Munafik

6.1K 357 2
                                    

Arin gugup setengah mati ketika Andrean bilang kalau keluarganya sudah menunggu kedatangan mereka. Orang tua Andrean sebenarnya sudah mengharapkan kedatangan mereka dari sebulan yang lalu, tapi Andrean tak kunjung membawa perempuan yang katanya sudah dinikahinya itu. Karena itu, demi keamanan dan rencananya, Andrean sengaja membawa Arin ke Bali hanya agar orang tuanya bisa bertemu dengan istrinya, satu-satunya menantu keluarga wijaya itu. Itupun aji mumpung, karena kebetulan keluarga Andrean sedang berlibur di negeri dewata itu. Untuk diketahui, sebenarnya, orang tua Andrean tinggal di London, sedang rumah mereka di ibukota kadang hanya ditempati adik Andrean yang berprofesi sebagai model.

"Apa kau yakin? Kau masih terlihat pucat. Lebih baik kita batalkan saja dan kembali ke hotel." tanya Andrean cemas.

Arin menggeleng cepat. Bagaimana bisa Arin membatalkan pertemuan pertamanya dengan keluarga suaminya. Apalagi, dia ingat bahwa Andrean akan mendaftarkan pernikahan mereka setelah dia diperkenalkan kepada keluarganya.

"Aku tidak bisa melakukan itu. Mereka sudah menunggu kita. Tentu kita harus menemui mereka." ucap Arin dengan kegugupan yang semakin menjadi.

"Apa masih sangat sakit?" tanya Andrean sembari menghirup aroma rambut Arin. Wangi bunga dan membuat Andrean gila.

Arin hanya mengangguk pelan, sedang Andrean malah menyeringai jahat. Dia tidak merasa bersalah sama sekali. Kenapa juga dia menanyakannya? membuat Arin malu saja.

"Itu karena kau belum terbiasa sayang. Jadi kita harus sering-sering melakukannya, biar kau terbiasa dengan keperkasaanku."

Arin melotot dan mendorong tubuh tegap suaminya. Andrean malah terbahak dan merangkul Arin kembali. Tidak mempedulikan kegugupan dan kecemasan istrinya sama sekali.

***

Gugup. Itulah yang dirasakan Arin ketika dia berhadapan dengan Mom, dad and adik perempuan Andrean yang menyambut mereka dengan senyum paling ramah yang pernah Arin lihat.

Arin membuat dirinya senyaman mungkin. Dia pikir, dia akan ditanya tentang keluarganya yang pasti akan membuat Arin minder, tapi nyatanya mereka hanya menanyakan hal-hal sepele seperti hobi dan prestasi Arin di sekolah.

Keluarga Andrean adalah keluarga yang sangat ramah dan menyenangkan, tapi entah kenapa Arin merasa Andrean sendiri sepertinya tidak nyaman. Andrean hanya sibuk dengan gadgetnya di samping Arin. Tidak tertarik sama sekali dengan obrolan keluarganya. Saat makan pun, Andrean tidak banyak bicara.

Pukul 19.08

Tok tok.

Arin yang sedang membaca majalah di sofa kamar, langsung menghentikan bacaannya. Rupanya, seorang pelayan. Dia menyampaikan pesan kalau Tuan besar sedang menunggunya di ruang kerja. Dilihatnya Andrean yang terlelap dari sehabis makan malam. Itu aneh sekali mengingat Andrean tidak pernah tidur cepat.

*

Arin langsung diperintahkan masuk setelah mengetuk pintu. Dia sebenarnya sedikit gugup. Kenapa ayah mertuanya tiba-tiba memanggilnya? Arin yang masih  gugup langsung duduk setelah dipersilahkan dan mulai memainkan jemarinya tanpa sadar.

"Sebenarnya, aku tidak suka berbasa-basi, tapi aku tidak akan leluasa mengutarakan apa yang aku inginkan selama ada Andrean. Dia selalu di sampingmu, memastikan kau tidak tersakiti oleh keluarganya sendiri. Dasar over protektif!"

Kening Arin mengerut. Aneh. Kenapa ayah mertuanya yang tadinya ramah mendadak jadi formal dan kaku seperti ini?

"Aku sudah mengetahui semua tentangmu. Kau adalah perempuan yang baik, cantik, dan cerdas. Tapi maaf, kau tidak cukup baik untuk menjadi pendamping putraku."

Glek.

Apa ini? Apa baru saja Tuan Wijaya, ayah suaminya, yang tadi terlihat sangat ramah dan menyenangkan berubah menjadi Tuan Besar yang....... munafik?

"Kamu menjadi beban bagi Andrean. Dulu dia selalu fokus pada pekerjaannya, tapi sekarang dia hanya sibuk menjaga keselamatanmu, bahkan tidak mempedulikan keselamatannya sendiri."

"Ma-maksud ayah?" tanya Arin dengan kata-kata yang tercekat.

"Andrean adalah orang yang berpengaruh, jadi banyak yang ingin menjatuhkannya. Mencari tahu kelemahannya dan memanfaatkan kelemahan itu untuk menghancurkan Andrean. Mereka tahu jika menyerang langsung, mereka pasti gagal. Jadi, pilihan terbaik adalah mencari tahu kelemahan Andrean. Dan kau, adalah kelemahan Andrean. Mereka akan selalu mengincarmu untuk menyingkirkan putraku. Apa kau tahu, kalau akhir-akhir ini, suamimu tengah diteror dengan ancaman pembunuhan? Lihat ini, ini adalah gembok pintu belakang suit yang kalian tempati. Ditemukan berlubang dan mereka hampir masuk ke suit jika keamanan tidak dapat meringkus mereka. Apa kau tahu juga, kemarin, suamimu itu sudah merelakan bisnis jutaan dollar hanya karena harus menemanimu yang sakit?"

Arin berkaca-kaca dan tak tahu harus berkata apa. Dia tidak pernah seminder ini dalam hidupnya. Tapi dikatakan menjadi beban seseorang membuat Arin seperti parasit pengganggu kehidupan Andrean. Tanpa terasa, air mata Arin pun terjatuh.

"Mungkin ini kejam, tapi orang seperti Andrean tidak punya hak untuk mendapatkan cinta. Bagi kami, cinta hanya akan menjadi kelemahan. Andrean harusnya menikah dengan putri pengusaha atau pejabat yang bisa menguatkan posisinya, bukan melemahkannya. Jadi aku mohon, tinggalkanlah Andrean, hanya itu yang bisa menyelamatkan kalian berdua."

"Aku mengerti. Aku akan kembali ke kamar sekarang. Aku takut Andrean bangun."

"Dia tidak akan bangun sampai pagi, kami memberi obat tidur pada minumannya. Kita tidak akan pernah bisa bicara jika dia tidak tertidur pulas."

Arin mengusap air matanya dan keluar. Di luar, mom dan Aurel, menatap nanar pada Arin. Mereka mungkin juga berpikiran sama dengan Tuan Wijaya. Menganggap Arin hanya menjadi beban bagi Andrean.

'Kenapa aku sesesak ini? Bukankah bagus? Bukankah ini yang aku inginkan? Terbebas dari pria sok berkuasa itu? Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan sekarang?'

***

Sinar matahari masuk dan menyilaukan Andrean. Entah kenapa dia bisa sangat terpulas kemarin malam. Dia bahkan tidak ingat apa dia menyentuh istrinya atau tidak. Tapi senyumnya langsung tersimpul ketika melihat bidadarinya menggeliat dengan sedikit mendesah, mencari kenyamanan di tubuh bidang suaminya.

'Ah, dia menggodaku.' tanpa izin, Andrean lalu menciumi leher jenjang Arin. Membuat si empunya leher menggeliat nikmat tanpa sadar.

"Hmmm..." Arin bergumam lirih dan terbangun ketika Andrean sedang menikmati bukit kembar Arin yang sekal dan kenyal.

"Apa kau menikmati sarapanmu, Tuan?" tanya Arin yang hanya dijawab dengan seringaian yang lebar. Andrean tidak ingin diganggu. Dia terus menggarap Arin sampai base terakhir.

*

"Aku sudah sehat dan aku mau berkeliling Bali di hari terakhir kita ini." ujar Arin setelah 'olah raga' pagi mereka selesai.

"Hey Nyonya Wijaya. Jangan bicara seolah-olah ini memang hari terakhir kita. Kalau kau mau, kita bisa menginap beberapa hari lagi di sini." timpal Andrean sembari mengelus-elus rambut Arin yang agak lengket karena keringat.

"Tidak bisa. Aku tahu kau ada meeting penting besok di Jakarta. Kita harus menghabiskan hari ini dengan jalan-jalan, lalu pulang nanti malam. Understood?"

"As you wish, Madam." patuh Andrean yang geli melihat Arin mencoba meniru sifat bossynya.

'Sehari. Sehari saja. Aku ingin kita bersama, tanpa orang-orang munafik yang mengelilingimu. Aku benci mengatakan ini. Keluargamu munafik Andrean. Tapi mereka keluargamu, dan juga keluargaku. Walau mereka takkan pernah mengakuinya.'

LOVE WILL FIND A WAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang