Seorang bocah terlihat murung di pelataran sekolahnya. Dia berdiri sambil terus memainkan tangan mungilnya yang putih kemerahan. Sesekali dia menggigiti bibir tipisnya. Tabiat yang sama persis seperti yang selalu sang mama lakukan ketika ia gelisah.
"Drian, let's go inside. Maybe your grandpa a lil bit late. Come on, dear!" Bujuk wali kelas Drian yang berkulit gelap. Dia adalah seorang wanita dua puluhan berkewarganegaraan India. Sawo matang dan anggun menawan.
"Can I wait here a bit more please?" Pinta Drian dengan puppy eyesnya. Dia memang seorang genius, tapi dia juga sangat perasa. Persis seperti mamanya juga. Yang menurun dari sang papa hanyalah ketampanan luar biasa dan keteguhannya ketika menginginkan sesuatu.
"But dear, the event will be started now." Sang wali yang biasa dipanggil Ms. Tanveer itu mencoba membujuk muridnya itu sekali lagi walaupun dia tidak yakin bisa membujuknya. Dia sangat tahu tabiat muridnya itu. Begitu dia menginginkan sesuatu, dia harus mendapatkannya atau ketika dia melakukan sesuatu, dia harus bisa dan berhasil menyelesaikannya. Jika dia pikir dia tidak bisa menyelesaikannya, maka dia tidak akan pernah memulainya.
Pernah ketika semua anak diberi tugas untuk membuat kolase dari kulit telur, menempelkan pecahan kulit telur pada vas kecil yang sudah disiapkan, semua anak kindergarden tidak mungkin menyelesaikannya, jadi tugas dilanjutkan di rumah. Tapi Drian, bocah yang memiliki keteguhan Wijaya, dia bersikukuh untuk menyelesaikannya. Sang mama yang menghubungi pihak sekolah mengkhawatirkannya, tapi membiarkannya saja. Dia hafal betul keteguhan dan kekeras kepalaan si sulung. Persis seperti papanya.
"Please Miss. Tanveer. How can I start the competition without my grandpa?" Air mata Drian mulai menggenang. Sedih, kesal dan kecewa bercampur di hati bocah yang hampir genap enam tahun itu.
"Teacher will accompany you. Is that Okay?" Sang Wali tak mau kalah.
"Give me 5 minutes more, Miss. Then I'll go inside. I promise."
Miss. Tanveer tersenyum. Dia tahu Drian pasti akan menepati janjinya. Dan benar, ketika detik ke-300 berdetak, Drian menghela nafas dan menyingkirkan sebulir kristal bening yang lolos dari pelupuknya.
'Papa bohong. Grandpa tidak datang. Orang-orang benar. Grandpa memang tidak menginginkan Drian. Grandpa membenci Drian. Hiks.'
***
Sementara itu, di sebuah mobil limosin, seorang kakek terlihat tak tenang, sepanjang jalan dia terus saja menggerutu. Supir, istri dan putri satu-satunya menjadi sasaran kemarahannya.
"Ali! Lebih cepat. Kita sudah terlambat." Perintah si kakek lewat talki walkinya. Limosin Wijaya tidak memperbolehkan supir melihat ke arah majikannya dan melihat aktivitas majikannya di belakang. Jadilah, dia hanya bisa menggerutu lewat alat kontaknya.
"Ini semua salah mami. Bagaimana bisa mami salah melihat jam? Bagaimana kalau cucuku mengira aku tidak datang? Benar-benar tak bisa dipercaya. Kita memberi kesan yang buruk. Bagaimana kalau gara-gara ini, kita tidak bisa melihat mereka selamanya? Oh yah ampun."
Nyonya Wijaya hanya tersenyum. Dia memang wanita anggun dengan pembawaan yang tenang.
"Relax honey. Everything will be alright. We just a lil bit late. Okay?"
"Hufft. I can't believe this. Ali! Faster!" keluhnya lagi yang membuat keningnya tambah mengerut.
Sedangkan Aurel, putrinya hanya terkekeh melihat kepanikan sang ayah.
Pukul 08.15 keluarga Wijaya tiba. Mereka berlari-lari kecil. Security dengan sigap mengantarkan mereka ke area perlombaan.
*

KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE WILL FIND A WAY
RomanceArin adalah gadis yang nyaris sempurna. Cantik, ramah dan cerdas. Di usianya yang baru menginjak 15 tahun, dia berhasil mendapatkan beasiswa di perguruan tinggi negeri favorit. Dan ketika usianya genap 17 tahun, dia sudah menyelesaikan jenjang sarja...