Gue Nadila Ferosa Mandala, biasa dipanggil Dila. Bukan, orang-orang bilang gue bitch. Gue bukan orang yang perduli omongan orang yang sibuk berkicau soal hidup gue. Kehidupan malam emang bukan hal yang asing, hal-hal seperti itu bisa bikin gue lebih tenang di tengah-tengah hancurnya hidup gue. Lagian siapa perduli? Orang tua? Gue jamin ga akan.
Orang tua gue udah sibuk masing-masing dengan pasangannya. Ya, orang tua gue cerai dan meninggalkan gue. Tidak ada satupun yang mau menampung gue, itu salah satu pemicu gue yang awalnya cewek baik-baik jadi sebejat sekarang. Gue ga butuh duit mereka yang memenuhi rekening gue tiap bulannya yang gue butuhin itu kasih sayang mereka.
Lucu rasanya tiap kali bokap nyokap gue bilang sayang lalu meninggalkan gue karena pasangannya kurang nyaman dengan keberadaan gue yang dianggap orang asing bagi mereka.
Sampai akhirnya gue bertemu Arga, cowok yang selalu menemani kesepian gue yang tentunya ga dia kasih dengan gratis. Tubuh gue jadi bayaran buat keberadaan dia di sisi gue. Jangan pikir gue memberikannya ke semua cowo, cuma seorang Arga Fernando yang memiliki tubuh gue. He is my first and only sampe sekarang.
Udah dua tahun gue sama Arga menjalin hubungan ini, ga ada status hanya menikmati dosa-dosa yang kita buat hampir setiap harinya. Arga punya pacar yang sangat dia cintai namanya Windy dan ceweknya beda banget sama gue yang sekali liat aja keliatan brandalannya. Cewek dia suci, ga pernah sekalipun Arga nyentuh dia lebih dari ciuman. Dia punya libido tinggi yang mau ga mau dia harus nyari pelampiasan lain.
Arga juga ga sembarangan buat itu, dia ga mau bayar jalang yang bisa dia tidurin tiap malamnya. He want a virgin. Dia kenal gue dari Lay temen main gue di club. Awalnya dia ga percaya gue masih segelan karena penampilan gue yang udah sama aja kayak jalang yang biasa dipake temennya Dani, tapi ketika dia mengenal gue cukup lama dia tau gue kayak gini karena kesepian bukan karena gue murahan. Dia buktiin sendiri gue gelagapan waktu pertama kali dia nyium gue dan saat itu dia tau itu ciuman pertama gue.
Gue ga semudah itu memberikan kegadisan gue sama Arga, awalnya gue ga mau dan menolak dia bahkan sempat ngatain dia PK. Alasan gue nolak dia bukan karena dia ga memenuhi kriteria cowok yang gue inginkan, dia memenuhi banget malah. Arga itu ganteng banget sampai gue ga percaya dia manusia karena pahatan wajahnya yang terlalu sempurna. Alasan gue nolak karena gue takut dengan laki-laki, gue memang keliatan murahan tapi di balik itu gue trauma sama laki-laki setelah melihat bagaimana bokap gue nyiksa nyokap sebelum mereka cerai dulu, umur gue masih terlalu kecil buat melihat adegan kekerasan yang justru kadang dengan sengaja dilihatkan di depan mata gue. Selain itu, gue juga perempuan yang mengerti dan juga memikirkan perasaan Windy jika tahu pacarnya tidur sama cewe lain.
Sayangnya penolakan gue ga berlangsung lama. Arga tau kelemahan gue dan dia bisa memberikan apa yang gue butuhkan. Gue kesepian dan butuh seseorang yang menyayangi gue, Arga bisa ngasih itu. Dia keliatan tulus walaupun gue tau kenyataannya tidak seperti itu, tapi gue terlanjur bergantung sama dia sampai akhirnya gue memberikan apa yang dia mau asalkan dia tetap berada di sisi gue.
Udah banyak temen gue yang sama bejatnya ngingetin gue buat ga terlalu jauh sama Arga, ya Arga ga sekalem keliatannya. He is bad guy. Gue tau tapi gue tetap tutup mata.
Lamunan gue buyar saat Fendi merebut rokok yang bertengger di jari lentik gue dan menghisapnya tanpa dosa.
"Ga main sama Arga lu?" tanyanya sambil menghembuskan asap nikotin gue.
"Windy sakit."
Jawaban yang gue rasa cukup buat mewakili semua pertanyaan di kepalanya,
"Sampe kapan lu mau gini terus sama dia? Ga capek lu?" kali ini Evelyn yang entah sejak kapan nimbrung.
"Gue ga tau, liat aja nanti."
"Jangan sampe nyakitin diri sendiri Dil." Rena memperingati yang hanya gue angguki.
Pikiran gue makin kacau kalau udah disuruh mikirin nasib gue sama Arga, karena gue udah tau dia akan memilih siapa dan itu pasti bukan gue. Gue meneguk vodka yang udah gue pesen sampe habis lalu narik Raka yang duduk di samping gue buat turun. Raka temen yang paling tau gimana gue, dia paling pengertian kalau dibandingkan dengan yang lain dia juga ga banyak komen soal kehidupan gue karena dia udah tau seberapa hancurnya gue.
Gue dan Raka sibuk meliuk-liukkan badan ngikutin dentuman musik yang memekakkan telinga tapi terdengar indah buat gue. Dia meluk pinggang gue dan sesekali gue ikutan meluk dia. Kita memang sudah sering melanggar kaidah persahabatan yang harusnya senormal dan sepolos persahabatan Windy dan Reno. Tapi sekali lagi, gue nggak perduli.
Setelah gue dan Raka merasa lelah dan haus kita milih duduk di bar dari pada balik ke meja yang berisikan Fendi dan Evelyn karena diliat dari jauh aja kita udah tau mereka lagi ngapain, jadi gue dan Raka memutuskan untuk tidak mengganggu.
"Jangan kebanyakan minum lu, bawa mobil kan?" Raka mengingatkan.
"Gue lagi pengen mabuk."
"Ada masalah apa lu?" gue tersenyum simpul, Raka selalu tau kalau gue nyembunyiin sesuatu.
"Papa nelfon."
Raka hanya diam, dia tau masalah yang gue hadapi baru-baru ini dengan bokap gue. Tangannya sibuk mengelus tangan gue, gue lemah sama yang kayak gini pasti akhirnya gue bakal nangis sesegukan di depan Raka. Gue cuma cerita sama Raka karena dia yang terlihat paling tulus berteman sama gue, Arga pun tidak pernah tau lebih dalam masalah yang gue punya karena dia menanyakan keadaan gue hanya untuk basa-basi bukan perduli.
Entah berapa botol yang udah gue minum sampai akhirnya gue ga sadar lagi, juga tidak tau siapa yang bawa gue pulang ke apartemen. Gue merenggangkan badan gue lalu memposisikan diri untuk duduk, rasanya kepala gue pusing banget pasti efek kebanyakan minum.
"Udah sadar?" suara berat yang sudah gue tau jelas siapa pemiliknya menyapa pendengaran.
"Ngapain disini?" gue balik bertanya mengabaikan pertanyaan yang gue anggap tidak penting.
"Raka nelfon, katanya ga bisa bawa kamu kerumahnya. Bokapnya pulang."
Gue hanya mengangguk mengerti lalu mengambil segelas air yang Arga kasih, tenggorokan gue emang kering banget. Dia duduk menghadap gue menatap gue cukup lama tapi tetap gue abaikan dan lebih memilih memeriksa notifikasi ponsel yang ternyata sudah sangat banyak.
"Kamu kenapa?"
"Kenapa apanya?" tanya gue balik.
"Jangan pura-pura ga tau Dil, temen-temen kamu bilang apa sampe kamu jadi gini?"
"Maksudnya apa sih?!"
"Kamu jadi sering cuek sama aku!"
"You're too busy Arga! Gue cuma ga mau ganggu."
"Liar! There's something happen right? Kamu ga akan pake lo-gue kalo ga ada apa-apanya." Arga memang sebatu ini dan tidak pernah mengerti kalau gue sedang tidak ingin membahas apapun tentang keadaan atau sifat gue yang kadang sering berubah.
Arga kelihatan marah karena gue cuma diam enggan menanggapinya, dia biasanya orang yang tenang jika sudah seperti ini dia pasti punya masalah lain yang tidak ada hubungannya dengan gue tapi melampiaskannya kepada gue.
"Kalau ini karena seminggu ini ga menenin kamu, kamu udah tau alasannya kan? Dan aku harap kamu mengerti."
Gue tetap bergeming tidak menanggapi, tidak ada yang bisa gue bantah atau menjadi emosi di hati gue karena pada dasarnya gue dan Arga memang bukan apa-apa, kita cuma sex partner.
"Kalau aku ngomong di jawab Dil! Jangan diam aja!" bentaknya, dan yang gue lakukan setelahnya membungkam bibir dia dengan bibir gue. Jika sudah seperti ini gue sudah tau kalau dia sedang membutuhkan tubuh gue sebagai pelampiasan. Pada dasarnya tidak ada yang perlu dijelaskan dalam hubungan gue dan Arga yang memang sudah tidak jelas, jadi bicarapun percuma karena pada akhirnya yang akan Arga lakukan sama dengan yang gue lakukan sekarang.
Dia membalas lumatan gue dan mulai bermain kasar. Apa kata gue? He just need my body.
KAMU SEDANG MEMBACA
Where is My Happy Ending?
Fiksi UmumWhen broke girl looking for happiness. Story in Bahasa Warning! * Non Baku * Harsh Words * Mature Content * Part 12 silahkan DM, tapi saya tidak meladeni siders