16. Secret

724 118 9
                                    

Sudah dua hari sejak gue bertemu dengan Arga waktu itu, gue masih berpikir apakah dia menang berhak tau apa yang terjadi dan gue alami selama berpisah dengan dia. Apakah dia akan menerima jika dia tau semuanya? Bagaimana kalau Arga sudah menikah atau akan menikah? Membayangkannya saja gue tidak sanggup, gue tidak mau menjadi perusak hubungan orang lagi. Gue terlalu pengecut memang.

Gue tidak akan memungkiri perasaan gue masih sama besarnya pada Arga meskipun ini sudah bertahun-tahun lamanya, seandainya kami tidak bertemu dalam keadaan yang salah mungkin gue sudah bahagia dengan adanya dia dalam hidup gue. Tapi pertemuan gue dan dia hanya menghasilkan drama picisan Peterpan dimana akhirnya Wendy tetap berpisah dengan Peterpan. Peterpan melepaskan Wendy memilih hidup masing-masing, persis gue dan Arga.

Porsche macan 2.0 gue memasuki gerbang sekolah Elvan, hari ini gue yang menjemput berhubung gue pulang lebih cepat dan Raka-Dion yang juga sedang sibuk-sibuknya.

Mata gue memicing menajamkan penglihatan, gue melihat Elvan menangis dalam pelukan seseorang. Gue berjakan dengan langkah lebar mendekatinya, gue khawatir sesuatu terjadi pada anak semata wayang gue.

"Elvan?" panggil gue memastikan.

Elvan dan laki-laki di hadapannya saling melepaskan pelukan, gue hampir tidak bisa bernapas melihat laki-laki yang di peluk Elvan, Arga.

"Mommy!"

Gue menangkap tubuh mungil Elvan dalam pelukan gue, dia kembali menangis bahka lebih kencang dari yang tadi. Gue menatap Arga yang juga masih berjongkok di samping gue dengan tatapan meminta penjelasan, dia menggeleng menandakan dia juga tidak tau ada apa dengan Elvan.

"Aku juga baru dateng, dia udah nangis gini." jelasnya, gue menggangguk mengerti.

Setelah lebih tenang gue menggendong dia ke bangku taman sekolahnya dengan Arga yang mengikuti di belakang gue. Elvan masih memeluk gue dengan erat. Gue memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dengan Elvan, dia bukan anak cengeng yang akan menangis karena hal sepele pasti ada sesuatu yang benar-benar menyakitinya.

Tangan gue bergerak menghapus air matanya saat dia melepaskan pelukannya, "Honey what happen hm?" tanya gue pelan.

"Mom, who is my daddy?"

Nafas gue tercekat saat itu juga, rasanya seperti mencari oksigen di ruang hampa.

"Ada apa sayang? Kamu kan udah punya papa dan papi."

Dia menggeleng dan kembali menangis membuat gue miris sendiri, pasti ada yang mengungkit ini di depan Elvan. "No mom, I mean my biological daddy. Siapa mom?" Ya Tuhan tau dari mana anak gue tentang ayah kandung, gue bingung harus menjawab apa. Gue tau lelaki di samping gue juga menatap gue penuh tanya, gue tau karena sedari tadi guepun melirik dia sesekali.

"Elvan, kenapa tanya itu sama momy?" tanya Arga sambil mengelus rambut Elvan.

"Mau ada pelayaan hali ayah di sekolah Epan, kata temen-temen Epan harus bawa daddy kalau ga Epan ga boleh ikut. They said bad think about me cause I haven't daddy."

Rasanya setiap oksigen yang gue hirup malah semakin memperparah sesaknya napas gue, tangan gue gemetar menahan tangis gue yang hampir pecah. Tiba-tiba gue merasakan tangan besar dan hangat menggenggam tangan gue.

"When it will be held?" tanya Arga.

"The day aftel tomollow." balas Elvan yang masih sesegukan.

Arga menatap gue cukup lama, gue hanya melihatnya sebentar lalu kembali menunduk karena mata gue yang sudah berkaca-kaca. Gue tidak sanggup menjawab pertanyaan anak gue jika sudah berhubungan dengan ayahnya.

"I can be your daddy, then I will come to the even with you."

Gue menatap Arga, terkejut dengan apa yang baru saja dia katakan. Gue menggeleng menandakan agar dia tidak melakukan itu tapi dia juga membalas dengan gelengan tanda dia tetap ingin melakukannya.

"So, can I call you daddy flom now?" tanya Elvan dengan polosnya. Arga mengangguk dan tersenyum padanya.

Elvan setengah meloncat ke dalam pelukan Arga, dia tampak bahagia berbanding terbalik dengan gue yang memalingkan wajah karena air mata gue sudah tidak dapat dibendung lagi.

"Thanks Alga daddy, I love you."

"I love you too my boy."

Gue semakin menangis mendengar lontaran kata sayang yang saling mereka lemparkan, ini menjadi tamparan keras untuk gue yang berusaha menutup diri selama lima tahun ini.

Elvan sama sekali tidak mau lepas dari Arga hingga dia tertidur dalam pelukannya, wajahnya masih sembab tapi terlihat tenang dan bahagia sekarang. Gue tidak akan menyalahkan Elvan atas apa yang terjadi, dia masih kecil dan tidak tau apa-apa tentang masalah orang dewasa. Tapi yang ingin gue permasalahkan kenapa Arga bertindak konyol seperti ini?

"Bisa bicara sebentar?" tanya gue setelah Arga membaringkan Elvan di dalam mobil.

Dia mengangguk lalu berdiri di hadapan gue yang sedang menyandar di pintu mobil.

"You shouldn't do that Arga, you're too much. Elvan bisa berharap banyak dari kamu." kata gue dengan kesalnya.

"Kamu ga kasian liat dia diperlakukan kayak gitu sama teman-temannya?"

"Tapi kamu ga perlu sampai bilang gitu ke dia. Toh sudah ada mas Dion dan Raka yang bisa menggantikan posisi itu."

"You don't understand Dil, dari Elvan ngomong tadi artinya semua udah tau kalau bang Dion maupun Raka bukan ayah kandungnya. Makanya dia dikatain."

Gue bungkam, benar yang dikatakan Arga. Pasti anak-anak dan guru di sini sudah tau akan hal itu, jika tidak Elvan tidak akan sesedih tadi.

"Biarin aku tempatin posisi itu buat dia." gue masih bergeming bahkan saat Arga menyentuh kedua pundak gue.

"Kamu tau darimana?"

Arga mengerutkan keningnya tidak mengerti, "Tau apanya?" tanyanya kembali.

"Kamu tau darimana mas Dion maupun Raka bukan ayah kandungnya?" pertanyaan itu terlontar begitu aja dari mulut gue tanpa gue sadari.

Dia menatap gue beberapa saat lalu menarik napas sebelum menjawab, "Raka yang bilang, aku ga sengaja ketemu dia kemarin waktu dia jemput Elvan. Aku yang nanya tentang kamu dan Elvan, dia cuma kasih tau kalau dia atau bang Dion bukan ayah kandung Elvan. Selebihnya dia suruh aku cari tau sendiri." dia kembali menatap gue dalam dan memegang kedua lengan gue.

"Siapa orangnya Dil? Siapa ayah kandung Elvan?" tanyanya lembut tapi tajam dan menuntut.

Gue tidak bisa menjawab dan malah menangis di hadapan dia, gue tidak mungkin menjawab pertanyaan Arga dan tidak akan menjawab pertanyaannya. Itu hanya akan menambah luka gue yang seorang pesakitan ini, bahkan lukanya bisa lebih besar dari pada yang gue rasakan dulu.

Karena ayah Elvan adalah Arga.

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang