23. Akward Morning

697 111 3
                                    

Sinar matahari menembus jendela kamar yang tidak tau kapan grodennya sudah terbuka lebar, gue ngengernyit merasakan sinar yang langsung terpapar di pelupuk mata gue. Mengingat ini weekend gue memutuskan kembali tidur setelah melihat jam di atas nakas masih menunjukkan angka tujuh. Gue mengeratkan pelukan pada... Tunggu! Ini kok gue meluk badan cowo? Kan tadi malam Raka ga nginep.

Pelan-pelan gue mengadah melihat wajah orang yang gue peluk ketika dia menggeliat dan merenggangkan tubuhnya dengan posisi masih memeluk gue.

Hell!

Arga juga menatap gue sama terkejutnya. Gue langsung mendorong dadanya menjauh, dengan cepat gue duduk membelakangi dia sambil memegang dada gue yang sudah seperti beduk masjid dipukulin. Suaranya kenceng banget. Malunya gue, ga berani melihat wajah Arga. Lagian kenapa posisinya bisa gitu sih?

Tiba-tiba gue sadar ada yang kurang. Anak gue mana?

Gue pengen nanya sama Arga kemana perginya Elvan tapi suara gue saja tidak mau keluar.

"Mm... Elvan mana Dil?"

Mendengar suaranya saja gue sampai menahan nafas, ga mungkin kan gue pake bahasa isyarat membalas pertanyaannya? Memalukan. Tenang Dil, tenang.

"Ng-ngga tau, kok bisa ga ada ya?" what the... Biasa aja Dila pekik gue dalam hati.

Tidak tahan dengan kecanggungan, gue memutuskan keluar kamar mencari Elvan yang ternyata Arga mengikuti di belakang. Baru sampai di ruang tengah gue melihat Dion memasak di dapur. Raka membalikkan tubuhnya ke arah gue. Sial! Mati lo di tangan gue Ka!

Raka nyengir meggoda gue dan Arga yang masih canggung setengah mati. Dia menggendong Elvan yang masih tidur menyandarkan kepala di pundaknya. Ini jelas siapa pelakunya, anak jahanam bernama Raka ini pasti mengambil Elvan yang masih tidur di tengah kami. Gue menatapnya dengan tatapan membunuh mengisyaratkan -mati lo habis ini. Tapi dia malah mencibir mengejek.

"Udah bangun? Nyenyak banget tidur berdua." Anj- jahanam lo Raka! Gue bantai lo.

"Lo, pasti lo yang punya kerjaan!" kesel gue.

Dia malah menggedikkan bahu tidak perduli lalu mengedip nakal.

"Untung lagi gendong anak gue ya lo!"

"Udah Dil, dulu juga kita tidur bareng kan?" gue langsung menatap Arga horor, dia sama Raka malah ketawa kenceng. Sebel gue, gue langsung memukul badannya brutal tidak perduli dia mengaduh minta ampun.

Elvan terbangun mendengar keributan yang kami buat, dia mengucek matanya melihat sekeliling dengan mata setengah terpejam. Dia mengedip beberapa kali melihat gue yang masih memukul Arga.

"Mom kenapa mukulin daddy?"

Gue menghentikan pukulan gue, "Karena daddy jahat sama mom sayang." jawab gue disertai lirikan tajam pada Arga.

Raka menurunkan Elvan membiarkan dia berjalan ke arah Arga, "Daddy nakal! Ga boleh jahat sama mom!" dia memukul Arga kuat-kuat.

"Aduh! Ini anak sama emaknya sama aja! Aw!"

"Sorry Ga, gue ga ikutan kalo Elvan udah turun tangan hahaha...."

Gue tertawa jahat, puas melihat Elvan menyiksa Arga.

"Heh! Udah, masih pagi udah ribut aja. Ayo makan." Dion menginterupsi kemudian menggendong Elvan.

Kami hanya menurut mangikuti Dion ke meja makan. Seperti biasa, Raka akan menjadi manusia paling heboh selama makan menceritakan semua kejadian yang dianggapnya lucu dan memang lucu menurut gue hingga kami yang duduk di meja makan terbahak. He's that kind of man and I love it. Dia tau caranya mencairkan suasana.

"Hari ini jadi kan?" tanya Dion tiba-tiba.

"Jadilah, gila aja gue udah bela-belain kesini pagi-pagi." sahut Raka.

"Hhdwi he fhanhai han?" Elvan membuka suara dengan mulut penuh.

Gue mengelap mulutnya yang belepotan karena makanan menyembur dari mulutnya, "Telan dulu makanannya sayang." tegur gue masih sibuk membersihkan sisa makanannya.

Perasaan gue ga enak merasakan ada yang menatap gue dari tadi, gue melirik ke arah Arga yang menjadi satu-satunya yang mungkin ngeliatin gue sama Elvan karena dari tadi diam aja tidak ikut nimbrung dengan pembicaraan Dion-Raka. Benar saja, pandangan kami bersiborok yang kemudian dia melempar senyum pada gue tentu saja gue balas.

Kembali gue memfokuskan diri pada pembahasan Dion dan Raka yang masih sibuk mendiskusikan perlengkapan apa yang akan mereka bawa karena kami berencana menginap di penginapan sekitar pantai.

"Lo ikut Ga?" tanya Dion membuat gue melotot, dia gila mau bawa manusia ini bareng kita?

"Daddy ikut kok, ya kan daddy?"

Oke, kalau sudah anak gue yang bicara gue akan diam saja tidak ikut menimpali, pasti dia sedih kalau-kalau gue menolak mengikut sertakan Arga di liburan singkat kami.

Arga menatap gue, "Kalau mom boleh, daddy ikut." dia benar-benar menyudutkan gue hanya dengan pernyataan barusan, terlihat jelas dia menampakkan kalau gue adalah satu-satunya yang membuat dia tidak bisa bersama anaknya. Gue rasa ini masih berhungungan erat dengan pembahasan kami tadi malam.

"Apa sih Ga? Terserah kalau mau ikut juga."

"I wont go if you feel unconfortable."

"Ngawur kamu, kalau Elvan mau ya ikut aja." kata gue mulai kesel.

"Heh! Malah pertengkaran rumah tangga."

"Maaasss..." rengek gue kesel, rumah tangga seolah jadi topik sensitif buat gue terlebih mengingat perdebatan gue dan Arga.

"Ck! Udah ah, malah ribut. Ga kasian sama anak kalian udah cemberut?" tegur Raka.

Perhatian gue teralihkan melihat anak gue di samping yang memang terlihat tidak senang sambil mengunyah makanannya malas, harusnya gue ga ribut sama Arga di depan dia. "Maaf ya sayang." bujuk gue seraya mengusap kepalanya.

"Aku ga suka mom sama dad kayak tadi, mom sama dad ga saling sayang ya?" pertanyaan Elvan barusan sukses membuat gue makin pusing, pasti racun dari temennya lagi ini.

"Elvan kok ngomong gitu?" tanya Dion hati-hati.

"Katanya kalau Elvan lahir itu karena mom sama dad saling sayang."

Bingo, ada yang meracuni otak anak gue lagi. Gue menghela nafas memijit pelipis gue kemudian, sepertinya gue akan memindahkan Elvan dari sekolah itu secepatnya. Makin kesini perkataan anak gue semakin membuat gue mati kutu.

"Mom sama dad berantem bukan berarti ga sayang, iya kan mom?" tanya Arga ke gue. Jujur, gue bingung harus jawab apa tapi ini demi anak gue yang udah keliatan sedih banget.

Pada akhirnya gue senyum seraya mengelus kepala Elvan, "Iya, mom sayang kok sama dady."

Gue ga ngerti, tapi rasanya kata-kata itu keluar tulus dari hati gue. Sebegitu besarnya perasaan gue ke dia sehingga bisa bertahan sampai sekarang.

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang