"Kau yakin ingin pergi sendiri? Si brengsek itu pasti akan berbuat kurang ajar padamu. Biar aku ikut ke dalam."
Rama dan Arin sedang berada di depan sky scraper BW Group. Arin harus bicara dengan CEO di sana. Bicara dengan pria yang harusnya tak mengusik hidupnya lagi.
"Kakak ada sidang hari ini, jadi pergilah. Dia hanyalah seorang Wijaya dengan otak rusak, jadi tidak usah khawatir."
Rama menghela nafas lalu mencium kening Arin yang hanya disambut senyuman ringan. Seperti biasa.
Setelah Rama pergi, giliran Arin yang menghela nafas. Entah apa yang akan terjadi, tapi dia harus tegas pada Andrean. CEO itu tidak bisa terus bertindak seenaknya. Arin tidak ingin jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Tidak akan. Terlebih, ada anak yang harus ia pertahankan.
"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" sambut seorang resepsionis ramah ketika Arin tiba di mejanya.
"Pagi. Saya harus bertemu Pak Andrean Brama Wijaya."
"Apa anda sudah membuat janji?"
"Tidak. Tapi Pak Andrean sendiri yang meminta saya untuk menemuinya hari ini."
"Boleh saya tahu nama anda?"
"Arina Larasati."
"Baiklah. Mohon tunggu sebentar."
Arin tersenyum. Dia mengamati lobby mewah BW Group. Lihatlah bagaimana keluarga Wijaya membangun kerajaan bisnis mereka, tapi bagi Arin, semua ini tidak ada artinya jika ia mengingat bagaimana keluarga Wijaya memperlakukannya dulu.
"Silahkan. Saat ini CEO kami sedang rapat, sekretaris beliau meminta anda untuk langsung ke lantai 50 dan menunggu di sana."
"Baik. Terima kasih."
Arin pun langsung menuju lift. Tak lama pintu lift terbuka dan Arin melangkahkan kakinya ke dalam.
Ting.
Lantai 50. Arin sedikit gugup, tapi dia harus melakukan ini. Sebelum Andrean bertindak lebih jauh. Sebelum keluarganya mengetahui apa yang tidak mereka ketahui.
"Arin?"
Arin langsung menoleh ketika ia mendengar namanya dipanggil dari arah belakangnya. Dia menghela nafas ketika melihat pria tegap itu. Terlihat jelas pria itu terkejut melihat kehadiran Arin di hadapannya.
"Pak Roni."
Ya. Roni. Dia baru masuk kembali setelah menggantikan Andrean ke Rusia. Roni hanya pergi 5 hari, dan ternyata Andrean sudah bertindak sampai membuat Arin memunculkan diri di hadapan orang yang seharusnya dia hindari. Persis seperti lima tahun belakangan ini.
"Sebenarnya apa yang Anda lakukan. Bukankah Anda yang bertanggung jawab agar aku tidak bertemu dengannya lagi? Tapi coba lihat sekarang. Dia menyelidikiku, dan sepertinya dia tidak akan berhenti."
Roni memaksa dirinya untuk tersenyum. Sungguh mendapati Arin yang begitu ia rindukan membuatnya mati kutu.
"Just Roni please. Saya yang salah. Pesta itu di luar sepengetahuan saya. Dan ternyata Andrean sepertinya sengaja mengirimku jauh, agar dia bisa bertindak tanpa diawasi. Saya mohon maaf Arin."
Arin menghela nafas. Dia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan asisten Andrean itu. Walau bagaimana pun, Roni banyak membantunya ketika dia harus menata ulang hidupnya, menghilang dari kehidupan keluarga Wijaya.
"Maafkan aku. Tidak seharusnya aku menyalahkanmu. Siapa yang bisa menghentikan si Keras kepala itu jika dia menginginkan sesuatu. Kepalanya rusak, tapi degilnya semakin parah saja."
"Tidak. Ini memang salah saya dan saya akan menyelesaikan semuanya. Omong-omong, kenapa Anda bisa di sini?"
"Berhentilah bersikap formal padaku. Aku sudah menganggapmu seperti kakakku sendiri."
Roni tersenyum getir. Kakak. Sepertinya tak ada sedikitpun harapan untuknya.
