8. Uncovered

735 140 9
                                    

Gue tidak tau apa yang Raka lakukan pada Arga hingga cowo itu tidak lagi mengganggu gue selama satu bulan ini. Gue lega sekaligus rindu, bodoh! Untuk apa gue merindukan laki-laki yang hanya menganggap gue pelacur? Cinta ternyata memang sebodoh itu.

Selama sebulan ini gue lebih fokus dengan sidang skripsi gue yang akan dilaksanakan minggu depan, jujur gue gugup dan takut. Hasil sidang ini sangat menentukan kelancaran niatan gue untuk bekerja di tempat incaran gue yang mempersyaratkan IP cukup tinggi, sebenarnya IP gue tanpa sidang sudah sangat cukup tapi gue ingin memeroleh nilai yang lebih baik agar menjadi pertimbangan sendiri bagi mereka. Selain itu gue ingin menjadi lulusan terbaik, bukan untuk kebanggaan orang tua atau apapun tapi gue memang orang yang ambisius dan tidak mau berada di bawah.

"Gimana bimbingan tadi?" tanya Raka yang tidak gue sadari kedatangannya.

Gue tidak berniat melihat ke arahnya karena kepala gue yang sangat pusing setelah bertemu prof. Hartono, pembimbing gue.

"Katanya udah bagus, tapi gue masih ngerasa kurang." jawab gue.

"Eh bitchy ku sayang, pas latihan di depan kita kemaren lo udah keren banget tau." sanggah Rena.

"Lagian apa yang kurang lagi sih? Kan minggu depan udah sidang lo." tanya Fendi.

"Ilmu gue masih kurang." jawab gue asal.

"Anjing pengen gue lempar dari atap gedung lo ya!" Evelyn menimpali, "IP lo aja paling gede seangkatan! Wah ga bersyukur lo." omelnya sambil meletakkan jus tomat di depan wajah gue yang masih terletak pasrah di atas meja.

Gue mengangkat kepala, "Buat gue nih?" tanya gue antusias mengabaikan cercaan dari Evelyn.

"Hooh, kan cuma lu yang suka jus aneh itu."

"Aaaa love you bitchy ku."

"Yeee... Giliran gratisan aja sayang lo sama gue." desisnya yang membuat gue dan yang lain tertawa.

Brak!

Gue hampir tersedak jus tomat saat seseorang menggebrak meja yang gue tempati, gue melihat pelaku dengan kesal. Shit! Itu Windy dan Reno. Otak gue berpikir apa yang terjadi sampai-sampai ratu kampus mendatangi meja gue dengan tatapan emosi seperti ini.

"Lo yang namanya Dila kan?!" bentaknya menunjuk wajah gue.

"Iya, ada apa ya?" gue berusaha menjawab sekalem mungkin.

Gue bisa melihat kilatan emosi di mata Windy sepertinya dia semakin berang melihat ketenangan gue, dan bisa gue tebak ini ada kaitannya dengan Arga.

"Ga usah sok suci lo pecun! Lo tidur sama cowo gue kan?!"

Kali ini gue tidak bisa menyembunyikan keterkejutan gue mendengar bentakannya, bukan karena suaranya yang menggelegar di penjuru kantin tapi karena apa yang dia ucapkan. Dari mana dia tau? Pikir gue.

Diamnya gue tampaknya semakin memancing emosinya untuk bertindak lebih lanjut.

Plak!

"DASAR LONTE!!! BERANINYA LO GODA COWOK GUE!!!"

"SIAPA YANG LO BILANG LONTE HAH?! COWOK LO YANG NGEMIS KEPERAWANAN TEMEN GUE ANJING!!!" bukannya gue yang terpancing, tapi Evelyn. Dia bahkan sudah berdiri dari duduknya namun ditahan oleh Fendi dan Raka. Gue masih terdiam merasakan denyut di pipi kiri gue karena bekas tamparan Windy.

"DIEM LO!" bentak Reno pada Evelyn.

Windy mencengkram kerah kemeja gue kuat hingga tubuh gue sedikit maju, "Ngapa diem lo?!" gue seperti orang gagu, tidak ada satu katapun yang bisa gue keluarkan.

"Lepasin temen gue anjing!" teriak Evelyn.

"Windy udah!" kemeja gue terlepas dari cengkramannya. "Aku yang salah, bukan dia!"

"Kenapa kamu belain dia?! Mulai cinta kamu setelah tidur sama dia?!"

"Windy!" bentak Arga.

"Berani lo bentak Windy gara-gara jalang lo?!"

"Ga usah ikut campur lo Ren, bukan urusan lo!"

"Ini urusan gue! Windy sahabat gue!" bentak Reno tidak mau kalah.

Gue masih tetap diam dengan air mata yang sudah siap jatuh di pelupuk mata gue, hal yang paling gue takutkan selama menjalin hubungan dengan Arga terjadi juga. Pada akhirnya, sepandai pandainya menyimpan bangkai pasti akan terendus juga.

Rambut gue ditarik dengan kasarnya oleh Windy hingga gue meringis kesakitan, "Berani lo deketin cowok gue lagi, habis lo sama gue!!! Aw!!!" Raka menarik kasar tangan Windy dari rambut gue.

"Berani lo main fisik sama Dila, habis lo sama gue!!!" ucap Raka seolah membalikkan ucapan Windy.

"Oh, udah ada mainan baru ternyata. Sekali lonte tetep aja lonte!"

Plak!

Gue terbelalak kaget melihat pelakunya, tidak biasanya temen gue yang paling kalem melakukan hal kasar.

"Jaga mulut lo ya! Temen gue bukan lonte! Cowok lo aja yang napsuan!!! Benerin dulu cowok lo sebelum ngatain temen gue!!!" bentak Rena.

"Ayo guys!"

Rena menarik tangan gue mengikuti dia dan gue hanya pasrah diikuti yang lainnya di balakang gue. Gue tidak menangis sama sekali tapi rasanya sakit, buka bekas tamparannya tapi mulut pedasnya.

Tubuh gue limbung, oleh tarikan yang membawa gue ke dalam rengkuhannya. "Nangis Dil, jangan ditahan." Rena memeluk gue erat begitu kami sampai di tempat parkir.

Air mata gue yang tadinya sudah mengering menyeruak dengan derasnya, gue tidak perduli tempat lagi. Gue hanya ingin melampiaskan semua rasa sakit gue. Evelyn memeluk gue dan Rena, ikut menumpahkan air matanya.

Seandainya gue tidak dibuang oleh orang tua gue mungkin tidak akan seperti ini jadinya, mungkin gue masih anak baik-baik seperti dulu yang jangankan ke club dan minum, berpegangan tangan dengan laki-laki saja gue bisa dihitung dengan jari. Gue marah, bukan karena harga diri gue semakin jatuh karena Windy atau karena orang tua gue, tapi gue marah sama diri gue yang rusak ini.

"Gue...hina...banget." ucap gue terbata di sela tangisan gue.

"Ngga Dil, lo ga hina. Lo kayak gini bukan salah lo." timpal Evelyn terisak.

"Jangan dengerin dia, dia ga tau hidup lo seberat apa." Rena melepas pelukannya dan menyeka pipi gue yang sudah basah padahal dia juga sama mengenaskannya.

"Eh Fendi! Nangis lo?!" suara Raka menginterupsi.

"Gue ga bisa liat yang beginian, terharu gue." Fendi mengelap air matanya.

"Anjir malu-maluin lo jadi pacar." sungut Evelyn yang masih terisak membuat kita tertawa.

Gue bersyukur memiliki mereka, walaupun sama rusaknya tapi mereka orang yang baik. Semua orang yang memandang kami dari satu sisi akan selalu berkicau akan buruknya pergaulan kami, tapi tanpa mereka sadari hubungan kami lebih murni dari mereka yang ngakunya bersahabat tapi saling menjelekkan di belakang. Otak kita memang tidak suci, badan kita juga, tapi hati kami jauh lebih suci dari manusia di luar sana.

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang