Bersamamu

6K 383 5
                                    

Arin kesal setengah mati. Uangnya tinggal 2 lembar merah ini saja. Padahal tanggal gajiannya masih 3 minggu lagi. Arin sebenarnya ingin membeli buku dan sepatu sport, tapi harganya yah ampun, membuatnya lebih kesal setengah mati.

Bayangkan saja, buku yang harganya lima puluh ribu menjadi dua kali lipat hanya karena toko buku itu berada di kawasan elite seperti yang tadi ia datangi. Dan sepatu, sepatu yang bisa ia beli seharga dua ratus ribu malah menjadi sepuluh kali lipat hanya karena brandnya yang sudah mendunia, padahal modelnya sama saja. Dua jam Arin berkeliling tanpa hasil dan hanya membuatnya kelaparan. Arin masuk ke restoran fast food, satu-satunya restoran yang bersahabat dengan isi dompetnya saat ini.

Ini memang kali pertama Arin masuk ke Plaza. Sebelumnya dia hanya pergi bekerja dan pulang ke apartemen. Begitu setiap hari. Tapi entah kenapa hari ini, Arin mengulur-ulur waktu untuk bertemu dengannya. Si Suami yang telah kembali.

"Okay. Gaji LITTLE EINSTEN untuk kebutuhan sehari-hari dan kurasa dari Ann's aku bisa membeli sepatu olah raga bulan depan. Yah, sepertinya bisa begitu. Dan buku....aku harus bertahan tanpa buku dulu."

"Kau meninggalkan dompetmu, Miss."

Arin langsung mengangkat wajah manisnya ketika mendengar suara yang masih sangat ia hafal itu. Bau parfumnya yang menusuk juga sangat tercium di hidung kecilnya. Dia, pria yang memberi Arin waktu satu bulan untuk menenangkan diri. Apa iya Arin bisa tenang lagi setelah dia kembali?

"Itu bukan punyaku. Kembalikan saja pada yang punya." ketusnya masih sambil mencoret-coret kertas note pink yang selalu saja ada di tas kecil selempangannya.

"Waktumu sudah habis, sekarang kau harus mendengarkanku. Jadilah istri yang baik, dan turuti kata-kataku!" ucapnya sambil bersandar dan melipat kedua tangannya di dada.

"Apa aku terlihat seperti istri yang penurut, Mister?"

Andrean terkekeh, membuat Arin mengrenyit keheranan.

"Memang tidak. Kau lebih seperti istri yang lucu dan menggemaskan. Tapi, thanks sudah mengaku kalau kau itu istriku. Aku lapar. Mana pelayannya. Ex-"

"Mau apa kau?" Tanya Arin melihat Andrean yang sepertinya ingin memanggil pelayan. Serriously?

"Apa? Tentu saja mau pesan. Bento yang kau bawa itu tidak membuatku kenyang sama sekali. Aku sudah dua hari tidak makan. Jadi biarkan aku makan dengan tenang, okay? Ex-"

What? Serriously? "Apa kau tidak pernah ke M*D?"

Dan Andrean terdiam cukup lama sampai ia menyadari orang-orang tengah memperhatikannya.

'Dasar idiot!' Pikir Arin. Siapa yang sangka, uang bisa membuat orang tampak konyol seperti Andrean sekarang ini.

***

Andrean's POV

Aku malu setengah mati. Well, mau bagaimana lagi aku memang tidak pernah ke fast food restaurant seperti ini. Jadi mana aku tahu kalau di restoran cepat saji kita harus memesan sendiri di kasir.

Si Pink Flowerku, wild catku tampak kesal sekali. Terlebih saat aku tidak membawa dompetku, hanya dompetnya yang masih tidak diakuinya.

"Kenapa harus aku? Kau kan bisa jalan sendiri ke sana?" katanya ketika aku memintanya memesankan paket makanan untukku.

"Yang benar saja. Apa kau pikir aku masih punya wajah untuk memesan ke sana, membawa dompet pink feminimmu, dan mengambil resiko dikenali? I don't think so, Honey."

Lihatlah itu! Dia bersungut dan aku mencoba menahan senyum. Setelah menanyakan apa yang kumau, diapun menuju kasir dengan setengah hati. Ini menyenangkan sekali.

*

Sruupuut!!! Kenyang sekali. Siapa yang sangka, makanan junkfood seperti ini bisa terasa begitu lezat. Walaupun tidak selezat gadis belia yang ada di hadapanku. Apa aku baru mengatakan kalau dia itu lezat? Damn..aku gila karena jetleg, sepertinya.

"Apa? Kenapa sepertinya kau ingin menelanku?" tanyaku melihat matanya yang dipicingkan seperti mencoba membaca pikiranku. Apa perlunya juga dia melakukan itu?

"Kau sudah menyuruh penguntit suruhanmu untuk berhenti mengikuti kan?"

"Ehem...baiklah. Mereka akan berhenti mulai hari ini. Toh aku sudah kembali. Aku bisa menguntitmu sendiri."

Haha. Dia mengreyitkan dahinya lagi dan semakin memicingkan matanya. Astaga...ada apa dengannya? Apa aku seburuk itu di matanya? Aku kan hanya mengawasinya dari jauh. Dia menatapku seakan-akan aku adalah maniak yang terobsesi padanya. Well, mungkin sedikit seperti itu. Tapi who care? Aku kan suaminya.

"Kata-katamu menyiratkan sesuatu. Kau tidak sedang bilang kalau kau memasang penyadap atau CCTV untuk menguntitku kan?"

"Hey Nona, imajinasimu - sangat berlebihan." ujarku dengan ekspresi sedatar mungkin. Entah apa yang akan terjadi jika dia tahu benar-benar ada CCTV yang membuatku bisa mengawasinya dimanapun dan kapanpun.

"Okay, berhentilah menyelidiki suamimu dan ayo kita beli barang-barang yang kau inginkan." ucapku cepat sembari menarik lengannya bersamaku. Lembut dan hangat. Aku tidak mengacuhkan ocehannya dan terus menggenggam tangannya sampai ia pasrah kugenggam. Bahkan ketika memilih-milih buku, aku tidak sekalipun melepaskan tangan kurus itu. Tangan ini milikku untuk kugenggam.

"Apa kau tahu, di perpustakaanku banyak koleksi buku fiksi yang bisa kau baca?" Ucapku berhati-hati dengan kata-kataku agar masalah CCTV tidak ketahuan olehnya.

"Aku tahu." jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang ia pegang.

"Kau tahu? Apa kau ke perpustakanku? Buku apa yang sudah kau baca?" tanyaku seperti anak muda yang kasmaran. Aku bersyukur aku mengenakan kemeja kasual hari ini, tidak seperti setelan formalku sehari-hari.

"Semua." Jawabnya lagi mengejutkanku.

"Semua? Maksudmu, koleksi bukuku yang berjumlah 432 itu sudah kau baca semua?"

"Hmmm."

"Dalam waktu sebulan?"

"Hmm."

"Fiksi, hukum, bisnis, biografi, otobiografi, dan perpajakan, semua kau baca?"

"Iya. Semua sudah kau baca. Aku bahkan bisa menceritakan kembali setiap buku yang kubaca."

Aku berdecak kagum dalam hati dan merencanakan sesuatu untuknya.

Cup.

Astaga. Habislah kau Andrean. Kenapa kau membangunkan wild cat yang sedang tidur?

"Apa itu tadi?" tanyanya dengan mata yang membelalak. Matanya berapi-api dan pipinya merona seperti bunga mawar yang merekah.

"Apa? Aku hanya kagum padamu. Belilah buku yang banyak, nanti kita gantian baca."

Andrean mencoba tidak mempedulikan Arin yang masih berapi-api. Tapi, dia lalu terdiam melihat genggaman tanganku. Apa dia melamunkan pemandangan manis ini? Tangan kami bertautan seakan-akan kami saling memiliki satu sama lain. Dan ketika dia tahu aku memergokinya melamun, dia hanya berdeham pelan dan mencoba mengalihkan pembicaraan. "Apa aku boleh beli sepatu olah raga?" Tanyanya ragu yang hanya kubalas dengan senyuman dan kecupan lembut di kepalanya. "Of course, My love."

LOVE WILL FIND A WAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang