David Sakit

8.4K 495 5
                                    

"Matamu memancarkan rasa peduli padaku, bagaimana dengan hatimu?" -David

"Hati David tuh kayak pasir di pantai."
Gilberth menganggu-anggukan kepalanya,

"Kenapa gitu, Ky?"
Resky berdiri sambil mengangkat tangannya ke udara.

"Ada tapi nggak dianggap." Katanya dengan gaya motivator kelas atas.
Keduanya cekikikan saat menyadari hal tersebut.

Bagi mereka berdua, hidup itu nggak selamanya tentang pacar. Seperti halnya pepatah 'mati satu tumbuh seribu' nggak usahlah menangis karena disakiti toh masih ada perempuan lain yang mau dengan mereka.

Tapi bagi David, ini adalah pertama kalinya dia jatuh cinta. Dan lebih sialnya lagi orang yang dicintainya tidak sadar dengan perasaanya dan malah terang-terangan dekat dengan mantan 'sahabatnya' itu.

Sudah dua hari dia tidak masuk sekolah karena demam. Bahkan kedua sahabatnya tidak memberi kabar bahwa Vanya menanyakannya atau tidak hal itu)semakin membuat cowok itu meradang. Pasti karena Haikal lagi.

"Untung hati David ini Made in God. Coba made in KW. Pasti udah hancur tuh."

"Berisik lo pada."gerutu David sambil mengotak-atik hpnya.

Dia masih menunggu Vanya untuk menghubunginya, meskipun kecil kemungkinan akan terjadi.

"Cup cup. David cayang malah ya?"

"Diem!"

"Di kasih mulut ya digunain dong masa di anggurin. Ntar kayak hati lo. Dianggurin Vanya." Celetuk Gilberth.

Baru hitungan ketiga miniatur spiderman melayang pada kepalanya.
Gilberth meringis karena tak sempat mengelak. Ujung lidahnya terbentur oleh patung kecil itu.

"Emang anak setan lu. Katanya sakit, tapi tenaganya melebihi orang sehat."

Resky menoleh, "Gil, lu tau nggak sakit yang nggak berdarah tapi nggak bisa dideteksi di rumah sakit?"

"Emang sakit apaan?"

"Ini, ada disini." Tunjuk Resky kembali bergaya seperti orang yang paling benar di muka dunia.

"Sakit karena cinta. Boleh kok kita jatuh cinta. Asal jangan jatuh karena cinta aja."

Gilberth meringis, "Ky, lo daftar ke rumah sakit jiwa kayaknya lo lolos seleksi deh."
"Dasar taik kucing."

Tidak lama, sebuah ketuka terdengar dari arah pintu kamar David. Cowok itu menyuruh Gilberth membuka pintu karena dirinya malas untuk turun dari kasur.

"Dave mana?" sebuah suara wanita paruh baya dari ambang pintu membuat David duduk.

"Kenapa, Mi?"

"ada cewek katanya mau jenguk kamu sayang." Ujar Shanaz.

"Siapa?"

"Mami lupa namanya."

"Suruh masuk aja Mi." Katanya kembali merebahkan tubuhnya pada kasur
.
Kemudian seorang cewek masuk dengan perlahan. Baru kali ini dia datang ke rumah David. Ketika maminya David yang cantik mempersilahkannya masuk dengan sopan, Vanya yakin jika wanita itu adalah orang tua David tapi sikapnya yang sopan berbedah sekali dengan David.

Vanya di arahkan pada lantai dua kemudian mengarah ke kanan lalu disana terdpata pintu berwarna hitam.

"Ini kamar David. Kamu temen sekolahnya ya?" tanya Shanaz hati-hati.

Vanya mengangguk, "Iya Tante, saya adik kelasnya."

"Oh gitu, nama tante Shanaz. Ya sudah kalau ada apa-apa panggil tante aja ya. Di dalam kamar David ada dua temannya. Jangan di tutup pintunya ya, biar tante bisa awasi kalian." Pesan Shanaz pada Vanya.

Wanita itu membuka pintunya.

"Gil, jangan di tutup pintunya ya." Perintah Shanaz.

"Siiipp, tante."

"Masuk Vanya." Ucap Shanaz.

"Eh eh ternyata Vanya toh." Teriak David.

Vanya masuk tetapi pandangannya jatuh pada cowok yang tengah menutup tubuhnya dengan selimut.

David meringis saat tau Vanya lah yang datang menjenguknya.

"Ngapain lo kesini?" tanya David, meski dari nadanya terdengar tidak suka tapi dalam hatinya dia ingin berteriak karena Vanya datang untuknya.

Vanay menarik nafasnya. Lo-gue lagi, David selalu saja membuatnya naik darah.

"Jenguk lo lah."

"Jenguk tuh yang ikhlas dong."

"Apaan sih. Ikhlas juga."

David melirik masker yang digunakan Vanya.

"Gue nggak mau ketularan, besok masih ada ulangan jadi gue menghindari yang namanya ulangan susulan."

"Van, Dave. Kita berdua ke luar bentar ya, mau beli makanan." Ujar Gilberth sambil menarik kunci mobil milik David.

"Eh eh kalian." Cegah Vanya tapi malah sia-sia.

"Udahlah Van, mumpun berduaan. Kan jarang-jarang kalian bisa berduaan."
Cewek itu meringis. Berduaan? Dengan David?

"Lo nggak makan?" tanya Vanya saat mendapati satu nampan berisi makanan yang berada di atas meja masih utuh.

"Males.".

Dia menarik nampan itu. "Kalo mau disuapin bilang dong, untung gue peka."

"Serah lo!"

"Buka mulut lo?" "Nggak!" tegas David.

"Buka!"

"Bawel lo!"

"Satu..."

"Nggak mau!"

"Dua..."

"Apaan sih Van?!"

"Tiii..tiii"

"ini dulu" ucap David sambil menujuk ke arah pipinya. Yang berarti dia meminta Vanya untuk menciumnya.

"Dasar modus lo!"

"Ya udah kalo gitu Dave gak mau makan" ngambek David seperti anak kecil nggak kebagian permen.

Vanya pun tak bisa memilih. Akhirnya dia mengecup lembut pipi David yang suhunya agak hangat.

"Ok fine" jawab cowok itu akhirnya sambil membuka mulutnya.

David bahagia, ya Tuhan..

I Want You (ending) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang