Second Conflict?

5.7K 341 0
                                    

"Huuaaa... Akhirnya ya Van, kita. selesai UAS juga."
"He-eh iya, Dhe." jawab Vanya nggak semangat.

Tiba-tiba aja dia kepikiran soal kepindahanya. Apalagi dia belum sempat kasih tau itu ke David.

"Kamu kenapa, Van?" tanya Dhea bingung melihat Vanya yang gak semangat ketika UAS udah berakhir. Padahal moment ini kan yang emang ditunggu-tunggu pelajar. Selesai UAS kayak selesai masa tahanan di sel.

"Soal kepindahan aku,  Dhe." Vanya mendesah pelan.

Ingin rasanya dia berteriak kalo dia nggak mau pindah ke SMA Garuda. Tapi apa boleh dikata udah terlanjur di-iyakan Vanya.

"Oh iya. Seharusnya aku ikut sedih ya.  Aku lupa kalo selesai semester ini kamu bakal pindah." Dhea memukul dahinya pelan.

"Dan masalahnya adalah gue belum bicaraiin ini sama David, Dhe."

"Astaga Van?  Udah mepet gini lo belom sempet-sempetnya kasih tau David? Lo kaya nggak tau David aja sih"

Dhea geram dengan Vanya. Masa iya dia nggak kabarin berita besar ini ke David. David kan pacarnya, dia harus tau dong. Gimana kalo David sampe tau dari orang. Pasti David mikirnya kalo Vanya nggak anggap dia pacar.

"Gue coba bilang nanti yah." kata Vanya pelan.

"Ya emang harus."

***

Di dalam mobil David...

"Nonton yuk" ajak David

"Nanti aja deh, kalo Film One Fine Day udah tayang"

"Jadi kamu pengen banget nonton film itu?"

"Iya. Soalnya Jefri Nichol peran utama."

David menatap sinis Vanya, "Oh...  Jadi karena Jefri Nichol?"

"Iyalah, aku ngefans banget sama dia."

Vanya tau kalo David pasti kesal dengan ucapannya. Ah biarin aja. Soalnya David kalo ngambek ihh. gemesin.

"Padahal aku 11 12 sama Nichol loh." kata David dengan PDnya.

"Hah? Siapa bilang?"

"Banyak"

"Kalo menurut aku sih enggak" Vanya menatap wajah David yang mulai kesal.

Kok ucul sih? Batin Vanya.

"Kamu lebih dari Nichol tau" timpal Vanya.

Sontak sebuah senyuman terukir di wajah David.

"Sejak kapan Vanya tau gombal?" tanya David yang merasa sudah digombali Vanya.

"Vanya nggak gombal kok, kenyataan tau." jawab Vanya sambil tersenyum manis ke arah David yang sedang mengemudikan mobil.

Oh Tuhan. Vanya lupa satu hal. Soal kepindahannya. Mau nggak mau, siap nggak siap, dia harus kasih tau David sekarang. Apapun resikonya dia udah siap nanggung.

"Dave, Vanya mau ngomong." ucap Vanya dengan nada serius.

"Emang yang tadi itu bukan ngomong?"

"Serius ah Dave."

"Iya iya. Mau ngomong apa?" David melirik Vanya sekilas kemudian kembali memfokuskan pandangannya ke depan.

Vanya menarik sudut bibirnya kesamping, "Vanya harus pindah sekolah, Dave"

Ccciiiiitttttttttt....
David me-rem mobilnya mendadak,  sehingga membuat dia dan Vanya terhempas ke depan.

"Ada apa Dave? Kamu nabrak sesuatu?" tanya Vanya panik, sambil melihat ke luar mobil. Namun tak ditemui apa-apa olehnya.

"Kenapa kamu baru kasih tau aku?"

"Vanya minta maaf, Dave. Soalnya waktu itu kita lagi ada masalah. Jadi Vanya nggak sempet kasih tau"

David menyungging senyumnya. Ya lebih tepat senyum kekecewaannya.

"Bisa yah? Kita baru selesai dari satu masalah, sekarang masalah baru datang juga."

Perasaan David benar-benar campur aduk sekarang. Kecewa, sedih, marah, takut, semua jadi satu.

"Pindah ke mana?" tanya David dengan nada menahan kecewa.

"SMA Garuda" lirih Vanya pelan.

Vanya tau persis bagaimana perasaan David sekarang ini. Andai David tau kalo Vanya juga nggak pengen pindah.

"Sama Haikal dong?" David mengangkat sudut bibirnya ke atas.

Dia tak ingin menatap Vanya sekarang. Matanya sudah berembun. Mungkin kalo sekarang David sendirian, dia pasti sudah menangis.

Vanya memalingkan wajahnya ke wajah David. David sama sekali nggak mau melihat Vanya.

"Dave, kamu jangan git-"
Belum sempat Vanya menyelesaikan kalimatnya David sudah memotongnya,

"Pulang ya, udah mau sore"
David menancap gasnya dengan kecepatan tinggi. Mungkin dia terbawa emosi dan suasana.

Sangking cepatnya, Vanya menutup matanya erat. Dia takut kalo David seagresif ini. Sampai dia merasakan mobil David sudah nggak berjalan lagi.

Vanya membuka matanya perlahan, oh ternyata sudah di depan rumahnya.

"Dave, aku-"
Lagi-lagi David memotong pembicaraannya.

"Udah cepet turun, lalu istirahat"

David masih tetap nggak mau menatap Vanya. Bahkan sampai Vanya keluar dan masuk ke halaman rumahnya, David sama sekali tak menoleh ke arah Vanya.

Di saat itulah David melepaskan semuanya. Kekecewaanya, ketakutannya, kemarahannya. Dia memukul-mukul dasbor mobilnya hingga retak. Dan tanpa disadari David, ada cairan bening yang berhasil lolos dari matanya.

David menangis? Bukan pertama kalinya untuk Vanya.

"Aku takut kehilangan kamu, Van."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Kok masalahnya ada terus yah???

Jangan lupa vote and comment yah. 😘😘

I Want You (ending) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang