Possesif

6.2K 376 0
                                    

Andrean's POV

Aku dan Pink sedang berada di swalayan tidak jauh dari kantorku. Hampir saja aku gagal menemaninya belanja karena meeting sialan di luar. Dengan cepat aku menyelesaikan masalah dengan kolega perusahaanku dan kembali ke kantor. Untunglah aku tidak terlambat karena ketika aku datang si Pink juga baru saja tiba.

Jujur, aku tidak mau dia berlama-lama dengan Roni, karena entah mengapa aku merasa Roni menyukai istriku. Akupun langsung menarik tangan Pink dan membawanya ke kantorku yang berada di lantai 50. Yah, aku tidak bisa menyalahkannya. Siapa pun yang melihat gadis mungil merona dengan tubuh barbie ini pasti akan jatuh hati.

Aku punya kebiasaan baru. Sehubungan dengan istri jeniusku yang masih berusia 17 tahun, aku selalu menyesuaikan pakaianku saat ingin pergi bersamanya. Padahal sebelumnya, aku hanya memakai suit formal. Tapi sekarang, aku sering memakai T-Shirt dan jeans. Aku memang harus melakukannya, karena si pink sepertinya merasa tidak nyaman. Dan akupun tidak nyaman, karena aku seperti om-om yang jalan dengan ABG. Cih! Memangnya aku pedhopil.

"Kenapa kau memanggilku, Pink, Pink....flower?" tanyanya ketika dia sibuk mengambil barang-barang kebutuhan rumah yang ia inginkan.

Aku tersenyum, akhirnya dia tanya juga. "Well, karena bibirmu itu seperti kelopak mawar pink yang sedang merekah. Manis sekali."

Dia langsung melotot dan menutup mulutnya dengan kedua tangan mungilnya. Terlihat sebuah cincin berlian sederhana melingkar manis. Cincin pernikahan kami.

"Relax. Belum saatnya." kekehku sambil mengusap-usap rambut halusnya. Setelah itu, mendorong kembali trolly yang baru terisi setengah itu.

"Lalu kenapa kau memanggilku wild cat?"

Aku mengerutkan dahi. Serriously? Apa itu masih harus ditanya. "Apalagi? Karena kau galak sekaligus menggemaskan seperti kucing liar."

Dia mencebik, tapi itu justru membuatnya terlihat lucu. Aku pun mengacak-acak kembali rambutnya yang langsung ia rapikan.

Dia mengerut kesal. Sedang aku sangat bahagia. Ini adalah pengalaman pertamaku berbelanja. Dia sangat serius saat memilih dan memilah bahan makanan dan kebutuhan lainnya. Entah berapa kali dia memukul punggung tanganku atau mengembalikan barang yang sudah aku pilih entah karena kemahalan kah, tidak sehatlah. Ck ck!! Si jenius ini bukan hanya galak, tapi juga cerewet bukan kepalang.

Bagian yang paling menyenangkan adalah ketika kami menghampiri bagian tester. Banyak sekali produk yang menyajikan tester sebagai promote produknya. Pink juga paling antusias mencicipi cuilan makanan gratis itu. Dia tersenyum dengan mata yang berbinar-binar bahkan sampai menarik-narik tanganku untuk mencicipi tester yang lain.

"Kalian pengantin baru ya?" tanya seorang wanita 35 tahunan yang menjaga stand sosis aneka rasa.

Kulihat si pink hanya tersenyum. Ya Tuhan! Dia manis sekali.

"Apakah kami pasangan yang serasi, Mam?" tanyaku sambil merangkul bahu kecil pink. Dia melotot seketika. Tapi aku hanya tersenyum sambil mencubit hidung peseknya.

"Sangat. Kalian tampan dan cantik. Anak kalian pasti akan sangat menawan."

Aku tersenyum bangga sambil menaikkan alisku. Arin hanya mengrenyit ngeri melihatku. Dia pasti berpikir apa jadinya kalau aku melancarkan aksiku demi mendapatkan anak yang menawan itu. Dia sangat sensitif dengan semua yang berhubungan dengan malam pertama kami.

"Kami mau yang lada hitam dan egg rollnya masing-masing satu ya, bu. Yang kemasan besar."

"Ini! Ibu do'akan kalian langgeng dan selalu bahagia ya." Ucapnya terlihat tulus.

"Mam baik sekali. Aku pastikan kehidupan anda pasti lebih baik. Nama baikku jaminannya."

Wanita tiga puluh lima tahunan itu terkekeh. Dia mungkin pikir aku hanya bergurau, padahal aku bersungguh-sungguh. Aku sendiri yang akan membuat kehidupannya lebih baik. Lihat saja nanti!

Tak terasa sudah dua jam lamanya kami berbelanja. Trolly yang tadinya kosong kini sudah penuh dengan belanjaan. Aku pun menelepon seseorang.

"Ya. Tolong kirim seseorang ke kasir swalayan untuk mengurus belanjaan saya. Tentu saja, swalayanku. Cepat!"

Nah! Mata kucing liar itu sudah mau keluar rasanya ketika dia mendengar percakapan teleponku tadi.

"Ini.... swalayanmu?" tanyanya terkejut.

"Ehem. Sebenarnya. Kita tinggal di salah satu mega proyekku. Destinasi elite percontohan untuk kaum urban. Dan semua aset di sekitar kawasan ini, semua adalah propertiku." Jelasku mencoba sedatar mungkin. Aku tidak ingin terlihat sombong di hadapannya. Dia tidak akan menyukainya.

"Maksudmu, apartemen kita juga?" tanyanya masih dengan mata yang membesar.

"Ayo, biar mereka yang mengurus belanjaan kita. Aku ingin dinner di luar." ucapku ketika aku sudah melihat dua orang petugas dan satu manager operasional berlari ke arahku.

Setelah memberikan perintah. Aku segera memakai jaket bahanku dan menggamit tangan Arin. Berjalan bersamanya.

***

Kami sudah berada di alun-alun kota. Aku sebenarnya ingin mengajaknya ke restoran bintang 5, tapi seperti biasa, kelakuan istriku yang ajaib membuatku hanya bisa mengeluh kecewa.

Bagaimana tidak? Hanya karena melihat pasar malam yang diadakan sebuah square yang baru dibuka, dia merengek minta ke tempat ramai itu. Padahal aku benci keramaian. Membuat kepalaku pusing. Belum lagi bisingnya. Ugh! Aku benar-benar membencinya.

Tapi daripada aku melihat dia merengut semalaman, aku memutuskan menuruti kemauannya dan akhirnya malah aku sesali sendiri.

"Pink! Where are you?" teriakku ketika dia tiba-tiba menghilang di tengah keramaian. Aku terus menggandengnya sampai tahu-tahu dia terlepas dan terpisah dariku. Aku mengutuk kecerobohanku. Padahal, aku hanya melepasnya sesaat ketika handphoneku berdering.

Aku langsung menghubungi pengawal pribadi Arin. Awas saja kalau mereka juga kehilangan jejak Arin.

"Dimana dia?"

"Di dekat jalan keluar pintu utama, Boss. Dia sepertinya juga kebingungan mencari Anda." jawab salah satu orang suruhanku.

Huft! Syukurlah. Akupun bergegas. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi padanya. Entah kenapa perasaanku sangat tidak enak. Seperti firasat kalau akan terjadi hal yang buruk.

Dan benar. Aku menangkap Arin dengan kedua mataku. Tapi aku juga melihat seorang pria membawa pisau belati yang sudah siap untuk melukai korbannya. Aku langsung berlari ke arah Arin dan menenggelamkannya dalam pelukan.

Aku tahu dia akan mengamuk, tapi aku harus melakukan itu agar dia tidak melihat body guardku menangkap penjahat yang sudah sangat berani ingin menyakiti belahan jiwaku. Apa aku sudah jadi possesif sekarang?

LOVE WILL FIND A WAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang