Serangan

5.8K 351 2
                                    

Setelah memastikan dua bodyguardnya meringkus pria berpisau itu, Andrean melepaskan pelukannya dan membuat Arin kebingungan. Bagaimana tidak? Arin baru saja ingin menghubungi Andrean karena mereka terpisah, dia sengaja memilih lokasi agak sepi dekat pintu keluar dan sekarang, handphonenya sudah tergeletak di bawah dan menjadi dua kepingan berserakan karena Andrean menubruknya bagai mobil tanpa kendali.

Arin langsung mengambil hanphonenya itu, berharap masih bisa diselamatkan. Tapi sepertinya tidak bisa.

"Aku beli handphone ini dengan kerja kerasku pas magang. Lihat ini!" ucap Arin yang tidak mengindahkan wajah pucat Andrean dan tubuhnya yang membeku.

"JANGAN HARAP AKU AKAN MENURUTI IDE KONYOLMU LAGI! Apa kau tahu? Aku hampir mati ketika aku kehilanganmu tadi. Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi? HAH?" Bentaknya kencang yang membuat Arin ketakutan. Ini kali kedua Andrean berteriak padanya setelah malam berdarah itu. Arin benar-benar ketakutan sampai handphone mati yang sudah diambilnya terjatuh kembali karena terkejut.

Andrean tak bicara lagi, dia hanya menarik lengan kurus Arin dan membawa paksa Arin ke mobil yang sudah menunggu mereka.

Sepanjang perjalanan, mereka pun hanya terdiam. Arin melirik ke arah Andrean yang menatap ke luar jendela. Apa perlu Andrean semarah itu?

***

Karena insiden tadi, sepasang suami istri itu batal dinner. Akhirnya, sebelum pulang, Andrean menyuruh supirnya untuk mampir ke fast food terdekat dan membeli makanan untuk mereka.

Arin memainkan spagettinya dengan garpu. Dia tidak berniat untuk makan, tapi ketika Andrean menyuruhnya untuk menyiapkan makan malam mereka yang tertunda, Arin tidak punya pilihan. Kalau saja Andrean masih mendiamkannya, Arin pasti akan lebih memilih masuk kamar dan menenggelamkan tubuhnya dalam selimut.

"Aku harus ke luar untuk urusan pekerjaan. Jadi cepat habiskan makan malammu. Aku yakin kau tidak akan menghabiskannya kalau aku pergi sekarang." ucap Andrean akhirnya, merasa bersalah telah meneriaki Arin tadi.

"Pergi saja! Tidak usah mempedulikanku." ketus Arin.

Andrean menghela nafas. Gadis itu pasti sedang menahan kekesalannya sedari tadi.

"Look! I'm sorry. Aku benar-benar panik tadi. Kau tiba-tiba menghilang. Aku takut sesuatu terjadi padamu. Jadi aku...berteriak. And I'm sorry for that."

"Tidak masalah. Kau boleh melakukan apapun yang kau mau. You're the Boss!!" ucap Arin tanpa mengangkat wajahnya sama sekali dan masih mengacak-acak makanannnya.

Tapi kata-kata Arin justru memancing emosi Andrean. Dia terkejut ketika Andrean menangkup wajah mungilnya, membuat garpunya terjatuh dan merasakan wajahnya panas seketika ketika sesuatu yang lembut dan hangat menyentuh bibir mungilnya.

Arin terbelalak. Darahnya terasa berdesir hebat dan jantungnya serasa sedang berperang. Menghentak-hentak seperti kuda hitam yang siap menerjang.

Lima detik. Arin membeku setelah 5 detik. Dan ketika sadar, dia mendorong Andrean, lalu menamparnya sekeras yang ia bisa.

"Dasar kurang ajar! Beraninya kau mencuri ciuman pertamaku. Kau manusia rendahan yang tidak bermoral dan tidak tahu malu Tuan Wijaya."

Andrean hanya tersenyum puas. Setidaknya rencananya berhasil. Dia memang sengaja melakukannya agar Arin bisa meluapkan emosinya.

"Nah, itu baru kucing liar kesayanganku. Aku tidak mencuri apapaun. Kau memang milikku. Tadi aku hanya mengambil ciuman pertamamu, dan kalau kau tidak segera menghabiskan makananmu, aku akan mengambil milikku yang kedua."

Arin hanya melotot galak dan sepertinya dia yakin Andrean berani melakukan ancamannya itu. Jadi dengan hati kesal dan wajah yang merona, Arin menghabiskan makanannya dengan cepat. Sedang Andrean hanya sibuk berbicara di telepon dengan asistennya, Roni. Gadis itu juga berdecak kesal, dan Andrean hanya berpura-pura tidak melihatnya. Tapi ketika dia melirik Arin sudah menghabiskan spagetti dan garlic breadnya, Andrean tersenyum puas sekali lagi.

"Finish?" tanyanya yang tidak mendapat jawaban dari Arin yang lansung merapikan meja makan mereka.

"I hate leaving you now, but I have to. Aku akan nyalakan alarm security sekarang, jadi setelah ini pergilah tidur. Jangan bukakan pintu untuk siapapun. Understood?" tanya Arin yang hanya dijawab dengan gumaman tak jelas.

Andrean hanya tersenyum. Lagi, lagi, dan lagi. Dilihatnya Arin seperti sedang memastikan barang-barang yang disusun orang suruhan Andrean apakah sudah diletakkan di tempat yang benar. Andrean sedikit cemas meninggalkan Arin sendiri, tapi dia harus mengurus sesuatu yang penting saat ini.

Dengan berat hati Andrean pergi meninggalkan istrinya yang masih kesal itu. Tapi baru beberapa langkah, ia kembali ke istrinya yang masih mengecek barang-barang belanjaan mereka. Menarik lengan kurusnya perlahan dan mengecupnya sekilas di 'pink flower'nya yang merekah.

"Apa kau gila? Aku sudah menghabiskan makananku tadi, kau kan lihat sendiri tadi. Jadi kenapa kau melakukannya lagi?" amuknya dengan wajah yang merah merona.

"Aku akan melakukannya setiap hari agar kau terbiasa."

Cup. Tambahnya di kelopak merah jambu istrinya membuat Arin semakin kesal saja.

"Berhentilah mengecek barang. Aku yakin tidak ada belanjaanmu yang hilang, Nyonya penggerutu." Ucap Andrean seraya mengecup kening Arin sebagai penutup yang membuat Arin ternganga tak percaya.

'Dasar penipu bejat!' maki dalam hati lalu beranjak ke kamarnya. Arin baru akan mengunci pintunya ketika dia sadar itu pasti percuma. Arin yakin Andrean memiliki kunci kamarnya juga.

'Menyebalkan!'

Dan disinilah Arin. Berbaring nyaman di atas ranjang empuknya dan menatap ke langit-langit. Mengingat apa yang tadi terjadi. Pelukan itu, kecupan itu dan Arin bisa merasakan dadanya yang bergemuruh hebat. Terlebih sekarang, senyum pria yang menurutnya sok berkuasa itu, kini sudah memenuhi alam pikirannya. Membuatnya terlamun hingga ia tenggelam dalam mimpi indahnya.

'Aku tetap membencimu.' gumam Arin dalam tidur manisnya.

LOVE WILL FIND A WAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang