"Karena kamu datang menawarkan apa yang dibutuhkan."
***"Bara!!!" Itu Suara memekik yang tidak bisa diabaikan dari siswi berambut sebahu di kanannya.
"Kak Bara!" Itu adik kelas berbando merah muda di kirinya.
Anggap saja ini masih wajar, mereka menyapanya, hanya saja caranya tidak biasa. Benar, memekik dengan wajah berseri, terlalu aneh untuk dikatakan biasa saja, menurut Bara.
"Calon suami gue." Bisikan di kanannya mulai terdengar.
"Enak aja, Kak Bara itu jodoh gue." Bisikan satunya menjawab. Yang berbisik mungkin adik kelas yang terlalu mengagumi, tetapi tidak berani menyikapi. Bara tahu itu hanya omong kosong.
Kanan dan kiri terlihat saja para siswi terpantri, ada yang diam-diam beraksi, ada yang terang-terangan menyuarakan hati.
Bisa dibilang sarapan membosankan bagi Bara. Ini tahun ketiganya di Sekolah Menengah Atas, tetapi tidak ada yang berubah baginya. Hidupnya begitu-begitu saja.
Dikagumi bisa dikata kegiatannya, bukan sombong. Namun, orang ganteng mah bebas.
Terlepas dari pikiran manusia yang menganggap hidupnya sempurna karena dia anak tampan pemilik yayasan yang prestasinya tidak bisa disebutkan. Hidupnya gitu-gitu saja.
Ketenangan yang ia inginkan masih tidak bisa ditemukan. Jelas saja, eksistensinya tidak usah dipertanyakan. Tidak membuat orang menoleh dua kali, maka jangan panggil dia Aldebara.
Eksistensi yang tidak ia minta malah menyingkirkan apa yang ia cita. Maka dari itu ia anggap eksistensinya adalah sebuah kerumitan, sebuah kekurangan yang tak terbantahkan.
Demikian, ketika ia melihat seorang gadis berlari ke arahnya, jangan salahkan Bara jika ia artikan sebagai ketenangan yang tidak ia dapatkan.
Ini mungkin bentuk modus seperti sebelum-sebelumnya, mereka yang ingin mempraktikkan adegan drama yang berjudul "Tabrakan berujung tatapan". Mencoba peruntungan, siapa tahu Bara bisa jatuh terpesona.
Namun ... tunggu, ini sepertinya tidak sejenis itu. Gadis itu, meski berlari ke arahnya, tetapi tidak tertuju padanya.
Itu jelas terlihat dari matanya yang menatap was-was beberapa kali ke belakang. Ia bahkan menabrak warga koridor, kemudian mengucapkan kata penyesalan.
Alkisah, karena sibuk mengamati. Tabrakan yang sudah dibayangkan Bara akhirnya terjadi.
Siapa yang bodoh? Bara rasa kali ini dirinya yang bodoh. Karena jujur saja, sebenarnya gadis itu sudah menghindar, tetapi dirinya mengambil satu langkah ke samping agar mereka bertabrakan. Benar, Bara melakukan hal yang sangat bodoh.
Seakan waktu melambat dalam pikirannya, setiap pergerakan gadis itu seakan menarik untuk terekam dalam ingatan. Ia tidak sempat merutuk, ia bahkan bersyukur—entah untuk apa—atas kejadian ini.
Lambaian rambutnya, kerjapan matanya. "Aduh!" Pantatnya pasti sakit karena bertabrakan dengan benda sekeras marmer.
Sementara Bara masih termenung atas hadirnya, memperhatikan yang menurutnya menarik dari posisinya.
Topi gadis itu terjatuh, matanya masih was-was ke belakang, bahwa dapat Bara lihat dalam beberapa detik pertama, tangannya yang meraba lantai untuk menemukan topi berakhir sia-sia.
Bara mengingatnya, dalam keadaan yang sama. Dengan rambutnya yang melambai dan mata coklatnya yang jernih. Gadis yang mengabaikannya, dan ia melakukannya lagi kali ini.
Inilah yang kalian rasakan saat menemukan yang berbeda dan menarik. Rasa penasaran yang lebih dalam lagi, bukan begitu?
Mungkin dalam beberapa kali ia menemukan hal semacam ini, mereka yang berlagak cuek agar dirinya tertarik. Yah, mungkin gadis itu semacam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTERO (Completed)
Teen FictionBest cover @prlstuvwxyz. Ini cerita lama rasa baru, alurnya sama tapi ada bedanya. Baca berita noh untuk tahu kelengkapannya. "Woi!" Nanda berusaha mengejar langkah lebar cowok tinggi yang sudah jauh melangkah di hadapannya. Tidak ada tanda-tanda c...