Andrean's POV
Akhirnya aku terbebas. Aku benar-benar muak dengan bau rumah sakit. Tapi karena belakangan ini aku terlalu tertekan, sakit kepalaku kumat dan sialnya tabung obatku hilang. Alhasil, akupun pingsan sesaat setelah menelepon dokter pribadi yang menangani penyakitku.
Bagaimana aku tidak tertekan. Kepingan-kepingan memori menggelitik kepalaku. Tapi semakin mencoba mengingatnya, kepingan itu jutru menyakitiku. Menghantarkan nyeri hebat yang membuatku berdenyut-denyut.
Saat aku baru selesai rapat dan berpisah dengan sekretarisku, aku melihat Ron dan Arin yang berada di dekat lorong lift. Aku menghampiri mereka dan geram mendengarkan pembicaraan mereka yang terlihat begitu akrab. Ingin sekali aku membungkam mulut asistenku itu. Mereka membicarakan aku seperti mereka sangat mengenalku. Cih!
Lalu Arin merangkai cerita tentang pemerkosaan dan betapa jahatnya keluargaku. Perempuan tengik itu. Dia pikir aku sebodoh itu. Jelas-jelas dia sedang berbohong. Saat di studio aku melihatnya, aku tahu dia mencintaiku. Ya, dia memang mengatakan dia membenciku, tapi mata dan air matanya mengungkapkan yang lain. Entah kenapa aku mengetahuinya. Dan aku yakin dengan apa yang kupikirkan.
Sekarang aku sedang menikmati keindahan pantai setelah opname 3 hari yang menjengkelkan. Observasi, medical check up dan bla bla bla. Selalu seperti itu ketika kesadaranku hilang karena sakit kepala terkutuk ini.
Sebenarnya, aku sedikit tahu keadaanku. Ada gumpalan darah di salah satu bagian otakku. Hanya saja karena posisinya rawan, dokter tidak bisa melakukan prosedur operasi. Kecuali nanti jika ada faktor X yang bisa menyebabkan gumpalan itu mencair dan memungkinkan untuk dilakukan prosedur operasi lanjutan. Faktor X. Apa para dokter itu gila? Mana ada kedokteran yang lebih mengedepankan faktor X dari pada kepastian ilmiah.
Aku sengaja ke pantai karena aku takut berita opnameku tersebar dan membuat cemas seseorang. Aku ingat, setelah aku bilang opname dan UGD, dia yang tadinya berontak jadi pasrah ketika aku menjamahinya. Oh Tuhan! Mengingat kejadian itu membuat yang di bawah tegang. Aku menginginkannya lagi. Tapi bagaimana caranya? apa aku harus memanfaatkan penyakitku untuk menarik simpatinya? Ah..kurasa itu boleh dicoba.
***
Setelah mempublikasikan alibi pantaiku untuk berjaga-jaga, aku menuju kediaman orang tuaku. Mereka baru datang kemarin dari London. Coba saja jika mereka memaksaku lagi untuk segera menikahi Helena genit itu, aku pasti akan langsung membatalkan pertunangan kami yang absurd. Bagaimana tidak, kami sudah bertunangan 4 tahun, tapi segala hal tentang kami seakan hanya formalitas. Ke pesta bersama, makan malam bisnis, dan sesekali aku menurutinya jika dia ingin berlibur. Untungnya setiap kali aku dipaksa, aku akan berakhir di rumah sakit, jadi sejauh ini, aku masih bisa mengendalikan situasi yang tidak kuingat dan tidak kuinginkan ini.
"Loh, Nak. Kok kamu datang sekarang? Bukannya kamu harusnya datang besok?"
Ada apa dengan Mom? Kenapa dia begitu terkejut melihat kedatanganku? Aku ini kan putra mereka. Apa harus aku membuat temu janji kapan aku harus datang dan menemui mereka? Aneh.
"Dimana dad?" tanyaku setelah memeluk dan mencium pipi wanita anggun yang melahirkan itu.
"Sepertinya ini bukan waktu yang tepat, kau pulanglah dulu, nanti mom kabari kalau dad sudah bisa ditemui." ucap mom yang mengekoriku di tangga.
Ada apa sih? Kenapa mom jadi melarangku seperti ini?
"Aku cuma sebentar mom. Dimana sih dad? Ruang kerjanya?"
Entah kenapa kakiku melangkah tanpa arahan. Sepertinya, tubuhku mengenali tempat ini. Ini kali pertama aku datang ke sini, tapi entahlah, sepertinya aku hafal semua letak ruangan di rumah megah dengan pekarangan yang luas ini. Kudengar orang tuaku memiliki dua tempat tinggal di Indonesia. 1 rumah mewah ini, di Jakarta, dan villa wah di Bali. Aku sendiri lebih memilih apartemen sebagai tempat tinggal. Praktis dan private.
"Aku mohon Tuan. Aku mohon. Kembalikan putraku. Apa tidak cukup aku menuruti kemauan Anda? Walau bagaimanapun aku istrinya Andrean. Aku juga putrimu. Aku mohon. Kembalikan putraku. Hanya dia alasanku hidup sampai detik ini."
Tubuhku berhenti di depan pintu jati. Pendengaranku menangkap suara yang sangat aku rindukan. Mom kini sudah tampak pucat. Ternyata ini yang membuat Mom sedari tadi bersikap aneh.
Aku sebenarnya ingin langsung menerobos masuk. Tapi aku menahan diriku. Mungkin aku akan mengetahui lebih banyak kebenaran sekarang.
"Kau benar-benar ceroboh. Bagaimana bisa kau tidak memberitahuku tentang anak itu? Walau bagaimanapun, dia adalah keturunan Wijaya, dia layak mendapat kehidupan yang layak."
"Cukup Tuan Wijaya! Cukup! Ketika kau memintaku meninggalkan putramu, aku menurutimu karena aku mencintai putramu, suamiku. Aku merelakannya. Aku tidak peduli jika kau ingin menikahkannya dengan wanita kaya raya itu, aku tidak peduli. Tapi jangan ganggu hidupku lagi dan putraku. Hanya dia yang kupunya setelah kau mengambil cintaku. Ja..."
Ini mengerikan. Kebenaran ini sangat mengerikan bagiku. Mendengar bagaimana ayah yang aku hormati, menyakiti istriku. Ya Tuhan! Arina Larasati? Dia istriku? Dan putra. Aku memiliki seorang putra? Buah cinta kami?
"Andrean? Kau..."
Kulihat ayahku dengan perasaan jijik. Lalu aku melihat bidadariku yang terlihat putus asa. Wajahnya kalut dan memerah. Matanya juga bengkak. Ya Tuhan! Istriku. Dia istriku.
"Dimana dia?" tanyaku dengan tatapan membunuh sedang Arin, dia sudah berada di dalam pelukanku. Meneruskan isak tangisnya.
"Turuti Dad, baru Dad kembalikan dia pada ibunya. Kau harus kembali ke London dan menikah dengan Helena secepatnya."
"Dimana dia, Tuan Wijaya? Atau kau lebih suka melihat mayat putramu ini?" Ancamku sambil melempar tabung obat yang hampir selalu berada di kantong celanaku.
"Putra kalian di kamar tamu. Aurel sedang menjaganya."
Aku berbalik dan menoleh ke belakang. Bersyukur mom tidak sebrengsek dad.
"Mulai detik ini, aku bukan anakmu." tukasku pada tua bangka itu lalu keluar dengan membawa serta istriku. Istriku.
Suatu hari nanti, aku pastikan semua orang membayar air matamu Arin. Aku bersumpah.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE WILL FIND A WAY
RomanceArin adalah gadis yang nyaris sempurna. Cantik, ramah dan cerdas. Di usianya yang baru menginjak 15 tahun, dia berhasil mendapatkan beasiswa di perguruan tinggi negeri favorit. Dan ketika usianya genap 17 tahun, dia sudah menyelesaikan jenjang sarja...