Ada kepergian yang tidak perlu disesali, namun harus disyukuri.
Bisa jadi kepergian itu yang akan membawa cerita baru menuju bahagia.-Uknown
🍁🍁🍁
Davi memandangi hujan di luar jendela. Matanya terpaku pada rintik-rintik di luar. Dari semalam hujan belum juga reda, padahal ini bukan musim hujan.
Tangannya menyentuh jendela yang basah karena percikan rinai yang berasal dari tangisan langit.
Kepada rindu, aku ingin mengadu.
Dia menghela napas dalam, jemarinya merangkak menaiki jendela.
Drrt drrt
Getaran bersama ringtone ponselnya yang di atas nakas, membuatnya terpaksa meninggalkan jejak tangannya yang tadi mengukir nama Zelda pada jendela kamarnya.
Dia menatap lekat layar ponselnya ketika melihat id caller sang penelepon. Davi memejamkan mata sejenak, sebelum menjawab panggilan itu.
"Halo?" tidak ada getar bahagia di nada suaranya, yang ada hanya luka yang ia usahakan tak terpampang.
"Halo, Vi. Sore ini lo mau ke mana?"
"Nggak ke mana-mana. Ada apa?"
"Mm ... kalau hujan udah berhenti, kita jalan-jalan, yuk? Gue bosan di rumah."
"Nggak ke kampus?"
"Pergi kok, cuman udah pulang."
Davi manggut-manggut menanggapi jawaban Rani, meski sebenarnya Rani tidak melihat hal itu.
"Oke."
Setelah mengatur pertemuannya dengan Rani nanti, Davi mematikan sambungan telepon secara sepihak. Dia sedang berpikir keras bagaimana agar dia bisa mengungkapkan perasaannya pada Zelda.
Walaupun Davi sudah mempersiapkan segalanya, tapi tak tahu mengapa dia jadi bimbang. Seolah apa yang ingin ia laksanakan akan membuat semuanya semakin rumit. Membuat mereka berpisah dalam arti yang sesungguhnya.
Beberapa jam menunggu, hujan berlalu. Davi akhirnya bisa menghela napas. Dengan gesit dia bergegas membersihkan tubuhnya, dan berganti pakaian.
Dia memandang bayangannya di cermin besar lemari kamarnya. Kaos oblong biru navi dilapisi kemeja flanel, jeans hitam dan sepatu sneakers putih melengkapi penampilannya. Rambutnya yang basah ia biarkan acak-acakan.
"Gue ganteng, tapi kok Zelda masih belum luluh sama gue?" dia mengernyit menatap pantulan dirinya di cermin yang juga mengernyit.
"Kalau lo bayangan gue aja nggak bisa jawab, gimana gue bisa jawab?" kesal, Davi mengacak rambutnya. Lalu dengan menghentakkan kakinya pada lantai marmer, Davi berlalu dari kamarnya.
"Kamu mau ke mana, Vi?" Davi nyaris terlonjak ketika mama tiba-tiba muncul di hadapannya. Wanita paruh baya itu baru pulang kerja, dia masih mengenakan setelan kantor.
Davi menggaruk tengkuknya. "Mmm ... main, Ma."
Mama menatap Davi dengan tatapan menyelidik. "Bukan balapan, kan?"
Seketika Davi ingin mempunyai kekuatan seperti super dede, agar dia bisa berlari secepat kilat untuk menjauhi pertanyaan mama.
"Bukan. Davi pergi dulu, Ma. Udah sore banget, nih." Pamitnya mencium tangan mama.
Mama menghela napas melihat putranya melewati pintu. Dia sadar Davi tidak terbuka lagi padanya. Mama merasa bersalah, selama bertahun-tahun mengabaikan Davi, tidak memedulikan Davi walaupun dia tahu Davi sering ikut balapan. Yang ada di pikirannya hanya kerja! Kerja! Dan kerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fate (Completed)
Teen FictionSequel INABILITY, bisa dibaca terpisah:) Menyembunyikan perasaan perihal biasa, berpura-pura tidak suka meski sebenarnya suka. Itulah yang Zelda lakukan, Zelda menyukai Davi, tapi yang dia tahu Davi menyukai Rani dan yang tidak dia tahu Davi menyuk...