Bunuh saja aku sekarang!

6.4K 379 2
                                    

Arin yang dulu enerjik kini menjadi sangat pendiam. Dia bahkan tidak tersenyum. Apalagi dia harus meninggalkan orang tuanya yang sangat membutuhkan dukungan morilnya saat ini.

"Aku minta maaf kalau kita harus pergi sekarang. Tapi aku sudah terlalu lama meninggalkan perusahaan, banyak pekerjaan yang kutunda karena masalah hukum yang kau ajukan. Tapi aku sudah menyuruh orang untuk selalu menjaga kedua orang tuamu di rumah sakit. Kalau-kalau mereka membutuhkan sesuatu."

"....."

"Begitu ayahmu pulih, mereka akan tinggal di villa kita. Semua sertifikat rumahmu sudah aku kembalikan pada ibumu, tapi lebih baik mereka tinggal di villa. Kurasa itu lebih nyaman."

"......."

"Huft!! Aku seperti kaset rusak saja. Apa kau berencana mute mode terus kepadaku? Heh?"

Cup.

"Apa yang kau lakukan?" Pekik Arin ketika Andrean tiba-tiba mengecup pipinya.

Mereka sekarang sedang berada di dalam mobil menuju ibu kota. Karena pekerjaan Andrean sudah sangat terbengkalai, Andrean tidak bisa lagi berlama-lama lagi di villanya. Dia harus segera kembali.

"Nah, begitu kan lebih baik. Mengamuklah seperti biasanya, keluarkan cakarmu, dan gigit aku jika perlu, tapi jangan mendiamiku seperti tembok. Aku tidak tahan jika tidak diacuhkan."

"Jangan berpikir kau bisa kurang ajar padaku!" Ancam Arin sambil menatap Andrean penuh kebencian.

"Okay, fine. And what else my queen?"

"Aku akan membuat hidupmu tidak bahagia dan membuatmu menyesal karena sudah menikahi gadis sepertiku."

"Okay, Let see what you can do. Now, give me your hand wild cat."

Arin hanya terdiam. Dan itu membuat Andrean tersenyum lalu mengambil tangan mungil Arin.

Arin mengerutkan dahi. Dan ketika Andrean memasangkan cincin pernikahan mereka yang dilepas oleh Arin, Arin hanya bisa pasrah.

"Jangan pernah melepaskan cincinmu lagi apapun yang terjadi. Dan jangan pernah meninggalkannya lagi." ujar Andrean lalu mengecup tapak tangan Arin yang wangi.

Arin segera menarik tangannya. Dia memang sengaja meninggalkan cincin itu di kamar mandi. Melihat cincin itu membuat Arin muak. Yah, setidaknya, dia harus bersabar sebentar lagi.

'Kalau ada tempat dimana aku tidak bisa melihatmu, aku akan dengan senang hati pergi ke tempat itu.' batinnya sambil melihat ke luar jendela mobil.

***

Setibanya di apartemen mewah milik Andrean, Arin langsung dibawa ke kamar.

Kamar itu indah dan menawan. Nuansa putih kentara sekali dengan hiasan pink rose di meja lampu kamar itu. Arin melihat ke arah balkon. Sepertinya balkon itu akan menjadi tempat favoritnya jika dia berniat tinggal lama di tempat ini. Tapi tidak. Arin merasa jijik dengan ruangan ini. Dia ingin segera pergi secepat yang ia bisa.

"Aku memilih tempat ini karena bersebelahan dengan perusahaanku. Hanya butuh beberapa menit untuk ke kantor. Dan menyebalkannya, aku harus segera ke kantor sekarang. Kau tidak apakan jika aku tinggal?"

"Aku bukan bayi manja." ketus Arin membuat Andrean tersenyum lagi, lagi dan lagi.

"I know that." ucapnya lalu menarik wajah Arin dan mengecup keningnya. Benar-benar membuat Arin jijik.

"Aku akan pulang begitu rapatnya selesai."

Arin hanya menjawabnya dengan senyum getir yang terlalu dibuat-buat. Baguslah jika Andrean pergi sekarang. Rencananya akan lebih mudah dari perkiraannya.

***

Tidak butuh waktu lama bagi Arin untuk menjalankan misinya. Dia mengeluarkan tas mungilnya yang menyimpan sesuatu yang tidak diketahui Andrean.

Benda yang terbungkus sapu tangan itu berkilau, ujungnya tidak rata, tapi itu akan sangat membantunya. Arin juga mengeluarkan selembar foto satu-satunya yang ia punya. Foto seorang pria yang kini sedang menempuh studi di HARVARD UNIVERSITY. Alasan yang membuat Arin semakin ingin ke HARVARD saat itu. Untuk menyusul pujaan hatinya. Dia sudah berjanji pada pria tampan itu bahwa dia akan menyusulnya dan mereka akan mengejar mimpi bersama di sana. Tapi mimpi tinggallah mimpi. Arin hanya bisa menangisi pria di dalam foto itu, karena mungkin ini terakhir kalinya ia melihat senyum pujaan hatinya itu.

Arin terisak dan semakin terisak. Sebelum malam tiba, sebelum harta berharganya direnggut oleh pria yang menghancurkan mimpinya, Arin akan lebih dulu menghancurkan dirinya sendiri. Dia tidak sudi tubuhnya disentuh oleh pria sok berkuasa itu. Lebih baik dia mati. Lebih baik dia pergi.

Arin memejamkan matanya dan menggigit bibir bawahnya ketika serpihan kaca itu mulai menyayat kulit putihnya. Perlahan Arin melihat darah segar mengalir dan sayatan itu mulai berdenyut-denyut. Belum...belum terlalu dalam. Ini belum bisa membunuhnya. Harus sampai nadi, baru dia bisa pergi selama-lamanya.

Cling.

Arin terperanjat ketika benda tajam itu terpelanting ke sudut kamar.

PLAK!!!

Arin terperangah ketika dia melihat Andrean menatapnya dengan mata yang berapi-api. Pria itu mengambil selembar foto yang tergeletak di lantai. Arin sangat ketakutan. Entah kenapa sepertinya amarah pria itu lebih menakutkan daripada kematian yang ingin ia datangi. Tamparannya bahkan terasa menyayat hati rapuh Arin.

"APA KAU GILA? Apa kau sungguh-sungguh lebih memilih mati daripada hidup denganku? Apa sebenci itukah kau padaku? HAH?" teriak Andrean memecahkan kesunyian mereka.

"Ya. Aku membencimu. Aku benar-benar membencimu. Jadi bunuhlah aku sekarang! Setidaknya, di alam sana, aku tidak akan bertemu denganmu. Bunuh saja aku sekarang! BUNUH!!!"

PLAK.

Arin merasakan sayatannya masih berdenyut, ditambah pipinya yang terasa semakin perih dan panas. Di tengah kesadarannya yang mulai menghilang, Arin hanya menangisi nasibnya. Kehilangan mimpi dan cintanya, dan berakhir dengan menikahi pria yang ia benci.

"TUTUP MULUTMU! Jangan berfikir kau bisa terbebas dariku! Aku akan mengikatmu sampai kematianpun tidak bisa merebutmu dariku. Dan kau, coba saja kau lakukan hal ini lagi. Aku pastikan, bukan hanya kau saja yang mati. Aku juga akan melenyapkan orang tua, termasuk pria yang kau tangisi itu. Understood???"

Tangis Arin makin menjadi. Dia hanya bisa pasrah ketika Andrean mengangkatnya dan membawanya ke rumah sakit setelah membungkus sayatan itu dengan sapu tangannya. Arin menangis di dada Andrean sampai kegelapan mengambil alih alam sadarnya.

LOVE WILL FIND A WAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang