14. What If

723 136 3
                                    

"Hai cantik."

Gue baru pulang dan langsung di sambut pelukan hangat dari laki-laki yang paling gue sayang, Raka. Dia sudah menggunakan baju santainya yang berarti dia menepati janjinya untuk menginap menemani gue dan Elvan selama Dion pergi.

"Gue kangen Ka." rengek gue, gue semakin menenggelamkan wajah gue di dada bidangnya, menghirup wangi maskulin khas Raka. Dia mengecup puncak kepala gue.

"Gue juga kangen, sorry gue sibuk banget beberapa minggu ini."

Raka melepaskan pelukannya menatap gue lama begitu juga gue, terlihat jelas dia kelelahan dan kurang tidur. Dia pasti terlalu sibuk sampai harus lebur.

"Habis ini kita kompres mata lo, serem banget sampe hitam gitu mana kantungnya gede lagi." dia tersenyum.

"Oke, but first. Tolong bujuk Elvan dong, dari gue jemput dia ga mau ngomong sama gue." katanya sambil menarik gue duduk di sofa.

"Itu susah kayaknya, dia ngomel-ngomel terus sampai nangis karena lo ga kesini." kalau sudah berhubungan dengan ini gue pasrah, Elvan lebih marah kalau Raka tidak menemuinya dibandingkan Dion yang suka menempeli gue kemana-mana. Elvan sama dengan gue yang sangat sayang dan tidak bisa jauh dari Raka.

"Eh sayang, sini sama mommy." panggil gue saat Elvan turun dari lantai atas.

Dia menggeleng kuat lalu menatap Raka tajam hingga Raka meringis melihat tatapan anak gue, "Stay away flom mommy, Epan still mad at you papa!" Ya Tuhan ini sifat galaknya turun dari siapa sih?

"Oh come on boy, papa minta maaf. Papa janji deh nemenin kamu seminggu ini oke?" bujuk Raka, sedang gue hanya bisa menertawakan pertengkaran mereka.

Elvan memasang mode berpikirnya sambil mengetukkan telunjuk mungilnya di dagu, "Oke, but papa must cook fol oul dinnel."

"Sure, everything for you boy."

Gue hanya diam saja melihat interaksi keduanya, melihat mereka rasanya hidup gue sudah cukup lengkap apalagi kalau Dion ada disini. Hidup gue terasa hampir sempurna jika sudah bersama mereka.

Elvan sedikit berlari ke arah Raka dan memeluknya erat lalu menangis sesegukan, dia anak yang kuat seperti namanya tapi dia akan lemah kalau merasa kehilangan apalagi kahilangan Raka. Gue lebih repot jika sudah menyangkut Raka.

Seperti janjinya, Raka memasak makan malam untuk kita. Dia terlihat sibuk dengan bahan masakannya dengan Elvan yang setia menempelinya seperti Koala, how cute. Gue jadi teringat dulu Raka tidak bisa masak bahkan rasa masakannya jauh dari kata layak dikonsumsi haha. Tapi sekarang masakan dia enaknya sudah seperti koki profesional. Sejak tinggal di London Raka belajar memasak karena ingin mencoba mandiri tanpa pembantu, gue saja yang mengajari kalah dari jagonya dia mengolah bahan makanan.

"Ini apa Ka?" tanya gue sambil menyendok makanan ke atas piring.

"Nakji bokkeum, itu menu khas korsel. Itu enak banget waktu gue nyobain disana jadi gue coba resepnya. Ga tau deh kalau gue buat gimana rasanya." jelas Raka panjang lebar.

"Enak pa, Epvan suka." katanya semangat, "Masakan papa emang the best!" pujinya. Raka tersenyum lalu mencubit pipinya gemas, "Makan yang banyak ya jagoan papa."

"Hm... Jadi masakan mom ga enak nih?" gue memasang raut pura-pura merajuk.

"No, bukan gitu mom. Masakan mom enak kok." ucapnya dengan mata melebar, "Tapi... Masakan papa lebih enak." lanjutnya polos membuat Raka terbahak sedang gue mendelik sebal ke arah Raka.

Gue cukup bahagia dengan hidup gue sekarang, nyokap juga sudah tidak memaksakan keinginannya pada gue. Meskipun gue sudah di negri orang, gue tidak pernah melupakan kedua orang tua gue. Bagaimanapun kejamnya takdir mempermainkan gue, gue tidak pernah membenci orang tua gue. Sampai matipun mereka tetaplah orang tua gue.

Sejak kehadiran Elvan mama jadi sering menelpon untuk mendengar suara cucunya atau melakukan video call melihat perkembangan Elvan. Awalnya gue pikir kehadiran Elvan akan ditolak mentah-mentah, tapi ternyata adanya dia malah memperbaiki kerenggangan gue dengan mama. Mama sayang Elvan dan gue bersyukur untuk itu. Sayangnya tidak berlaku untuk papa yang masih saja kasar dan tidak memperdulikan gue.

"Elvan udah tidur?" tanya gue saat melihat Raka keluar dari kamar Elvan.

"Ya, baru aja gue nina boboin bentar udah tepar. Kecapean dia."

"Dia kangen banget sama lo." kata gue sambil tersenyum.

"Hm... Sama kayak mommynya." ucap Raka sambil mencubit pipi gue pelan.

Gue menarik Raka ke dalam kamar yang hanya di turuti olehnya, dia duduk di pinggir kasur menunggu gue yang keluar mengambil baskom kecil berisi air dingin dan handuk kecil. Gue duduk di kasur, menepuk paha gue agar Raka rebahan di sana.

"Jangan gadang terus Ka, watch your health." kata gue memperingati sambil mengompres matanya.

"Maunya juga gitu tapi keadaan ga memungkinkan." jawabnya dengan suara serak sepertinya dia mulai mengantuk.

"Tapi vitaminnya diminum terus kan?"

"Iyaaa, liat aja tuh udah sisa setengah. Gue males kena omel mamah muda mulu." gue hanya tertawa kecil.

"Bang Dion udah nyampe?"

"Udah, tadi baru aja nelfon. Mau ngomong sama Elvan dan lo juga, tapi lo lagi boboin Elvan."

"Hm... Besok gue hubungin kalau dia ga sibuk."

Setelah selesai mengompres mata Raka gue berdiri akan keluar kamar tapi ditahan oleh Raka.

"Tidur di sini aja." gue hanya menatapnya tanpa menjawab.

"Katanya kangen gue, sini."

Dia menepuk bagian kosong kasurnya, gue tersenyum lebar lalu kembali naik ke atas tempat tidur membaringkan diri di samping Raka. Raka menarik tangan gue untuk memeluk pinggangnya yang gue turuti, dia memeluk gue erat dan mengelus punggung gue sesekali membuat gue mulai mengantuk.

"How is you day?" tanyanya.

"Bad without you."

Raka terkekeh kecil lalu mengelus kepala gue, "Manja lo, udah punya anak juga." sindirnya.

"Bodo, sampe lo punya anak gue juga tetep gini." dia tertawa semakin keras mendengar ocehan aneh gue. Tapi itu jujur dari hati gue, gue tidak mau jauh dari Raka sampai kapanpun. Dia sebagian dari hidup gue.

"Gue harus cari istri pengertian kalau gini ceritanya."

"Emang harus, karena gue bakal sering minjem suaminya." kita berdua sama-sama tertawa setelahnya karena pembicaraan bodoh ini.

"Dil, gue mau nanya. Tapi lo jangan salty ya." katanya hati-hati, sepertinya ini pembicaraan yang cukup penting hingga Raka menjadi seserius ini. Gue hanya mengangguk mengiyakan.

"Gimana kalau dia muncul lagi?"

Gue mengangkat wajah gue sedikit melihat wajah Raka dan menatapnya bingung, gue tidak paham dengan topik yang sedang dia bahas.

"Dia siapa?"

"Arga."

Jantung gue hampir lepas dari tempatnya mendengar nama itu kembali diungkit oleh Raka setelah empat tahun lalu terakhir kalinya gue mendengar dia menyebut nama itu saat pertengkaran hebat gue dan Raka dulu. Ada apa dia menanyakan hal itu pada gue? Pikir gue.

Perasaan gue kembali tidak karuan hanya karena satu nama itu, gue semakin menenggelamkan diri dalam pelukan Raka, menghirup wanginya untuk menenangkan hati gue yang tiba-tiba menjadi kacau.

"Gue... ga tau."

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang