Senyuman

6K 373 5
                                    

Setelah mendapatkan buku-buku dan sepatu yang diinginkannya, Arin tak henti-hentinya tersenyum. Andrean yang memandanginya begitu bahagia, apalagi senyum itu ada karena dirinya.

"Kalau ternyata kau malah sibuk dengan buku-bukumu, aku pasti tidak akan membelikannya tadi." ucap Andrean di mulut pintu ketika ia melihat Arin sibuk dengan sepuluh buku barunya.

Arin memandangi Andrean dengan tatapan mata kucing liarnya. Sedang Andrean, hanya membalasnya dengan senyuman.

"Kenapa kau butuh sepatu olah raga? Kau tidak seperti orang yang gemar olah raga." tanya Andrean yang kini sudah melemparkan dirinya ke ranjang. Arin mengrenyitkan dahinya, Andrean tidak berencana akan tidur di kamarnya lagi kan?

"Aku memang tidak gemar olah raga, tapi mulai besok aku akan olah raga." jawabnya yang memilih tak acuh dengan apa yang Andrean lakukan di kamarnya. Mungkin dia hanya ingin mengobrol. Setelah selesai membuka plastik buku-buku barunya, barulah dia akan mengusir pria sok berkuasa itu.

"Kalau begitu kita ke gymku bersama-sama. Bagaimana?"

"No, thanks. Aku hanya akan lari di taman kota dekat sini. Atau mungkin yoga dan lompat tali. Tidak perlu GYM."

Andrean mulai membuat dirinya nyaman. Lihatlah kelakuan gadis mungilnya. Dia baru berusia tujuh belas tahun, tapi bicaranya sangat formal dan baku. Apa dia selalu seperti itu dengan teman-temannya? Teman. Andrean jadi ingin bertanya apakah Arin punya teman dekat selain kekasih yang tidak ingin Andrean tahu itu.

"Terserahlah. Cepat rapikan bukumu dan tidur. Aku sangat mengantuk."

Nah, Arin yang baru saja selesai menata bukunya di atas nakas dekat pintu langsung menoleh ke arah Andrean yang mulai terpejam.

"Siapa yang bilang kau boleh tidur di sini? Cepat keluar, ce-" oceh Arin sambil mengguncang tubuh besar Andrean yang masih belum mengganti bajunya itu. Tapi belum selesai Arin menyelesaikan kata-katanya, Andrean sudah menyekap tubuh mungilnya.

"Kau sangat berisik. Ini kamar kita, aku akan tidur di sini mulai sekarang." ucapnya di telinga Arin. Hembusan nafas Andrean ketika berbicara membuat Arin bergidik.

"Apa? Tidak tidak. Kumohon, keluarlah. Ah, tidak. Aku saja yang pindah ke kamar lain. Sekarang lepaskan aku."

Tapi apa yang kemudian dilakukan Andrean membuat mata Arin terbelalak ngeri. Andrean membalik tubuh Arin dan mengekang tubuh mungilnya di bawah. Mengintimidasi.

"Listen! Aku tidak akan mengambil hartamu yang paling berharga sekarang meskipun aku sangat menginginkannya. Aku hanya ingin tidur bersamamu, dan aku bahkan memakai pakaian lengkapku. Jadi tidurlah, dan jangan membuatku berubah pikiran. Understood?"

Arin tidak menjawab. Dia hanya memalingkan wajahnya yang sudah merona dan mencoba menenangkan jantungnya yang berdebum tak karuan. Andrean hanya tersenyum dan beranjak ke sisi Arin, mengecup lembut kening Arin dan mulai memejamkan matanya. Sepertinya, si wild cat sudah mulai jinak.

***

Arin bangun ketika hari masih gelap. Dia beringsut dari ranjang yang didominasi oleh pria tegap yang selalu saja memaksakan kehendaknya itu. Arin mencuci wajah dan menyikat giginya, lalu mengganti pakaiannya dengan kaus pendek yang dipadu jaket putih dan celana training dengan warna senada. Setelah memastikan bajunya rapi, Arin keluar dan mendekati meja rias. Menguncir rambut panjangnya menjadi ekor kuda dan memakai sepatu olah raga barunya. Dilihatnya Andrean yang masih terpulas dan dibiarkannya saja. Arin tidak mau rutinitas barunya diganggu oleh si pemaksa itu.

Hanya butuh sepuluh menit untuk sampai di taman kota yang terletak persis tiga blok dari komplek apartemen yang Arin dan Andrean tempati. Arin merasa beruntung karena dia kini tinggal di kawasan elite terpadu. Dimana modernisasi dan ruang terbuka tertata secara seimbang.

Hari ini hari minggu. Walau belum setengah enam, sudah terlihat beberapa orang yang juga sedang berolah raga. Memanfaatkan area taman yang ditata seperti taman alat fitness. Ada juga yang hanya berkeliling dengan sepeda ataupun jogging santai. Dan beberapa di antaranya membawa serta keluarganya. Mereka terlihat bahagia.

Pukul 06.00

Arin yang telah lelah berputar 10 putaran di taman, duduk di rerumputan dan menidurkan dirinya di bawah langit yang mulai terlihat cerah.

Kring..kring...

Kring..kring...

Arin yang terganggu dengan suara bel sepeda lantas membuka matanya. Dilihatnya sebuah sepeda sedang berwarna pink tua di dekatnya dengan beberapa balon yang menjuntai ke atas serta pita pink putih yang menyatukan tali balon-balon itu dengan stang sepeda.

Arin mendekati sepeda itu dan mendapati kartu berbentuk hati yang menarik dirinya untuk membacanya.

____________________________________

'Kalau sulit bagimu untuk masuk ke dalam hidupku, maka biarkan aku belajar masuk ke dalam hidupmu.'

Yang ingin selalu kau tersenyum,

ABW

____________________________________

Arin sedikit tersenyum dengan bibir tipisnya yang ranum. Diliriknya kanan kiri, memastikan si Sok Berkuasa tidak sedang melihatnya saat ini.

Tapi kemudian Arin merengut. Pasalnya, buat apa dia punya sepeda kalau dia tidak bisa mengendarainya.

"Kenapa wajahmu seperti itu? Jangan bilang kau tidak bisa naik sepeda?"

Arin melihat Andrean yang sudah bertengger di atas sepedanya dengan mengenakan training putih yang senada dengan Arin. Arinpun langsung mencebik, membuat si empunya wajah indo itu melepaskan kaca mata coklatnya dan menatapnya kekat-lekat.

"Serriously?"

Dan Arin makin sebal tak karuan.

***

Andrean sebenarnya sudah bangun ketika Arin baru terjaga. Setelah 15 menit di kamar mandi, Arin keluar. Andrean juga bisa merasakan pergerakan Arin sampai gadis itu keluar dari kamar.

Andrean langsung menelepon orang suruhan Andrean yang memang tidak pernah ia berhentikan untuk menguntit Arin. Mengingat Andrean tidak berniat lagi menutupi hubungannya dengan Arin, Andrean harus selalu mengawasi Arin dimanapun gadis itu berada. Arin mungkin tidak tahu, tapi kebersamaan mereka di plaza kemarin tertangkap kamera dan langsung menjadi trending topic sejam kemudian. Paparazi yang beringas tak kenal ampun akan mulai mengganggu kehidupan mereka. Andrean sudah biasa. Tapi Arin, dia mungkin saja akan lebih membenci Andrean karena berita yang muncul nantinya.

Dan disinilah Andrean, setelah membeli dua buah sepeda untuk mereka, dia kini sedang mengajari Arin yang benar-benar tidak bisa mengendarai sepeda.

"Demi Tuhan Pink! Tinggal diseimbangin aja. Masa dari tadi gak bisa-bisa." kicau Andrean yang tak lama mendapati Arin mulai menangis.

'Yah ampun Arin. Kau benar-benar membuatku gila.'

LOVE WILL FIND A WAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang