"Mom..."
Gue langsung menatap sumber suara yang sontak membuat jantung gue hampir lepas, sejak kapan anak gue berdiri di sana? Dia bahkan sudah menangis terisak. Gue langsung menghampirinya lalu memeluknya, ini pasti dia nangis karena ngeliat gue nangis.
"Sss... Elvan kenapa nangis sayang?" tanya gue setelah membawanya duduk, Argapun sudah pindah duduk di samping gue berusaha menenangkan Elvan.
"Epan ga boleh ketemu daddy lagi ya?" dia menanyakan sambil terisak.
Pertanyaannya membuat gue memijat pelipis saking pusingnya mau menjawab apa, dia belum bisa mengerti jika gue menjabarkan masalah yang sedang gue hadapi.
"Oma Lasti benci Epan ya?" tanyanya lagi, gue menggigit bibir memikirkan jawaban yang tepat untuk dia. "Ngga Van, daddy tetap bakal ketemu Elvan kok. Oma juga ga benci kamu." Arga membuka suara lebih dulu.
Elvan menggeleng kuat seolah menyangkal ucapan Arga, " Bohong! Epan dengel!" katanya.
"Mom, Epan mau pulang aja. Epan ga mau di sini banyak yang bikin mom nangis."
"I hate evelyone who make mom cly."Kelihatan sekali Arga sangat terkejut, dia menatap Elvan dan gue bergantian dengan tatapan sendu. Sedang gue tidak berbuat apapun dan hanya diam, tidak tau lagi harus menanggapi bagaimana.
"Epan, nginep di hotel aja sama oma. Mau?" tawar nyokap gue, Elvan langsung mengangguk.
"Sepertinya rencananya dibatalkan saja kalau begini.""Tapi tante-"
"Sorry Arga, dan terimakasih atas niat baik kamu tapi sebaiknya kamu turuti keinginan mama kamu."
"Hermawan, terimakasih niat baiknya." kata mama lagi.
Om Hermawan tampak frustasi dengan keadaan yang menjadi keruh karena istrinya sendiri, beberapa kali helaan napas terdengar sepertinya beliau berusaha tetap sabar. "Juli, biarkan Arga dan Dila yang memutuskan bagaimana kedepannya. Ada baiknya kita biarkan mereka berunding berdua." sarannya.
Arga dan gue saling bertatapan beberapa saat namun dengan cepat gue mengalihkan, tidak sanggup jika harus termakan tatapan kelamnya yang selalu saja memenjarakan gue hingga akhirnya gue selalu menuruti inginnya. Gue mengelus kepala Elvan yang tangisannya sudah mereda, sepertinya dia mulai tertidur setelah lelah menangis.
Tangan gue menghangat yang gue sudah tau pelakunya, Arga seolah memaksa gue menatapnya yang tidak gue indahkan sama sekali. "Baik, biarkan anak saya memikirkan keputusannya." balas mama.
"Tapi untuk sekarang saya akan bawa Dila dan Elvan bersama saya, ini keinginan Elvan."
"Dila, kemasi barang-barang kamu. Kita ke hotel sekarang."Tanpa pikir panjang, gue berdiri hendak membereskan bawaan gue tapi tangan gue dicengkram Arga. Pada akhirnya dia ikut ke kamar bersama gue dan Elvan yang sudah tidur di gendongan gue.
Arga duduk ditepian ranjang menatap Elvan yang sudah tertidur, sementara gue sibuk mengemasi barang-barang. "Bisa kamu pikirin lagi?" kata Arga membuka suara. Jujur saja, dari tadi mata gue sudah tidak bisa menahan tangis menerima perlakuan ibunya Arga, makanya gue hanya diam tidak memperdulikan keberadaannya.
Dia menahan tangan gue yang masih melipat pakaian, menarik gue hingga tubuh kami tidak berjarak. Arga memeluk pinggang gue dan memaksa gue menatapnya. Dengan berat hati gue menatap iris kelamnya, gue seolah melihat tatapan penuh harap di sana seharusnya tidak pernah ada.
"Sebaiknya kamu lanjut sama Windy, baguskan kalau Elvan punya dua mommy. Makin banyak yang memanjakan dia." ujar gue santai sambil melepaskan tangannya dari pinggang gue.
"Dila, aku mohon untuk anak kita."
Gue memejamkan mata mencari kewarasan yang masih tersisa, "We can't be together Arga, sejak awal ini udah salah." jelas gue fruatasi.
"Cukup anggap aku seperti dulu.""Maksud kamu?" tanyanya meminta penjelasan.
"Kamu bisa anggap aku jalang seperti dulu." jawab gue dengan suara parau.
Dia menunduk dalam, gue tau gue salah bicara dan sayangnya gue tidak perduli. Perlakuan ibunya terhadap gue terlebih tatapannya membuat gue merasa seperti pelacur, dia memandang gue rendah hingga gue tidak tahan untuk melampiaskan perasaan gue kepada Arga sekalipun.
Sampai setelah gue selesai mengemasi barang, Arga masih duduk lemas di pinggir kasur. Sial! Bisa sekali laki-laki ini membuat gue merasa bersalah sendiri dengan mulut ga kekontrol gue barusan, "Arga" panggil gue pelan.
"Aku memang brengsek." katanya setengah berbisik.
Meski membenarkan dalam hati, tetap saja gue tidak tega melihat keadaan cowok yang gue sayangi seperti ini. "Arga I'm sorry, aku ga maksud-"
"No, itu kenyataan. Semua ga akan seperti ini kalau aku ga merusak kamu dulu."
Gue menggigit bibir bawah merasa bersalah, harusnya gue bisa saja menyalahkan dia tapi semua juga terjadi karena kesalahan gue. Sejenak hening melingkupi kami, hanya helaan dan desahan frustasi yang sesekali keluar dari bibir masing-masing semakin saja membuat gue merasa bersalah. Sampai gue mendudukkan diri di sampingnya, Arga masih menunduk dalam berbeda sekali dengan dia yang gue tau adalah lelaki angkuh, sombong dan egois. Dia terlihat seperti anak kecil ketahuan mencuri permen.
Ragu-ragu, gue menyentuh wajahnya memaksa dia melihat gue. "Kita bicara lagi nanti, ada baiknya kita menenangkan diri. Aku dalam keadaan ga baik untuk membahas apapun dengan kamu." akhirnya dia menatap gue juga sebelum mengangguk menyetujui kemudian memeluk gue singkat sebelum mengangkat koper yang berisi barang-barang gue dan Elvan.
Ya, sebaiknya gue pikirkan matang-matang keputusan yang akan gue ambil tanpa memikirkan ego yang selama ini selalu berhasil menguasai. Ada Elvan yang kebahagiaannya harus gue pikirkan di atas segalanya. Semoga apapun keputusan gue adalah yang terbaik nantinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Where is My Happy Ending?
Ficción GeneralWhen broke girl looking for happiness. Story in Bahasa Warning! * Non Baku * Harsh Words * Mature Content * Part 12 silahkan DM, tapi saya tidak meladeni siders