"Si Batu itu ingin aku menangani proyek perusahaan kalian. Aku ke sini untuk menolaknya dan mengakhiri omong kosong ini."
"Aku akan mendampingimu Arin, tidak usah khawatir. Ayo, kita ke ruangan Andrean."
"Tidak usah Ron, karena kau ada meeting di luar. Check lah ke sekretarismu. Kau menggantikanku hari ini."
Suara otoriter itu membuat bola mata Arin berputar seketika. Sepertinya ini tidak akan mudah. Tapi Arin tidak bisa menyerah begitu saja.
"Jangan konyol Boss. Aku baru datang. Dan ada yang harus kulaporkan tentang konferensi Rusia kemarin. Urgent dan sangat penting."
Andrean yang sudah memegang pinggang belakang Arin dan hendak menggiringnya ke kantornya, menurunkan kembali tangannya. Memicingkan mata tajamnya pada sosok asisten yang kini terasa seperti rival baginya.
"Konyol, Ron? Begitukah caramu berbicara dengan Bossmu? Tim survei baru saja ke bawah dan menunggumu untuk segera berangkat. Kau bisa segera menyusul mereka."
Roni menatap Arin. Meminta maaf dengan tatapannya dan berjanji akan membantunya menyelesaikan masalah obsesi Andrean pada diri wanita itu.
"Kalau begitu saya permisi, Boss. Saya akan kembali begitu saya selesai."
Andrean tidak menjawab dan langsung menarik Arin ke satu-satunya kantor petinggi selain sekretaris tentunya.
"Ini landscape dan siteplannya. Orangku sudah membuat master plannya, jadi kau tinggal buatkan interiornya." ujar Andrean langsung.
"Aku ingin bicara Tuan Wijaya. Saya harap Anda mau mendengarkan saya dulu."
Andrean yang sedari tadi mencari sesuatu berhenti. Memandang wanita yang terlihat cantik dengan dress putih tangan buntung itu.
"Baiklah, bicara!" perintahnya cepat.
Arin menghela nafas sebelum mulai bicara. Dilihatnya Andrean bersandar di meja kerjanya sambil melipat tangannya di dada.
"Saya tidak akan berbohong lagi. Sebelum ini, kita memang saling mengenal, tapi tidak seperti yang anda pikirkan."
Andrean tidak berkomentar, sebenarnya kepalanya agak sakit, tapi dia berusaha menahannya.
"Ketika saya berusia 17 tahun, seseorang memperkosa saya. Sayangnya, orang itu adalah orang kaya dan berkuasa, jadi keluarganya menutupi semuanya. Tapi kemudian Tuhan menghukumnya saya rasa, karena orang itu kecelakaan dan saya bersyukur karena saya tidak pernah melihatnya lagi. Saya selalu membenci orang itu. Tapi itu sudah sangat lama. Saya hanya ingin melupakannya, dan tidak ingin bertemu dengannya lagi. Saya rasa anda mengerti apa yang saya bicarakan. Dan saya ingin, setelah ini anda tidak muncul lagi di hadapan saya."
Andrean memijat sedikit keningnya, masih berusaha menahan sakit kepalanya. Sebenarnya sedari tadi dia mencari obatnya, tapi entah kenapa dia tidak menemukannya juga.
"Okay. Sekarang pergilah jika tidak ada lagi yang ingin kau katakan."
Arin sedikit bingung dengan reaksi Andrean. Dia pikir Andrean akan mengamuk atau apa, tapi dia justru sangat tenang.
Arin pun bangkit dan meninggalkan Andrean yang kini sedang berusaha menelepon seseorang.
'Kau adalah sekeping memori untukku Andrean. Sekeping memori, sekeping cinta. Tapi kepingan itu kini telah patah dan tak mungkin bisa disatukan lagi. Aku minta maaf atas kebohonganku. Kuharap kau mengerti.'
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE WILL FIND A WAY
RomanceArin adalah gadis yang nyaris sempurna. Cantik, ramah dan cerdas. Di usianya yang baru menginjak 15 tahun, dia berhasil mendapatkan beasiswa di perguruan tinggi negeri favorit. Dan ketika usianya genap 17 tahun, dia sudah menyelesaikan jenjang sarja...