya lekat-lekat. Dada gue terasa sesak karena dia sudah mulai berbohong, sulit untuk membuat gue mempercayai seseorang tapi dia malah membuat kepercayaan gue terkikis.

"Don't you dare liying to me Arga Fernando."

Gue langsung berjalan menjauhi dia yang berusaha menahan gue, menaiki tangga dengan rasa kecewa bahkan menyiapkan pakaian gantinya dengan perasaan campur aduk. Dia terus berdiri di belakang gue tapi tidak gue perdulikan.

Setelah memberikan dia pakaian bersih tanpa sepatah katapun, dia segera masuk kamar mandi dengan raut wajah yang tidak gue pahami. Gue berusaha tetap berpikiran positif walaupun rasanya sulit sekali. Melihat Arga sampai membohongi gue dengan alasan lembur membuat pikiran buruk melingkup.

Daripada semakin stres gue memilih tidur, sulit sekali untuk sampai ke alam mimpi sampai tidak lama telinga gue menangkap suara pintu kamar mandi terbuka. Suara helaannya terdengar tapi gue enggan membuka mata, hormon ibu hamil menjadikan gue cengeng seperti hamil pertama dulu. Gue jamin akan menangis kalau gue membuka mata melihat dia.

Kasur di belakang gue bergerak yang gue tau Arga sudah berbaring di sana, gue masih juga tidak bisa tidur sampai pinggang gue terasa berat. Arga memeluk gue dari belakang, bahkan gue bisa merasakan bibirnya mengecup lekukan leher gue.

"Maaf sayang."

Sepertinya keputusan untuk tidak memberi taukan kehamilan gue sekarang adalah keputusan paling tepat. Gue kecewa dia membohongi gue.

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang