Jika kau sadar, peduliku adalah bentuk dari rasa sayangku padamu.
-Davi Exavario
🍁🍁🍁
Setelah meninggalkan Davi di taman belakang rumahnya, Zelda berlari mengurung diri dalam kamar. Orang tua dan kedua kakaknya sudah berapa kali membujuknya untuk keluar makan, tapi Zelda selalu menjawab tidak lapar. Di saat seperti ini nafsu makannya pasti hilang.
Tidak ada yang bisa menjelaskan bagaimana perihnya dia terluka, bagaimana hancurnya hatinya saat kalimat yang dilontarkan Davi kembali terbayang.
Zelda mengambil alat-alat lukisnya-- hanya sebagian orang yang tahu kalau dia itu suka melukis--perempuan itu lalu menuangkan cat minyak pada palet, lalu segera mencampur beberapa warna.
Zelda mengarahkan kuas pada kanvas, kanvas yang dia sebut kanvas kehidupan dan kuas yang dia sebut jemari yang menggenggam tangannya agar tetap semangat.
Jangan lari-lari kalau lo ngga mau sakit.
Jangan jatuh cinta sama gue, kalau lo ngga mau terluka.
Dua kalimat yang memiliki makna hampir sama dan tanpa diucapkan langsung Zelda sadar itu adalah bentuk kepedulian, tapi mengapa Davi peduli jika nyatanya dia yang menciptakan luka?
Mengapa Davi membuat kenangan indah, jika pada akhirnya dia memutuskan membatalkan pertunangan mereka?
Zelda menarik napas, tanpa sadar setetes bulir bening menetes dari pelupuk matanya.
Tangannya yang biasa bergerak lincah saat sudah menggenggam kuas, kali ini tidak, tangan itu kaku, terasa sulit walau hanya untuk melukis wajah seseorang.
Kanvas yang tadinya putih tanpa noda, kini telah ternoda oleh lukisan abstraknya, tak sesuai dengan pikirannya.
"Kenapa jadi gini, ya Tuhan." Zelda mengacak rambutnya frustasi. Masih dalam balutan dress yang tadi, perempuan itu lalu berjalan ke balkon, memandang langit yang tak kunjung hujan. Saat ini Zelda butuh hujan, Zelda butuh rinai itu, Zelda membutuhkan aroma petrichor yang menenangkan. Tapi, bintang di atas sana bertaburan, tidak ada pertanda hujan akan turun.
"Kenapa sih gak ada yang ngertiin gue? Kenapa lo jahat, Vi?" lirih, dia meluruh di lantai balkon, mendekap tubuhnya erat-erat, lalu menangis dalam diam.
"Kenapa, Vi? Gue salah apa sama lo?" detik-detik seperti ini Zelda merasa frustasi, dia merasa terluka, tapi Zelda berjanji Davi akan menyesal dan menyesal setelah ini.
Dengan cepat perempuan itu menghentikan tangisnya, menghapus jejak air matanya. Masih sesenggukan, dia kembali ke kamar.
Mengecek ponsel dan ternyata sudah tujuh belas panggilan tak terjawab dari Leo juga satu private chat.
Zelda membuka aplikasi berlatar hijau itu, terlebih dulu dia mengambil air minum di meja belajarnya dan langsung meneguknya.
Zelda sadar Leo pasti khawatir, jadi dia memutuskan untuk menelepon Leo.
"Halo, Zel. Ya Allah lo kemana aja? Gue udah keliling rumah lo, tapi gak ketemu lo juga, lo sekarang di mana? Dengan siapa? Sedang berbuat apa?" baru saja panggilannya diangkat dalam hitungan detik, tapi Leo sudah berbicara panjang lebar.
Zelda tertawa pelan meski pun suaranya masih serak, dia tahu Leo melakukan ini hanya untuk membuatnya tersenyum. "Gue di rumah. Santai aja kali, gue gak ngilang."
"Yaa ... gue takut aja kalau lo nekat bunuh diri karena gagal tunangan." Entah ini bermaksud candaan atau serius, yang pasti Zelda semakin membenci Davi mendengar kata gagal tunangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fate (Completed)
Teen FictionSequel INABILITY, bisa dibaca terpisah:) Menyembunyikan perasaan perihal biasa, berpura-pura tidak suka meski sebenarnya suka. Itulah yang Zelda lakukan, Zelda menyukai Davi, tapi yang dia tahu Davi menyukai Rani dan yang tidak dia tahu Davi menyuk...