Arin's POV
Aku baru saja pulang ketika ibuku histeris mengatakan Andrian diculik. Mataku terbelalak dan lututku terasa lemas seketika. Tanpa tahupun aku tahu siapa yang mungkin membawa putra semata wayangku itu.
Aku baru ingin menelepon kak Rama ketika teringat, pelindungku itu sedang ke luar kota karena kasusnya. Aku yang panik berusaha untuk tetap tenang. Jika aku tumbang, bagaimana dengan ibuku yang juga sama terpukulnya denganku nanti.
"Halo pak Roni. Tolong kirim alamat kediaman wijaya. Mereka mengambil anakku."
"....."
"Nanti saja. Cepat, kumohon!" ucapku yang lalu mematikan sambungan telepon itu.
"Ma! Mama tenang dulu ya. Aku nggak akan biarin siapapun mengambil Andrian. Arin akan pergi jemput Andrian dulu, mama tunggu di sini."
Mamaku mengangguk dalam tangisannya. Air mataku rasanya ingin tumpah keluar, tapi aku berusaha menahannya.
*
Setelah tiba di kediaman orang jahat itu aku langsung masuk, walau harus menunggu agak lama karena petugas keamanan harus meminta izin dari si Jahat itu dulu kurasa.
Aku mengedarkan pandanganku, dan seorang pelayan mengantarku ke atas. Si jahat itu sudah menungguku. Dan benar. Dengan gampangnya dia mengatakan agar aku tidak mencari lagi Andrian, putra kesayanganku itu.
Apa pak Tua itu manusia? Aku ini ibunya, yang melahirkannya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal sekeji itu?
Kami terus saja berdebat. Kebanyakan aku memohon tepatnya mengemis agar si Jahat itu mengembalikan anakku. Dan saat itulah dia muncul, menghentikan kata-kataku, berbanding terbalik dengan air mataku yang justru jatuh beruruaian. Tanpa kata dia merapatkanku ke tubuhnya yang beraroma tajam. Dia mengetahuinya. Dia pasti sudah mengetahui semuanya.
***
Aku menatap putraku yang sedang tertidur bersama ibuku yang sudah berada di apartemen ketika kami sampai. Tadi, begitu kami berhasil membawa Andrian, Roni sudah berada di depan kediaman Wijaya dan langsung mengantarkanku, Andrean yang membisu, dan putraku yang tertidur di pangkuan Andrean yang hanya memeluknya possesive tanpa kata.
"Sudah sana, temui nak Andrean. Kalian harus bicara."
Aku tersenyum getir. Ibu benar. Kami harus bicara. Tapi aku takut sakit kepalanya kambuh, apalagi Roni tadi bilang kalau Andrean baru keluar setelah opname tiga hari di rumah sakit. Bagaimana caranya aku bicara tanpa membuatnya tertekan?
Roni membawa kami ke apartemen lama kami. Ternyata tempat itu masih terjaga dengan baik. Pakaianku juga masih berada di tempatnya. Roni memang sengaja membiarkannya utuh. Mungkin berjaga-jaga jika Andrean menanyakannya ketika ingatannya kembali.
Dan di sanalah dia. Di sisi ranjang dengan tangan yang menutupi wajahnya. Dia menyadari kehadiranku, lalu menatapku lamat-lamat dan dalam.
Aku bersimpuh di bawahnya, memegang kedua tangannya yang terasa dingin dan gemetar.
"Ini bukan salahmu, dan aku tidak pernah sekalipun menyalahkanmu. Jadi singkirkan rasa bersalah itu dari kepalamu. Aku takut kamu sakit lagi."
"Aku sangat menyedihkan. Bagaimana bisa aku melupakanmu? Istriku. Wanita yang selalu aku inginkan."
"Kau begini karena aku. Kalau saja kau tidak menurutiku, kecelakaan itu mungkin tidak akan terjadi. Saat itu, di mata ayahmu, di dunia bisnismu, aku hanyalah parasit pengganggu yang selalu jadi kelemahanmu. Itu membahayakanmu, jadi....ketika dokter bilang kau koma, kemungkinan hidupmu sangat kecil dan........dokter juga bilang, kalaupun sadar, kau akan kehilangan memorimu, aku menuruti ayah untuk pergi dari hidupmu. Tapi meski begitu, kau tidak pernah meninggalkan hatiku. Aku menawanmu di sini." kataku membawa tangannya ke dadaku, membuatnya merasakan debaran hebat yang selalu muncul ketika aku bersamanya.
Tak ada kata lagi. Yang ada hanya emosi yang bergejolak. Andrean menangkup wajahku dan melampiaskan emosinya. Tangannya menarik pinggangku hingga aku menempel dengan tubuhnya. Erat dan tak terpisahkan. Aku tahu dia melakukannya untuk meluapkan rasa sakit di kepalanya. Jadi aku membiarkannya dan karena aku juga menginginkannya. Wanginya, panas tubuhnya, deru nafasnya, dan gejolak jiwa. Aku merindukan Andrean Brama Wijaya. Suamiku.
***
Andrean's POV
Aku menggeliat nikmat ketika matahari mulai menggangguku dan bingung ketika tidak mendapati seseorang pun di sampingku. Tapi ketika aku melihat sebuah tas kecil di atas meja rias, aku tersenyum. Hampir saja aku berpikir aku gila dan semalam hanya ilusi semata.
Semalam kepalaku rasanya hampir pecah setelah mengetahui kenyataan yang menjungkir balikkan hidupku. Bukan saja aku mengetahui kenyataan hubunganku dengan Arina Larasati yang sangat di luar dugaanku, tapi akhirnya aku juga tahu, orang seperti apa ayahku itu. Arin sepertinya menyadari kesakitanku, karena itu dia membiarkan aku menjamahinya, mengalihkan nyeri hebat dengan pergumulan yang menggairahkan sepanjang malam. Dia bahkan membalasku lebih.
Pergumulan semalam tidak seperti quick sex yang terjadi di studio. Arin begitu menikmati dan dia juga memberikan kenikmatan hebat padaku. Tak pernah kubayangkan Arin yang terlihat lugu di usia 22 tahunnya, bisa begitu liar dan nakal. Aku bahkan sampai kewalahan setelah ronde panjang kami. Aku meringis. Bagian pangkal pahaku sakit karena gigitan nakal Arin semalam. Ugh! memikirkannya langsung membuatku tegang. Sepertinya aku harus mandi sekarang. Setelah itu, baru menemuinya.
"Arina sedang ke swalayan nak Andre. Mereka mau belanja katanya." ucap wanita paruh baya yang cantik dan anggun itu, Arin mewarisi semua bagian terbaik dari kecantikan ibunya, bahkan lebih.
"Sendiri? Kapan? Kemana?" tanyaku membabi buta, membuat ibu mertuaku yang sedang memasak terkekeh.
"Tenang Nak. Mereka pergi ke swalayan dekat sini. Dan jangan khawatir. 2 orang body guard mengekori mereka dari belakang."
Hffft. Pasti Roni melakukan prosedur pengamanan selayaknya padaku. Setidaknya dia masih tahu diri.
Baru saja aku ingin bicara lagi, yang aku cari-cari pulang dengan membawa hanya satu kantong belanjaan serta menggandeng jagoan kecilku di tangan lainnya yang bebas.
Dia berhenti sesaat setelah melihatku, tapi kemudian mengalihkan pandangannya. Apa itu? Apa dia tidak mengacuhkanku?
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE WILL FIND A WAY
RomansaArin adalah gadis yang nyaris sempurna. Cantik, ramah dan cerdas. Di usianya yang baru menginjak 15 tahun, dia berhasil mendapatkan beasiswa di perguruan tinggi negeri favorit. Dan ketika usianya genap 17 tahun, dia sudah menyelesaikan jenjang sarja...