Pernikahan memang ga selalu mulus layaknya yang ditampilkan di layar televisi, pasti ada saja masalah baik masalah besar ataupun kecil. Kebohongan Arga hari itu gue anggap cobaan pertama dalam rumah tangga kami. Walau sampai sekarang Arga belum menceritakan perempuan mana yang bersamanya malam itu, gue berusaha percaya kalo Arga ga akan sekejam itu menyakiti gue.
Hubungan kami mulai kembali pada porosnya, masalah yang lalu sama-sama kami kubur demi kelangsungan hubungan ini. Gue sadar tidak ada jalan yang mudah dalam hidup, setiap orang punya rintangan berat bagi yang menjalani.
Kini gue disibukkan dengan kegiatan mendekorasi kue tart bersama Joy dan Elvan, sembari menunggu kepulangan Raka dan Arga yang pergi entah kemana. Hari ini ulang tahun Arga, dan Raka sengaja gue minta membawa Arga keluar rumah agar gue bisa menyiapkan kejutan kecil-kecilan untuk suami gue.
Dekorasi juga sudah terpasang rapi, badan gue terasa lelah tapi senyum merekah anak gue menghilangkan penat yang terasa. Gue kembali bersemangat, terlebih ini hari spesial dimana gue akan memberi hadiah besar pada Arga. Mama Rasti dan Papa Hermawan juga ikut membantu sedari tadi.
"Kamu agak gemukan ya?" mama Rasti mendekat membawa satu piring besar berisi pismol gurame.
"Masa sih ma? Padahal aku lagi ga selera makan." gue memperhatikan tubuh dari pantulan lemari pendingin.
"Iya loh, kamu lagi isi?"
Mata Mama kelihatan berbinar, gue terkekeh geli. Memang beda kalo yang sudah pengalaman, langsung tahu perbedaan yang sedang hamil dengan tidak.
"Eh iya juga ya, aku pikir perasaanku aja. Mbak emang agak berisi, pipinya tambah tembem." Joy menoel-noel pipi gue.
"Doakan aja ya." gue masih belum mau memberi tahu sebelum perayaan, nanti bukan kejutan lagi namanya.
"Aamiin, papa udah ga sabar gendong cucu. Papa pesen cewek ya, biar pas sepasang."
"Dih papa, emang makanan bisa dipesen gitu." Joy berdecak menggelengkan kepala.
Gue sangat terharu dengan kehangatan keluarga ini, sesuatu yang tidak pernah gue dapat di masa lalu. Baru kali ini gue merasakan keutuhan keluarga, kebahagiaan keluarga harmonis yang selalu gue impikan. Terlepas dari rasa bersalah gue pada Windy, gue bahagia sudah menjadi bagian keluarga ini.
"Loh, sayang. Kok nangis, nak?" Mama Rasti mengusap pipi gue yang entah sejak kapan dibanjiri air mata. Mungkin hormon kehamilan membuat gue lebih sensitif, gue bukan perempuan yang mudah menangis tapi belakangan gue mudah sekali meneteskan air mata untuk hal kecil sekalipun. Arga kadang sampai panik karena melihat gue menangis, padahal gue hanya terharu dengan perhatian yang dia berikan.
"Ngga kok ma, aku lagi seneng." gue terkekeh.
Raut Mama Rasti berubah sedih, sedikit banyak dia tahu bagaimana keluarga gue dulunya. Tidak tahu siapa yang menceritakan, waktu itu mama tiba-tiba saja datang ke rumah gue dan Arga untuk menumpahkan kesedihannya. Saat itu mama menangis sesegukan sambil memeluk gue. Gue tidak bertanya siapa yang memberitahukan karena keadaan mama saat itu sangat parah.
"Ngga apa-apa ma, tenang aja."
Gue mengusap lengan mama sebelum memindahkan kue yang sudah selesai kami hias. Tinggal menunggu kepulangan Arga dan Raka yang katanya sudah di jalan pulang. Gue berganti pakaian dan berdandan, ingin tampak cantik di depan Arga. Elvan dan yang lainnya juga sudah siap menyambut Arga.
Saat deru mesin mobil terdengar, papa dan Joy berdiri di sisi pintu memegang snow spray, gue memegang kue yang sudah di hiasi lilin menyala. Hingga pintu perlahan terbuka papa dan Joy menyemprot tepat di atas kepala Arga. Kami serempak menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Tampak jelas keterkejutan di wajah Arga, kemudian senyumnya mengembang mendekati gue.
"Make a wish." pinta gue.
Arga berdoa kemudian meniup lilin dengan angka 28, dia mendekat mengecup kening gue.
"Makasih sayang."
"Istrinya aja nih, yang lain ga di ucapin makasih?" Mama dengan nada merajuknya.
Dia terkekeh mencium pipi mama mengucap terima kasih, juga berterima kasih pada semua yang memberi kejutan di hari spesialnya. Saat semua sibuk memakan kue dan Arga juga sibuk menyuapi Elvan, gue memisahkan diri mengambil hadiah istimewa untuk dia yang gue taruh di bawah tempat tidur.
Saat gue turun, Arga sedang membuka hadiah yang diberikan Raka. Sekilas gue tahu itu jam tangan yang gue tafsir harganya bikin gue mengelus dada. Raka memang seroyal itu.
"Waw... Thanks bro." Ia memeluk Raka sekilas.
Arga tersenyum mengulurkan tangan menyambut gue duduk di sampingnya, memberi kode lewat mata bahwa ia ingin melihat apa yang gue bawa.
"Buat kamu."
Dia meraihnya, membuka tidak sabaran. Butuh waktu lama melihat respon Arga karena dia terus menatap isi kotak yang gue berikan tanpa berkedip.
Arga menatap gue kemudian kotak di pangkuannya bergantian.
"I-ini... K-kamu..."
Gue terkekeh melihat dia tergagap, hanya mengangguk memberi jawaban dari pertanyaan yang sudah jelas dari Arga.
Meletakkan kotak di atas meja, dia memeluk gue erat, bibirnya mengecup pundak gue berkali-kali. Lalu mengecup seluruh wajah gue, "Makasih sayang, kebahagiaan aku lengkap hari ini." Dia mengusap perut gue.
Teriakan heboh terdengar, Joy memegangi testpack yang dia ambil dari kotak. Seketika suasana semakin meriah, mama bahkan menangis haru. Papa masih memandang alat tes dengan takjub, berbeda dengan Raka yang hanya tersenyum lebar menatap gue mengacungkan jempol. Berucap "I'm happy for you." Tanpa suara.
"Epan mau punya dedek ya?" Mata Elvan mengerjap polos menatap gue.
"Iya sayang."
Elvan langsung kegirangan memeluk gue, jika waktu bisa terhenti saat ini gue berharap hanya akan ada hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Where is My Happy Ending?
General FictionWhen broke girl looking for happiness. Story in Bahasa Warning! * Non Baku * Harsh Words * Mature Content * Part 12 silahkan DM, tapi saya tidak meladeni siders