Gue terpaksa menginap di rumah Arga karena paksaan papanya yang masih ingin bermain dengan cucu, bahkan om Hermawan tidur dengan Elvan di kamar Arga, Elvan juga kelihatan senang main dengan opanya sampai lupa baru tiba di Jakarta.
Sesuai dugaan gue mamanya Arga tidak suka dengan kehadiran gue tapi masih bisa menerima keberadaan Elvan jadi sama sekali bukan masalah bagi gue. Satu yang menjadi beban pikiran gue sekarang setelah menelpon mama tadi, mama sudah menerima lamaran Arga dengan alasan yang sama, demi Elvan. Raka pun tidak bisa membantu karena dia dan mas Dion juga setuju membuat gue semakin pening.
"Hei." panggil Arga, gue hanya menggumam tanpa mengalihkan atensi pada luar jendela. Gue masih terlalu marah dengan dia yang mengambil keputusan seenaknya. Pintar sekali dia menjebak gue sampai gue pun tidak punya kuasa untuk menolak.
"Kamu marah ya?" gue masih diam membiarkan dia menatap gue dari samping tanpa gue hiraukan.
"Dila, jangan diam gini." bujuknya tidak menyerah, Arga masih sama saja dengan dia yang dulu. Tidak bisa mengerti kalau gue sedang tidak mau bicara dengan dia.
"Kamu harusnya bahas ini sama aku, kenapa tiba-tiba aja udah sampai sejauh ini Ga?"
Dia menghela nafas lalu memijat pelipisnya, gue melihat sepertinya dia juga tertekan dengan keputusan ini. "Papa yang ngambil keputusan tanpa menunggu persetujuan kamu, dia udah ga mau nunda pernikahan kita."
"Windy gimana? Kamu kan udah tunangan sama dia."
Arga menatap tajam pada gue, apa ini masih menjadi topik sensitif seperti dulu? Gue dan Arga tidak menjalin dosa seperti yang sudah-sudah, harusnya ini bukan apa-apa. "Could you think about yourself first?" tanyanya tajam.
Oke, gue memang terlihat memikirkan orang lain di atas diri gue sendiri padahal sebenarnya gue lebih mengutamakan diri gue. Gue merasa akan kembali tersakiti jika bersama dengan Arga dan itu alasan utama gue membahas Windy, agar dia menyerah.
"I've think about me so much, makanya aku menolak."
"Maksud kamu?"
"I wanna stop hurting myself, so I don't wanna be with you."
Dia terdiam mendengar ucapan gue yang mungkin saja membuatnya tersinggung atau kecewa. Gue ingin egois tentang ini, gue tau bahkan sangat tau Elvan membutuhkannya tapi bukan berarti dia harus bersama dengan gue. Akan lebih baik kita mencari kebahagiaan masing-masing dibanding bersama tapi saling melukai.
Pikiran gue yang seperti ini bukan tanpa alasan, ini yang gue pelajari dari masa lalu gue dan Arga. Memaksakan kebersamaan namun terluka karena perpisahan pada akhirnya. Itu baru hubungan tidak jelas, bagaimana pula rasanya jika terjadi dalam pernikahan. Yakin itu akan lebih sakit.
"Aku sama dia udah berakhir." lirihnya.
Nafas gue tercekat, suara gue hampir tidak keluar saking kagetnya. "Kenapa?" ucap gue setengah berbisik.
"Ini keputusan aku, aku ingin membangun hidup baru sama kamu dan Elvan."
"Jangan mengorbankan diri sendiri Ga." kata gue mengingatkan.
Arga melangkah mendekati gue, sedang gue hanya terpaku memandang sorot tajamnya. Dia mengangkup kedua sisi wajah gue saat gue akan berpaling menghindari tatapannya, mengunci gue dalam iris coklat pekat yang selalu saja menjerat gue sejak dulu.
"Let me try, Elvan itu kebahagiaan tersendiri buat aku. Aku akui aku sempat kaget dan menghindar, tapi ikatan ga bisa dibohongi Dil. Aku menginginkan Elvan bersama aku, dan aku mau kamu juga."
Gue hanya bisa diam dan menghela nafas, tidak tau harus menjawab apa lagi. Jika sudah menyangkut mama, gue tidak akan bisa menolak, mama orang yang lemah lembut tapi kerasnya melebihi papa. Saat ini gue hanya berpegang pada takdir, semoga apapun yang terjadi adalah yang terbaik untuk anak gue. Gue bisa dipikirin belakangan.
***
Tidak tau kapan tepatnya gue tertidur, rasanya kepala gue berat. Bukan karena gue minum alkohol, gue sudah berhenti sejak mengandung Elvan merokokpun susah payah gue hentikan. Tapi kepala gue berat karena kesulitan tidur dan kebanyakan berpikir. Keadaan sekarang membuat gue tambah pusing.
Gue meraba pinggang gue yang terasa berat. Ah gue lupa, Arga tidur di sini karena kamarnya dikuasai papanya dan Elvan. Dia memeluk gue lagi tapi kali ini gue biarkan, gue malah membalik badan menatap wajah tertidurnya. Sangat berbeda jika dia sudah bangun, dia terlihat sangat innocent dan menjadi berkali-kali lipat lebih tampan.
"Ganteng ya?"
Gue hampir terjungkal kalau saja tangan Arga tidak memeluk gue, malunya gue ketahuan memperhatikan dia yang sedang tidur.
Dia terkekeh-kekeh melihat ekspresi gue yang pastinya sangat memalukan terlebih rasanya muka gue panas banget. "Muka kamu merah." katanya polos. Sial dia malah goda gue bikin gue makin malu aja.
"Apa sih, awas aku mau mandi." Gue berusaha ngelepasin tangannya di pinggang gue tapi dia malah makin mengeratkan pelukannya membuat gue semakin tidak bisa lepas. "Arga ih." Sungut gue kesal.
"Dila, Elvan nyari- eh papa ganggu ya?"
Gue terlonjak mendorong dada Arga kuat sampai pelukannya terlepas kemudian duduk canggung di pinggir kasur, "Kalau masuk ketuk dulu pa." tegur Arga.
"Ga jadi dong adek buat Elvan." kata om Hermawan dengan nada bersalah.
"Astaga papa!" tegur Arga kesel.
Gue melihat Elvan berjalan gontai dari belakang om Hermawan sambil mengucek matanya, pasti dia baru bangun dan langsung nyariin gue. Kebiasaan, Elvan bisa tidur sama siapapun tapi kalau bangun harus ada gue. "Mommy..." Dia memanjat ke pangkuan gue dan langsung memeluk gue dengan mata terpejam.
"Kalau iya juga gapapa, Elvan umurnya udah cukup buat punya adek." Gue refleks menutup telinga Elvan, dia anak yang cepat menangkap hal baru. Jadi gue harus mencegah sebelum dia minta yang aneh-aneh.
Arga kelihatan mengacak rambutnya, dia pasti pusing dengan kelakuan papanya yang suka ceplas-ceplos ga tau tempat. "Pa, ada Elvan. Jangan ngomong aneh-aneh." Kata dia kesel. Om Hermawan malah ketawa kemudian pamit meninggalkan kami, ga mau ganggu keluarga bahagia katanya. Aduh makin pusing gue.
"Ga usah didengerin Dil, papa emang gitu." Kata Arga tidak enak.
"Santai aja." Balas gue, "Elvan mandi yuk." Ajak gue, dia malah menggeleng masih ngedusel di dada gue.
"Epan mau mandi sama daddy aja."
"Ya udah, kamu mandi duluan deh. Elvan sama aku aja." gue hanya mengangguk kemudian mengambil pakaian dan masuk kamar mandi setelah menyiapkan baju Elvan.
Saat gue turun, Arga dan Elvan sudah duduk di depan TV mengeringkan rambut sambil menonton kartun, gue lebih memilih ke dapur menyiapkan makanan Elvan. Takutnya dia rewel kalau makanan tidak sesuai seleranya. Di sana sudah ada mbak Asih, asisten rumah tangga yang kemarin sempat berkenalan dengan gue. Sepertinya dia baru mau memasak.
"Aku aja mbak." kata gue saat dia mulai mencuci daun bawang dan seledri.
"Eh, jangan non. Nanti saya dimarahin den Arga."
Gue tersenyum mengelus lengan mbak Asih, "Galah mbak, ngapain juga dia marah? Aku biasanya juga masak sendiri, tapi kalau mbak keberatan kita masak berdua aja." saran gue yang akhirnya disetujuinya.
Selama kegiatan memasak, gue dan mbak Asih bercakap banyak hal. Ternyata dia sudah bekerja disini sejak Arga masih SMA dan dia tahu kalau Windy tunangannya Arga. Sejenak gue berpikir kalau dia pasti kaget melihat gue yang tiba-tiba datang membawa anaknya Arga. Diapun mengaku akan keterkejutannya dengan tidak enak hati, tapi gue tidak mempermasalahkannya. Semua orang juga akan sama kagetnya dengan mbak Asih mengingat hubungan Arga dan Windy yang adem-ayem.
Yah gue memang perusak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Where is My Happy Ending?
General FictionWhen broke girl looking for happiness. Story in Bahasa Warning! * Non Baku * Harsh Words * Mature Content * Part 12 silahkan DM, tapi saya tidak meladeni siders