Teramat mencintaimu

6K 383 5
                                    

Arin merasa sangat nyaman ketika ia terbangun. Cuaca sepertinya sangat cerah sampai terasa begitu hangat. Arin menggeliat dan merasakan sesuatu yang panas mengekangnya. Dan dia begitu terkejut ketika mendapati Andrean sedang terlelap di sampingnya.

'Kapan dia masuk ke kamarku?'

Arin merutuki kebodohannya. Dia pikir, dia lupa mematikan lampu ketika mendapati pintu kamarnya menyala. Ternyata memang ada yang menyalakannya ketika dia pergi.

Arin menggeserkan lengan kekar yang mengekangnya agar ia bisa turun. Dia harus segera bersiap-siap, kalau tidak, dia akan terlambat ke LITTLE EINSTEIN.

Setelah mandi dan berpakaian Arin ke dapur untuk membuat dua porsi sarapan. Andrean pasti begitu lelah sampai dia tidur dengan pakaian kerjanya. Arin melirik ke arah pintu, ternyata dua koper sudah ada di sana. Ya. Dia pasti sangat kelelahan sampai tidak sempat memindahkan kopernya ke kamarnya juga.

"Pak Roni, Boleh saya tahu kapan Andrean pulang semalam?" Telepon Arin setelah ia menghabiskan sarapannya.

"Sebelum anda pulang. Tapi karena salah informasi, dia pikir anda masuk rumah sakit dan langsung menuju ke sana. Setelah adegan panik semalam, barulah dia kembali ke apartemen. Dan tolong, just Roni, Mam.'

'Rumah sakit?' Arin tidak mengacuhkan kalimat terakhir Roni. Dia hanya memicingkan matanya. Keputusannya menelepon Roni sepertinya sudah tepat karena kepala jeniusnya tengah menyimpulkan sesuatu.

"Apa kau baru saja bilang kalau kalian mengintaiku, pak Roni?"

"......"

"Seharusnya aku tahu itu. Kalian dan kekuasaan kalian yang luar biasa. Tapi maaf, aku tidak terkesan."

"......"

"Trims."

Arin menutup telepon tanpa menunggu pembelaan dari Roni yang jadi pendiam. Setelah rapi, Arin langsung bergegas ke tempat kerjanya yang berada di Lobby utama.

Drrrt.....drrrt....

Arin membuka pesan di handphonenya. Dari Si Kaki Tangan ternyata.

____________________________________

From : Kaki Tangan

Maaf jika membuat Anda marah. Semua Boss lakukan hanya karena dia khawatir. Dan tolong jangan bertengkar dulu dengannya. Dia baru tiba setelah 16 jam penerbangan FRANKFURT-JAKARTA. Tolong bersabarlah dengannya.
____________________________________

'Cih! Lagaknya seperti istrinya saja. Seharusnya dia yang menikah dengan pria itu, bukan aku.' rutuk Arin dalam hati. Tapi mungkin dia akan bersabar sebentar. Paling tidak sampai jetleg Andrean hilang. Penerbangan 16 Jam, Arin pun tidak dapat membayangkannya.

***

Pukul 12.05

Arin masuk dengan membawa dua kotak makan siang. Dilihatnya belum ada yang berubah. Dua koper masih tergeletak di dekat pintu, sarapan yang ia buat belum disentuh, dan...Andrean pun masih terlelap dalam tidurnya.

'Kasihan juga dia. Pasti dia sangat kelelahan.'

Arin pergi kembali setelah makan siang. Dia berharap Andrean sudah bangun ketika ia pulang nanti. Setidaknya Andrean harus makan. Dan sudah waktunya mereka mulai bicara.

*

Pukuk 15.40

Andrean menggeliat nikmat. Rasanya dia tidak pernah senyaman ini. Tapi ketika dia sadar dan tidak menemukan Arin di sampingnya, dia langsung panik seketika.

'Shit! Apa dia pergi karena aku tidur di sini?'

Andrean sedikit linglung ketika melihat jam tangannya. Jamnya menunjukkan pukul 3.41, tapi kenapa langitnya terang. Apa dia tidur sampai sore??

"Halo Ron, Arin menghilang. Apa orang suruhan kita masih mengawasinya?"

Terdengar cekikikan dari ujung telepon. Membuat Andrean jengkel saja. Dia tidak ingin bermain-main saat ini.

"Apa kau tahu rasanya dimutilasi, Ron?" ancam Andrean yang tak membuat Roni gentar.

"Relax boss. Nyonya Wijayamu itu tidak menghilang, dia hanya pergi bekerja. Mungkin sebentar lagi dia selesai. Pergilah ke Ann's Art di seberang apartemen. Kau bisa menemukan istrimu yang hilang itu."

"Sial kau, Ron. Baik, kututup dulu."

Andrean mengacak-acak rambutnya. Dia kesal sekali karena Arin terus saja menghilang. Semoga ini bukan aksi menghindarnya.

Andrean melihat dompet pink yang tergeletak di atas meja rias Arin, dompet yang ia letakkan sebulan yang lalu masih tergeletak di tempat yang sama. Isinya bahkan tidak berubah Masih sama tebal seperti saat ia mengisinya sebelum pergi.

'Apa dia bekerja karena tidak ingin menggunakan uangku?'

Andrean bahkan tidak sadar kalau dompet itu tidak pernah kemana-mana, karena saat mengawasi, dia hanya fokus mengamati Arin.

Andrean memutuskan untuk mandi, dan dia senyum di wajahnya langsung membuncah ketika melihat lunch box di atas meja makan.

'Setidaknya, dia sedikit peduli padaku.' katanya lalu menghabiskan makanannya yang masih belum cukup mengenyangkannya itu.

Drrtt...drrrtt...

Andrean mengangkat telepon saat mengunyah suapan terakhirnya. "Hmm..Dimana?"

Setelah itu, Andrean bergegas. Ron bilang, kelas menggambar Arin sudah selesai dan gadis itu siap untuk pulang.

Sepuluh menit kemudian, Andrean sampai di depan ruko tak jauh dari posisi Arin berada. Dilihatnya lamat-lamat istrinya itu. Tersenyum. Arin tersenyum. Dia sedang bersama beberapa pria remaja yang mengenakan seragam SMP dan SMA. Yang benar saja. Masa Andrean harus bersaing dengan anak-anak ingusan itu.

Hampir saja Andrean menghajar para remaja itu jika mereka tidak juga pergi. Lalu seorang wanita dari dalam ruko terlihat menyapanya, sesaat dan lantas pergi.

'Great. Siapa yang mengizinkan dia tersenyum pada semua orang?'

Andrean memicingkan mata ketika Arin justru ke arah lain. Sepertinya dia tidak berniat pulang.

'Ha! Lihatlah itu! Dia pasti sengaja menghindariku.'

Bukannya memanggil. Andrean justru menguntit Arin. Dia menyuruh supirnya untuk menunggunya di parkiran ruko mewah tempat Arin mengajar, sedang Andrean terus mengikuti langkah Arin. Ingin tahu apa yang akan dilakukan Arin dalam aksi kabur-kaburannya itu.

***

Pukul 16.30

Arin terlihat sibuk di toko buku. Dia sibuk membaca sample ataupun sinopsis buku, tapi kemudian dia merengut ketika melihat harga buku yang ia lihat, lalu menghela nafas.

'Lihatlah itu! Istri seorang billionier merengut karena tidak mampu membeli buku. Arin...Arin... Dasar keras kepala.'

Setelah keluar dengan wajah yang merengut, gadis itu lalu ke sebuah departemen store dan melihat-lihat sepatu sport. Dia tersenyum melihat sepasang sepatu gradasi putih pink dan langsung terbelalak ketika melihat price tag sepatu itu.

Andrean terkekeh di tempat persembunyiannya. Bagaimana Andrean tidak mencintai gadis 17 tahun itu? Arina Larasati. Tidak ada bandingannya.

'Arin...Arin... Apa kau tahu? Aku teramat mencintaimu.'

LOVE WILL FIND A WAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang