Ekspos

6.2K 366 1
                                    

Andrean merasa geram. Pasalnya ada paparazi yang berhasil menggambil foto Arin dan mengekspos tubuhnya. Andrean dan Arin sedang berada di Bali. Dia harus menghadiri konferensi bisnis dan mengunjungi orang tuanya yang sedang menginap di Bali untuk liburan. Karena Arin agak demam, jadi Andrean meninggalkan istrinya itu di president suit yang ia tempati selama di Bali. Suit Honeymoon dengan kolam renang pribadi yang dipercantik dengan stupa dan ukiran Bali yang mendunia.

Andrean tidak mengerti, bagaimana foto itu bisa diambil setelah dia menempatkan belasan bodyguard di luar suitnya. Dan Arin, kenapa juga dia keluar dengan celana pendek yang terlihat seperti hotpants itu. Andrean geram. Geram sampai rasanya dia ingin langsung menghajar paparazi yang membuatnya kecolongan itu.

"Cepat hapus semua foto sialan itu, dan cari tahu siapa si brengsek yang sudah berani mengambil foto ini.

"......"

"Ron!!" Demi apapun. Ron bahkan terpesona dengan kedewian istri bos sekaligus sahabatnya itu.

"Ah ya. Baik, Boss." katanya setelah sadar dari keterpesonaannya pada foto Arin.

Andrean melirik ke monitor. Arin masih berada di kolam renang. Duduk di pinggiran kolam itu dan memainkan airnya. Rambut hitam panjangnya menjuntai indah ke bawah. Andrean harus segera kembali ke suit. Persetan dengan konferensi yang sedang lunch break itu. Lihat saja! Baru Beberapa jam dia meninggalkan Arin sendiri, masalah sudah mulai bermunculan.

***

Sementara itu di suit, Arin masih sibuk dengan dirinya dan pikirannya. Dia meminta ijin tiga hari tidak mengajar karena Andrean memaksa Arin untuk ikut acara kantornya di Bali. Dan apa yang ia lakukan sekarang? Tidak ada. Karena tubuhnya malah terserang flu, jadi dia tidak bersemangat ke manapun, dan Arin yakin, kalaupun dia sehat, Andrean tidak akan membiarkannya pergi sendiri.

"AHH"

Arin merasakan tubuhnya seringan bulu dan melayang. Dan karena takut jatuh, Arin langsung mencari pegangan. Dia menggelayutkan tubuhnya pada leher kekar yang terlihat jelas uratnya itu.

"Aku suruh kau istirahat, kau malah asyik main air. Apa kau ingin dihukum?"

Arin mengerucutkan bibirnya. Si Seenaknya pulang lebih awal. Bukankah dia bilang akan pulang sore. Ini bahkan belum pukul satu.

"Kenapa kau sudah pulang?"

Andrean hanya menyeringai. Dia melihat mata kucing Arin yang besar. Bulu matanya lentik. Istri cantiknya bahkan tak butuh polesan apapun. Kecantikan alaminya sudah sempurna. Dan yang Andrean bingung, kenapa Arin selalu mempertanyakan apa yang Andrean lakukan untuknya.

"Karena aku tidak ingin kau mati kebosanan karena kutinggal sendirian, lalu mengumpatku di belakang yang membuatku tersedak saat makan." ucap Andrean sambil mempercepat langkahnya. Dia takut ada kamera paparazi yang mengekspos wajah dewi istrinya lagi.

Andrean menjatuhkan lutut kirinya lalu menidurkan Arin di ranjang empuk mereka. Arin tidak melawan. Flunya sepertinya semakin parah. Andrean menyentuh kening dan leher Arin. Dan benar. Demamnya lebih panas dari saat ia meninggalkannya pagi ini.

"Aku akan memanggil dokter lagi."

"No please! I'm Okay. Ini hanya flu. Aku hanya butuh istirahat dan menghabiskan obat seperti yang disuruh dokter. Besok pasti sembuh."

"Dasar keras kepala. Tapi jika demamnya tambah parah, aku akan memanggil dokter nanti malam." Tegas Andrean yang hanya dibalas dengan humm ria oleh Arin.

Andrean mengganti stelan kerjanya dengan baju santai. Kaus polo putih dan celana panjang senada dengan kausnya.
Tak lama kemudian, pelayan datang membawa makan siang mereka. Andrean memang sudah menyuruh pelayan untuk menyiapkan lunch mereka sebelum menemui Arin di kolam renang.

Arin menghabiskan mushroom cream soup dan garlic breadnya setelah dipaksa Andrean. Sedangkan Andrean menikmati nasi dan sop iganya. Setelah itu, Andrean memberikan 2 tablet obat yang harus diminum Arin.

"Maaf, karena memaksamu ikut dan sekarang kau malah sakit."

"Humm." gumam Arin mulai mengambil selimutnya.

Andrean tidak rela jika Arin langsung masuk ke dalam selimut padahal mereka belum melakukan apapun selain makan.

"Maaf juga, karena aku menginginkanmu sekarang walaupun aku tahu kau sedang sakit."

Seringai Andrean membuat Arin bergidik. Pria itu tidak serius kan?

"Mau apa kau?"

***

Andrean's POV

Entah karena kesal dengan paparazi sialan yang menyebarkan foto Arin, atau karena efek foto itu yang membuatku gila. Entahlah. Yang jelas aku menginginkannya sekarang. Bukan sandaran, rengkuhan ataupun kecupan kasih sayang. Aku menginginkan sesuatu yang lebih. Kami sudah menikah selama dua bulan, harus berapa lama lagi aku menunggunya siap?

"Mau apa kau?" tanyanya dengan mata yang ketakutan. Aku tahu dia sedang flu berat, tapi yah ampun, aku tidak tahan lagi.

"Aku masih lapar." ucapku jahat.

Arin langsung melarikan diri, tapi aku lebih reflek. Seperti karnivora yang sudah dapat membaca gerakan musuhnya, aku menangkapnya dengan mudah. Dia mengedipkan matanya cepat-cepat dan dadanya turun naik, membuatku tidak bisa berhenti. Membuat hasratku terasa sampai ke ubun-ubun. Dan ketika Arin tidak memberontak, aku menyeringai penuh kemenangan.

"Setidaknya kau harus belajar dan membiasakan diri sayang. Aku sudah bersabar selama dua bulan. Tidakkah kau kasihan padaku? Apa kau tak pernah baca kalau pria tidak bisa menahan kebutuhannya? Humm?"

Dada dewiku semakin turun naik, nafasnya memburu. Dia hanya diam. Hanya tubuhnya yang bereaksi dan itu sudah cukup bagiku.

Aku sudah menindihnya. Memulai dengan perlahan-lahan agar dia tidak ketakutan tapi tetap saja dia ketakutan. Aku melepaskan tanganku yang memerangkap tangannya. Dia mencengkram lenganku. Lemah dan pasrah kurasa.

Aku menjelajahi semua yang ada di wajahnya. Mengecupnya berkali-kali dan setiap kecupan membuat matanya mendelik. Dia begitu menggemaskan. Dan sampailah aku di pink flower milikku. Lembut, manis, dan panas, mungkin karena demamnya juga.

"Open pink, open!" bisikku di bibirnya. Dan dia menurut. Membuatku bisa mengeksplorasi setiap inchi rongganya. Setiap tarikan, hisapan dan lumatan membuatnya bergetar dan mencengkram lenganku lebih erat. Setelah beberapa menit, aku baru membebaskannya. Menyuruhnya bernafas. Dia sedikit kewalahan karena mungkin ini yang pertama baginya. Aku menjilati telinganya dan berbisik lirih.

'Base 1...Clear.'


LOVE WILL FIND A WAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang