Epilog

8.5K 404 91
                                    

Empat tahun menikah...

Vanya menyeka mulutnya. Dia menghela nafas pelan setelah terduduk di depan wastafel. Matanya memerah dan mengeluarkan setetes air karena tidak tahan menahan rasa mual, ditambah lagi peluh yang semakin membasahi pelipis dan juga punggungnya.

Ini sudah ketiga kalinya dia muntah di hari yang sama. Karena sebelumnya dia juga sempat muntah tetapi hanya dua kali saja. Dia menaruh testpact di nampan itu. Menunggu beberapa menit sebelum melihat hasilnya.

Ini adalah testpack pertamanya yang dia beli tadi setelah di antar David ke tempat kerjanya.

Vanya membulatkan matanya saat mendapati dua garis merah yang terdapat pada kolom kecil di benda tersebut. Jantungnya berdegup kencang.

Dua garis merah..

Bagaimana ini?

Dia keluar dari kamar mandinya, berjalan pelan ke segala arah, mencari dimana keberadaan suaminya itu. Tapi saat matanya menangkap sosok pria tinggi tegap tengah berdiri di luar balkon menatap ke pemandangan malam kota Jakarya yang ramai.

Vanya berdiri dari ruang tv memandang punggung suaminya itu. Kemudian mendekatinya dalam diam.

"Dave," panggilnya pelan dengan wajah yang pucat.

Pria itu berbalik setelah namanya dipanggil lalu tersenyum ke arah istrinya yang paling dia cintai itu. Setelah empat tahun pernikahan, rasa cintanya malah semakin membesar.

Vanya adalah hidupnya, tanpa wanita itu David seperti tidak berwarna gelap atau bahkan hitam putih.

David masuk kedalam dan mendekati Vanya yang menatapnya dingin.

"Iya?"

Lalu benda kecil itu diserahkan pada David. Sebelumnya pria itu memandang heran kearah Vanya. Tapi didetik berikutnya barulah dia mengerti apa yang membuat Vanya terlihat dan dingin padanya. Benda itu bergaris dua dan berwarna merah. Yang artinya Vanya positif hamil.

"Kamu..."

Tubuhnya meluruh ke sofa, tangisannya pecah disaat itu juga.

"Aku...takut, hueeeee hiks.." lanjutnya.

David duduk di depan Vanya, mengusap punggung istrinya itu agar tenang. berbeda dengan David, dia malah bahagia mendapati berita tersebut.

Bahkan dipikirannya sudah terbayang sosok juniornya yang akan menemani hari-harinya, membawanya bermain di taman, membelikan mainan untuk anaknya atau membantu Vanya membuatkan susu ketika tengah malam nanti saat anak mereka menangis.

"Kamu takut apa sih?"

"Aku belum siap di bilang.."

"Belum siap dari segi apa? Aku punya usaha, penghasilan juga lebih dari cukup, apartemen juga banyak. Lalu kurang apalagi? Kita beli rumah yang agak besar biar nanti anak kita bisa main?"

Vanya menyeka air matanya, "Aku takut nanti nggak bisa jadi ibu yang baik buat anakku."

"Kamu ngomong apa sih?"

"Aku takut nggak bisa mendidik anak kita nanti."

"Sayang." gumam David sambil menangkup pipi Vanya. "Kita didik anak kita sama-sama. Aku nggak bakal biarin kamu kerepotan sendiri, aku bakal ada di saat kamu butuh, aku bakal jaga kamu selalu. Kamu dan baby kita adalah tanggung jawabku, kita bisa sayang."

"Kalo aku jadi gendut gimana?"

"Masalahnya?"

"Ya aku nggak cantik lagi lah."

"Memangnya aku peduli?"

"Kalo aku males dandan gimana?"

"Emangnya pas SMA kamu pernah dandan? Tuh buktinya aku masih mau"

"Kalo baju aku pada nggak muat terus aku pakenya daster gimana?"

"Nanti kita beli baju hamil yang nggak mirip daster."

"Kalo.."

David mengela nafasnya, "Kalo apa lagi?"

"Kalo anak kita cowok gimana?"

"Terus kenapa?"

"Nanti sifat kamu menurun pula. Kamu kan dulunya bandel, nggak pernah mau nurut orang tua, kerjanya melawan guru, bolos, ngebully siswa, merokok di sekolah, ketua tawuran, suka cium sembarangan lagi."

"Kamu nggak liat aku sekarang? Aku udah berubah nggak apa-apa dulunya nakal sekarang udah sukses. Daripada sukses baru nakal, hayo pilih mana?"

Vanya tersenyum malu, "Nggak mau milih dua-duanya. Toh sama aja tetep nyebelin sampai sekarang."

.
.
.
.
.

Buat yang pengen I Want You 2 comment yah..

Thx udah baca ceritaku.

I Want You (ending) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang