Jarak

6.1K 387 0
                                    

Andrean's POV

Shit! Shit! Shit! aku terus saja mengutuk kebodohanku karena mencintai gadis bodoh sepertinya. Otak encernya tidak berguna sama sekali. Dia pintar, tapi juga sekaligus bodoh. Bagaimana bisa dia ingin mengakhiri hidupnya karena menikah denganku? Aku. Andrean Brama Wijaya. Wanita seantero negeri bahkan memuja dan mendambakanku. Tapi dia, si Dungu itu, wanita satu-satunya di dunia ini yang aku pilih. Dan sialnya, dia justru lebih memilih hidup di akhirat ketimbang hidup bersamaku di dunia. Shit! Shit! Shit!

Aku meneguk minumanku sekaligus sebelum mengangkat telepon yang memang kutunggu-tunggu.

***

"Beres? Baiklah. Good job, Ron. And thanks." ucap Andrean singkat lalu menuju ke rumah sakit, tempat dia meninggalkan Arin yang sedang melakukan perawatan. Andrean bersyukur dia kembali saat itu. Setidaknya, Arin hanya mendapat jahitan saja. Andai saja dia terlambat. Dia bahkan tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada istri dungunya itu.

Andrean mengeluarkan lembaran foto yang kini sudah kusut karena remasannya. Tidak pernah Andrean sangka, Arin memiliki pujaan hati. Dia pasti hancur ketika Andrean memintanya untuk menikah. Tapi apa peduli Andrean. Dia tidak peduli pada pria berhidung bangir itu. Yang jelas Arin sudah menjadi istrinya, dan dia harus mempertahankan miliknya yang berharga.

***

Arin  menggeliat ketika matahari mulai mengganggu matanya. Ia melihat seorang wanita paruh baya terlihat membuka tirai balkon dan langsung tersenyum ketika menyadari Arin yang sudah terjaga.

"Pagi Nyonya. Perkenalkan! Saya Sumi, pelayan nyonya mulai hari ini. Tuan sudah berangkat pagi-pagi sekali. Dia meninggalkan catatan di meja rias nyonya. Apa nyonya ingin mandi? Atau ingin sarapan dulu?"

Arin mengerjapkan mata dan memijit kening. Apa lagi ini?

"Apa anda masih pusing, Nyonya? Apa perlu saya panggilkan dokter?" ujar pelayan itu terlalu over protektif.

"Tidak. Aku baik-baik saja." jawab Arin sedikit berbohong karena sebenarnya kepalanya memang masih sedikit pusing. Arin melihat perban di lengannya dan menghela nafas. Rupanya dia gagal dan dia yakin, dia tidak akan punya kesempatan lagi karena ancaman si sok berkuasa itu. Dasar payah.

Arin melirik meja rias, tempat si Sok Berkuasa meninggalkan pesan untuknya. Dia pun beringsut dan membaca tulisan rapih itu setelah wanita paruh baya yang merapikan kamarnya keluar dari kamar.

====================================

Aku akan memberimu waktu sebulan. Selama itu, belajarlah menerima hidupmu yang sekarang. Coba saja kau bertindak bodoh. Aku pastikan kau akan menyesal. Simpan nomor Roni, dan katakan padanya jika kau butuh sesuatu. Dan simpanlah dompetmu. Gunakan untuk apa saja yang kau inginkan.

ABW, suamimu.

====================================

Arin meletakkan kembali note itu di tempatnya dan melihat dompet pink yang tergeletak di samping note tadi. Dompet merk DC dengan aksen elegan. Isinya penuh dengan kartu dan uang lembaran merah. Arin tidak tertarik  sama sekali dan segera meletakkannya kembali. Setidaknya, Arin terbebas dari si Jahat selama sebulan ini. Arin memang butuh waktu sendiri. Meratapi nasibnya yang tak kunjung membuatnya bahagia.

***

Andrean's POV

Arrgh!!! Aku sangat merindukannya. Melihatnya dari layar persegi membuatku semakin merindukannya.

Ya. Aku memasang CCTV di apartemenku untuk mengawasinya. Aku memang meninggalkannya, tapi sesungguhnya aku takut dia melakukan sesuatu yang bodoh kalau aku meninggalkannya sendiri. Karena itu, aku memasang CCTV untuk terus memantau keadaannya lewat gadgetku.

Dia keras kepala. Baru tiga hari, dia sudah menelepon Roni untuk menarik semua pelayan dari apartemen. Aku memang memerintahkan para pelayan itu untuk datang setiap hari, walaupun yang ada mereka harus pulang kembali lantaran tidak bisa menembus pintu apartemenku. Tidak diijinkan masuk oleh si Nyonya rumah. Aku membiarkannya. Dia memang terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri. Aku bisa apa? Aku juga menyuruh Roni mengutus orang untuk menjaganya, tapi tidak perlu mengabarkannya kecuali sesuatu yang buruk terjadi pada gadisku itu. Dan kuharap tidak akan ada hal buruk yang menimpanya.

Dia begitu cantik dengan rambut panjang dan tubuh rampingnya. Kadang dia memakai baju yang membuat darahku mendidih, tapi aku berusaha keras menahan hasratku. Aku mengamatinya. Dan aku mulai mengetahui kebiasaannya saat di rumah.

Dia akan bangun pagi lalu mandi. Aku kadang cukup beruntung ketika dia mengganti bajunya di kamar, memperlihatkan siluet dewinya yang bagaikan maha karya bagiku.
Setelah mandi dia akan membuat sarapannya, dan menghabiskannya lambat, walaupun sarapannya hanya sedikit. Setelah itu dia akan keluar apartemen dan balik ketika makan siang. Dia makan seadanya, aku jadi khawatir dia sakit karena makannya yang sedikit. Tapi toh dia ternyata baik-baik saja. Setelah makan siang, dia akan keluar apartemen lagi dan kembali sekitar pukul 4 sore. Aku penasaran kemana dia pergi, tapi aku tidak menanyakannya pada Roni. Asal tidak ada kabar buruk, itu sudah cukup bagiku. Kalau paparazi bilang bad news is a good news...maka dalam kasusku..no news is a good news.

Ketika sore dia akan ke balkon. Merasakan angin sore yang menerbangkan rambut indahnya. Dia juga sibuk mengurus mini garden yang aku minta seminggu setelah keberangkatanku. Sengaja. Agar Arin ada kesibukan. Sekarang aku sedang melihatnya di pinggir jendela besar yang menuju balkon. Dia melakukannya lagi. Menangis ataupun merenung sendiri. Satu-satunya hal yang membuat dadaku sesak.

Apakah dia akan terus begitu?

Sesulit itukah menerimaku sebagai suaminya?

Tidak! Ini hanya sementara. Aku ini Andrean Brama Wijaya. Tidak ada yang tidak bisa aku kuasai.

Aku masih mengamatinya sampai dia bangun dan mengambil handphonenya yang berada di ranjang. Kulihat dia tersenyum ketika menelpon orang tuanya. Setidaknya aku bisa melihat senyumnya sesekali. Dia memang menelepon orang tuanya hampir setiap hari. Akupun memastikan mertuaku itu baik dan tanpa kekurangan satu apapun.

Dan ketika waktu di Indonesia menunjukkan pukul 7 malam, Arin beranjak ke ruang kerjaku. Mungkin dia membaca buku  atau apa, entah aku tidak tahu, karena aku tidak memasang CCTV di ruang kerjaku yang hanya penuh dengan koleksi buku-buku.

Sebulan. Sebulan itu berakhir hari ini. Besok aku akan kembali dan mengacak-acak kembali hidupnya. Aku hanya berharap, dia lebih tenang dan mulai menerimaku nantinya.

Jarak ini membuatku semakin menyadari sesuatu. Aku mencintainya dan semakin mencintainya. Aku bersumpah, aku tidak akan pernah mau kehilangan dirinya.

LOVE WILL FIND A WAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang