Arin merasa seperti mayat hidup dengan gaun pengantin sederhana yang ia kenakan sekarang. Sedangkan Andrean terlihat gagah dengan setelan jas mahalnya dan senyum bahagia di wajahnya.
Sebelum akad nikah dimulai, Andrean mengatakan beberapa hal yang tidak dikomentari sama sekali oleh Arin yang sudah tidak terlihat pucat setelah dirias oleh orang sewaan Andrean.
"Sebelum kita memulai hidup baru kita, aku akan mengatakan semua yang perlu kau ketahui."
"Satu. Untuk sementara kita belum bisa mendaftarkan pernikahan kita di catatan sipil karena akan menarik perhatian paparazi. I hate that."
" ...."
"Dua. Kita baru akan mendaftarkan pernikahan kita saat aku sudah mengenalkanmu pada keluarga besarku yang jujur sangat merepotkan. Jadi tolong bersabarlah."
"....."
"Tiga. Kau bisa meminta apapun sesuai dengan hakmu sebagai seorang istri, dan akupun berhak mendapatkan hal yang sama. ' I love this '"
"Empat. Mungkin ini hanya perjanjian bagimu, tapi bagiku ini nyata. Aku menikahimu Arina Larasati dan kau menikahiku, Andrean Brama Wijaya.
Ada yang ingin kau tanyakan?""...."
"Okay, aku anggap tidak ada. Ayo! Penghulu sudah menunggu kita."
Dan semua terjadi dengan sangat cepat. Pernikahan sederhana tanpa penanda tanganan berkas apapun. Ibu Arin terlihat menangis di hari spesial putrinya itu. Dia bukannya tidak tahu apa yang dilakukan putrinya itu. Putrinya mengorbankan hidupnya untuk menyelamatkan sang ayah tercinta. Karena dianggap tidak mungkin menikahkan Arin, wali Arin pun digantikan oleh wali hakim. Semua berjalan sesuai keinginan Andrean.
Arin masih membisu. Dia tidak berkata apapun. Dia bahkan tidak menangisi kepedihannya. Dia hanya mematung dan bergerak seperlunya.
Andrean menghela nafas berat. Tak suka melihat ekspresi istrinya saat ini. Tapi dia pastikan semua akan lebih baik nanti. Setidaknya dia akan mengusahakan yang terbaik untuk istri belianya itu.
***
Arin yang sudah mengganti baju pernikahannya dengan dress bunga sederhana langsung ke rumah sakit. Dia bersikeras menolak ketika Andrean ingin mengantar dan menemaninya. Alhasil, Arin dan ibunya pergi ke rumah sakit ditemani supir dan tangan kanan Andrean yang tadi menjadi saksi pernikahan mereka, Roni.
Setidaknya, Andrean menepati janjinya. Karena ternyata ketika sampai di rumah sakit, ayahnya sudah dalam ruangan operasi dan operasi sudah berlangsung sejak Arin dan ibunya berada di villa Andrean. Arin dan ibunya saling berpegangan tangan. Saling menguatkan. Dan ketika lampu merah di atas pintu ruang operasi padam, mereka berdua menghela nafas lega walau masih diliputi kecemasan.
"Bagaimana dok? Apa ayah saya akan baik-baik saja?" tanya Arin begitu sang dokter keluar dari ruang operasinya.
"Operasinya berjalan lancar. Kita tinggal menunggu hasilnya. Jika tidak terjadi komplikasi, semua akan baik-baik saja. Sekarang kita hanya bisa memasrahkan segala sesuatunya pada Tuhan."
Arin memeluk ibunya dan menangis bersama. Untung saja, ayah Arin hanya terkena stroke ringan, kalau tidak, mungkin operasi pengangkatan tumor tidak akan bisa dilakukan.
Untung. Arin tidak tahu apakah ini untung atau justru sebaliknya. Sekarang pukul 11.30. Hampir tengah malam. Setelah hampir seharian di rumah sakit, Arin merasa begitu lelah. Kepalanya mulai berdenyut lagi. Dia baru sadar jika dia belum makan apapun selain sarapan di pagi hari. Ibunya memang memaksanya untuk makan, tapi Arin sangat tidak berselera, terlebih tenggorokannya masih terasa sakit.
"Ayo pulang. Kau harus istirahat. Besok pagi aku akan mengantarmu lagi ke sini untuk berpamitan pada orang tuamu."
Arin mendongak dan mendapati Andrean yang tampak gagah dengan stelan mahalnya. Dia tidak berkata apa-apa selain melihat ke arah tangan pria tinggi itu. Tatapannya seperti memohon agar Arin mau menerima uluran tangannya, dan Arin yang sudah sangat kelelahan tidak punya tenaga untuk melawan pria berkuasa itu. Diapun mengaitkan tangan hangatnya yang terasa begitu kecil di tangan Andrean yang besar.
Andrean tersenyum dan mengenggam tangan Arin yang hangat. Sepertinya istrinya masih demam, dan karena dia tidak memperdulikan dirinya hari ini, membuatnya semakin lemah saja.
***
Sepanjang perjalanan dari rumah sakit sampai ke villa Arin hanya tertidur. Andrean menyandarkan Arin pada dadanya yang bidang, memastikan Arin merasa nyaman. Begitu pulasnya, Arin bahkan tidak terbangun ketika Andrean mengangkatnya ke kamar. Terlihat setetes air mata jatuh di sisi kiri pipi meronanya. Andrean mengusap air mata itu dan membelai rambut Arin yang indah. Ditatapnya Arin seolah-olah menikmati maha karya Tuhan yang paling indah. Entah apa yang ada di dalam diri gadis itu hingga Andrean berbuat segila ini. Menikahi gadis yang begitu belia, yang bahkan belum sebulan ia kenal. Andrean tersenyum. Dia tidak akan menyesali apapun. Dia tahu istri mungilnya itu akan sangat merepotkan, tapi dia tidak akan menyesali keputusannya saat ini. Kalau cinta itu gila, maka kegilaan ini adalah cinta.
"Aku tidak tahu apa itu cinta, karena rasa ini baru bagiku. Tapi aku hanya ingin kau tahu, aku membutuhkanmu dan sangat menginginkanmu. Ketika aku melihatmu di antara bunga matahari itu, aku tahu, aku tidak akan bisa lagi hidup tanpamu. Arina Larasati, pink flowerku, Wild catku, Bidadari mungilku, istriku.....kurasa aku mencintaimu." dan kecupan lembut pertamapun mendarat di kening Arin yang masih saja terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE WILL FIND A WAY
RomantikArin adalah gadis yang nyaris sempurna. Cantik, ramah dan cerdas. Di usianya yang baru menginjak 15 tahun, dia berhasil mendapatkan beasiswa di perguruan tinggi negeri favorit. Dan ketika usianya genap 17 tahun, dia sudah menyelesaikan jenjang sarja...