Kesepakatan

6.1K 376 4
                                    

Arina menatap dedaunan di bawah kakinya. Dia merasa begitu tak berdaya. Setelah kekalahan kasus pertamanya di pengadilan, Arin pesimis bisa menang di kasus keduanya. Ya. Dua. Arin mengajukan dua tuntunan sekaligus.

1. Penipuan Hutang Piutang
2. Pemalsuan surat sertifikasi tanah dalam mega proyek BW Group.

Arin menghela nafas berat. Dia benar-benar merasa dilema. Di satu sisi ayahnya sedang berjuang di rumah sakit dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di sisi lain, ada tawaran yang mungkin akan disesalinya seumur hidup. Air mata Arin terjatuh lagi. Entah kenapa air matanya itu tidak pernah mengering.

"Ya, Bu? APA?"

Arin tercekat ketika ibunya menelepon lewat telepon rumah sakit. Ayahnya anfal. Arin merasakan nyeri hebat di dadanya. Dia merasa begitu tak berdaya.

'Ayah....apapun akan Arin lakukan untuk ayah....Arin janji.' batin Arin seiring dengan air matanya yang terus beruraian.

***

Andrean mengintip dari balik tirai kamarnya. Dia terkejut ketika pengawalnya bilang ada seorang gadis yang mondar-mandir terlihat di CCTV. Setelah melihat siapa gadis itu, Andrean menyuruh mereka membiarkan gadis itu. Andrean seharusnya pergi, tapi dia ingin tahu apa yang akan dilakukan gadis yang masih saja mondar-mandir itu. Jadi dia membatalkan semua meetingnya hari ini, dan sibuk mengamati si keras kepala dari dalam villa mewahnya.

'Apa sebegitu susahnya kau menerima keputusan ini, Pink?'

Waktu berjalan lagi. Terhitung sejak malam sampai pagi, Arin masih saja berada di luar pagar tinggi villa Andrean. Dia ingin sekali menarik gadis keras kepala itu ke dalam, tapi dia ingin gadis itu yang menyerah. Dia ingin Arin datang padanya dan mengatakan jika dia setuju dengan pernikahan yang dia usulkan. Toh, Andrean tidak main-main dengan kata-katanya. Dia memang ingin menikahi gadis tujuh belas tahun itu.

'Shit! Aku benar-benar lapar, tapi rasanya aku muak melihat makanan ini.' pekik Andrean ketika dia sudah berada di meja makan.

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi, tapi Arin masih saja kekeh di luar sana. Menggigiti kukunya yang mungkin sekarang sudah tidak keruan bentuknya.

"Maaf Tuan. Gadis itu meminta bertemu dengan Tuan." ujar seorang pengawal berbaju hitam.

'Huff! Akhirnya.' "Cepat suruh dia masuk!"

Andrean mulai gugup. Ini tidak seperti biasanya. Dia biasanya selalu siap untuk apapun. Tapi kali ini dia tidak bisa memikirkan kemungkinan apapun. Arin bukanlah gadis yang bisa ditebak.

"Apa sebegitu susahnya memencet bell?" tanya Andrean yang mendapati wajah merona di hadapannya. Gadis itu demam. Andrean yakin itu.

"Kalau saja ini bukan pintu neraka, aku pasti sudah memencetnya dari semalam."

'Ish! Sarkasme sekali dia.' "Fine, duduklah! Kita sarapan dulu, baru bicara."

"Aku tidak ke sini untuk makan. Bantu aku menyelesaikan administrasi rumah sakit. Aku tidak punya banyak waktu. Ayahku dalam bahaya."

Andrean memicingkan matanya pada gadis bermata jeli itu. "Apa itu artinya 'Yes'?"

Andrean ingin sekali mendengar jawaban Arin, tapi tak lama, Arin justru jatuh tak sadarkan diri.

'What the...????'

***

"Kau sudah bangun?"

Arin mencoba mengerlipkan matanya berkali-kali. Berharap bisa melihat dengan jelas.

"Kau membuatku takut. Inilah akibatnya jika kau terlalu keras kepala. Kau menyiksa dirimu sendiri."

Arin tidak mengacuhkan kata-kata pria yang terlihat mengkhawtirkannya dan hanya mengedarkan pandangannya. Dia berada di kamar bernuansa putih.

"Apa yang kau cari?" tanya Andrean ketika melihat gadisnya celingukkan. Dia pasti baru sadar kalau dia berada di kamar orang asing. Orang jahat dan menyebalkan tepatnya.

"Kenapa aku ada di sini?" tanya Arin tak mengerti. Seingatnya, dia sedang bicara dengan pria menyebalkan ini di ruang makan. Jadi kenapa bisa?

"Kemarin kau demam. Salahmu sendiri kenapa diam di luar semalaman. Makanlah, perutmu kosong sejak kemarin."

Arin mencoba mencerna kata-katanya pria yang duduk di tepi ranjang yang ia tempati. 'Kemarin? Oh Ya Tuhan! Ayah!'

Arin baru saja ingin pergi ketika Andrean mendorongnya kembali hingga gadis itu terduduk.

"Sit! Jangan pergi kemanapun dan dengarkan aku!"

'Apa pria ini sudah gila?'

"Good. Listen! Here's the deal. Hari ini kita akan menikah, lalu operasi ayahmu dan lusanya kita akan ke ibu kota. Deal?"

"Tidak. Operasi ayah dulu, baru kita menikah." kataku dengan tenggorokan yang terasa sakit.

"Apa kau pikir aku bisa mempercayai kata-katamu? Bagaimana jika setelah operasi ayahmu kau berubah pikiran, atau justru kabur? Lagipula jangan khawatir, keadaan ayahmu stabil kembali. Don't worry honey, kurasa dia masih bisa menunggu beberapa jam lagi." urai Andrean panjang.

Arin benar-benar tidak punya tenaga untuk melawan Andrean saat ini. Apapun akan ia lakukan untuk ayahnya. Arin sudah tidak peduli lagi jika dia harus menikah, bahkan dengan iblis sekalipun.

"Nah, kuanggap itu iya. Sekarang habiskan sarapan dan obatmu. Kau butuh tenaga untuk melawanku kan?"

***

Andrean's POV

Aku merasa kemenangan sudah ada di tanganku ketika aku mendapatinya terbaring di kamarku semalam. Wajahnya masih terlihat pucat, tapi setelah mendapat infusan, dokter bilang, dia akan baik-baik saja.

Inilah akibatnya jika terlalu keras kepala. Dia punya kecenderungan menyakiti dirinya sendiri jika dalam keadaan tertekan. Tapi mulai sekarang, aku akan memastikan hidupnya akan baik-baik saja. Aku akan melindunginya, bahkan dari diriku sendiri. If you know what I mean?

Aku kembali dan dia sudah menyelesaikan sarapannya. Dia bahkan sudah mandi dan sungguh, kini dia harum seharum bayi. Aku sangat berterima kasih pada asistenku yang sudah membantu calon istriku yang galak ini.

"Aku tahu mungkin kau masih pusing, tapi aku harus menyelesaikan ini secepatnya. Aku akan memanggil beberapa orang untuk membantumu, setelah itu, kita akan melakukan akad nikah. Bagaimana?" kataku membuatnya bergidik. Aku bisa melihat dia menatapku dengan jijik. Tapi aku hanya tersenyum. Cepat atau lambat, dia harus terbiasa denganku. Harus. Kami akan menikah. Hanya itu kesepakatannya.

LOVE WILL FIND A WAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang