Selamat tinggal mimpi

10.1K 484 3
                                    

Arin begitu bahagia. Pasalnya, proposal beasiswa ke HARVARD yang diajukan dosennya diterima. Dia akan melanjutkan gelar masternya di kampus bergengsi itu. Arin yang kini sudah sampai di stasiun tempat kelahirannya tak henti-hentinya mengulas senyum sumringah. Mimpinya sudah terasa dekat dan terasa begitu nyata.

'Okay, fokus Arina Larasati. Belajar yang giat and work hard there. You'll get what you want.' pekiknya sendiri dalam hati.

"Hufft!" Arin menghela nafas. Dadanya bergemuruh hebat. Dia sangat gugup. Entah bagaimana reaksi kedua orang tuanya jika mereka mengetahui, anak seorang buruh kebun bunga matahari bisa sampai ke luar negeri.

"Hufft!" Arin menghela nafas lagi. Dia benar-benar bersyukur masih banyak orang yang peduli padanya. Salah satunya, dosen walinya yang menyadari kejeniusan Arin yang sayang jika disia-siakan. Dosen itupun yang akhirnya membantu Arin mengirim proposal beasiswa dan memastikan Arin juga punya penghasilan tambahan untuk membiayai kebutuhannya selama di negeri Paman Sam itu.

***

Setelah menaiki dua angkutan umum, Arin akhirnya tiba di perkebunan milik majikan tempat orang tuanya mencari nafkah.

Ayah Arin bekerja sebagai buruh di perkebunan itu hampir seumur hidupnya. Sedang ibunya, bekerja sebagai buruh cuci di rumah Tuan Tanah yang menyebalkan. Bagaimana tidak, sejak dulu, Tuan Tanah yang sudah beristri dua itu terus saja mengincar ibunya.

Arin bersyukur karena dia cerdas. Dengan beasiswanya dia bisa sekolah di kota dan mendapat kehidupan yang lebih baik. Arin juga bersyukur, paman dan bibinya mau menerima Arin walaupun mereka juga hidup seadanya di kota.

Tapi hari ini, hati Arin membuncah. Setelah dia kuliah sambil bekerja, dia akan menabung agar orang tuanya tidak hidup dalam kekurangan lagi.

Arin masih saja sumringah. Dia menikmati pemandangan surga di hadapannya. Hamparan bunga matahari yang sudah hampir setinggi tubuh mungilnya. Dia mengelus dan menciumi daun bunga yang sebenarnya tidak wangi itu. Sampai akhirnya, pekikan seorang wanita membuatnya terhenti.

Arin hafal betul suara serak itu. Dia lalu berlari sekencang-kencangnya. Melewati hutan bunga matahari. Tak peduli mungkin dia akan merusak kebun bunga itu atau mungkin merusak kulit mulusnya.

*

Mata Arin terbelalak ketika dia melihat wanita paruh baya yang tidak lain adalah ibunya, sedang meronta-ronta di bawah kaki seorang pria botak dan buncit yang membuat Arin mual seketika.

"BERANINYA KAU! LEPASKAN IBUKU!" teriak Arin menghempas tangan ibunya yang ditarik oleh bandot jelek itu. Sang ibu yang terkejut mendapati putrinya itu, hanya bisa ternganga. Dia tidak ingin putrinya berada di sini. Dia tidak ingin bandot tua itu melihat putri cantiknya. Tapi terlambat, sekarang dia telah melihat api menyala-nyala di mata bandot rentenir itu.

'Ya Tuhan! Selamatkan putriku!'

"Beraninya kau menyentuh ibuku. Dasar tua bangka! Apa kau tidak malu dengan usiamu, istri dan anak-anakmu?" pekik Arin sembari mencoba membangunkan ibunya yang terlihat sangat kacau. Wajahnya sembab karena air mata dan rambutnya awut-awutan. Apakah tua bangka itu sudah menjambak ibunya?

"Yah ampun Arina, kenapa kau jadi secantik ini, manis? Ah, sial. Kau memang sudah cantik dari dulu, tapi sekarang kau benar-benar...."

"Tutup mulut kotormu!" Potong Arin sebelum penghisap darah itu menyelesaikan ucapannya.

"Hey manis! Apa kau tahu? Ayahmu berhutang banyak padaku. Dan karena dia tidak bisa melunasinya, ibumu jadi penggantinya. Tapi setelah melihatmu, kenapa aku harus mengambil ibumu? Kaulah yang akan ikut denganku sayang. Kau maukan menjadi istriku yang ketiga?"

Arin rasanya ingin muntah. Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari terisak. Tidak akan ia biarkan, putri jelitanya menjadi korban kebusukan rentenir itu. Tidak akan sama sekali.

"Tidak Tuan. Putri saya tidak tahu apa-apa. Dia bahkan tidak tahu kalau kami berhutang pada Tuan. Saya....saya yang akan menebus hutang itu. Bawa saya Tuan. Bawa saya!"

Arin ternganga melihat ibunya. Tapi lebih ternganga melihat apa yang dilakukan rentenir jelek itu. Dia menghempaskan ibu Arin hingga wanita yang baru berusia 35 tahun itu terperosok ke belakang.

"Kurang ajar! Beraninya kau! Aku akan membunuhmu." Arin meronta tak karuan.

Dia ingin sekali menghajar pria brengsek itu, tapi dua centeng si Bandot mencekalnya. Membuat tubuh mungil Arin terangkat begitu mudah. Arin terus berontak dan menendang-nendang, tapi tentu saja, kekuatannya tidak seimbang dibandingkan dengan dua centeng bertubuh besar dan berotot itu. Arin akhirnya punya ide. Dia menggigit tangan salah satu centeng itu hingga membuat si centeng terpekik dan melepaskan cengkramannya pada lengan mungil Arin, dan dengan segenap tenaga Arin menendang area vital centeng yang satunya. Membuat centeng itu meringis, Arin terlepas dan terhempas.

"Agh!" Arin pikir dia akan merasakan nyeri yang teramat sangat karena terhempas di tanah kering berbatu, tapi nyatanya, dia merasakan hentakan yang berbeda. Dia bahkan bisa merasakan panas yang mulai menjalari bagian belakang dan lengannya.

"Apa kau sedang berulah lagi, Pak Tua?"

Arin melihat ke belakang. Tubuhnya menempel dengan pemilik suara bariton itu. Suaranya tegas dan mantap. Dia bisa melihat si Bandot Botak meringis. Hmm.... sepertinya ketakutan. Arin sedikit lega. Sepertinya orang baik sudah datang.

"Siang Tuan Muda. Saya tidak tahu kalau Tuan muda berkunjung hari ini." ucap si Bandot tua sambil meringis. Terlihat jelas, dia benar-benar takut pada si Pemilik suara bariton itu.

'Rasakan itu Tua Bangka' Pekik Arin dalam hati.

Tapi kemudian, kata-kata si pemilik bariton itu membuat Arin bergidik seketika.

"Perusahaanku sudah mengakuisisi semua tanah di sini termasuk tanah yang kau tempati Pak Tua. Jadi semua yang ada di atas lahan ini adalah propertiku. Berani sekali kau menyentuh propertiku. Apa kau ingin mati?"

Arin menangis dalam hati. Dia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

LOVE WILL FIND A WAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang