Pada diri yang enggan berseru
Tidakkah kau rindu?
Jika nanti ia terlupakan waktu
Jangan lupa,
kau pernah menjadi ruang untuk berbagi rindu.🍂🍂🍂
Ketika jam hampir menunjukkan pukul 10 malam, langit semakin gelap gulita, tapi Zelda baru akan meninggalkan rumah sakit.
"Vi, gue pulang dulu. Besok nanti gue ke sini lagi." Katanya mengelus lembut rambut Davi. Lelaki itu belum terlelap, karena takut jika dia bangun semua ini hanya mimpi bahwa Zelda masih duduk di sisinya.
Davi tersenyum hangat. Dia menggerakkan tangan kirinya, menyentuh pipi Zelda yang sedikit menundukkan kepalanya.
"Hati-hati, ya. Maaf gue nggak bisa ngantar lo. Maaf juga gue udah nyusahin lo."
Zelda menggeleng pelan, sambil menahan tangan hangat Davi agar tetap bertahan di pipinya.
"Lo nggak salah apa-apa." Perempuan itu mengembuskan napas. "Vi, gue nggak tau setelah ini kita akan selalu kayak gini atau kita akan ngerasa canggung." Zelda sudah berjanji dia akan melupakan Davi. Karena, dia sadar pada akhirnya mereka hanyalah kisah yang akan memilih berakhir.
Davi menatap nanar perempuan itu. "Gue harap lo nggak ngerasa canggung. Seenggaknya cukup kita jadi teman."
Zelda mengangguk membuat senyum keduanya mengembang. Perempuan itu memeluk Davi sejenak. Hari ini dia merasa tenang, tidak ada emosi yang menyakiti hati Zelda.
Davi hanya mengelus bahu Zelda. Perempuan itu bangkit dari duduknya setelah mengecup lembut kening Davi.
Dia tersenyum sebelum kakinya melangkah menjauhi brankar. Davi menatap sosok itu, lenyap dari pandangan.
Tanpa sadar, bibirnya membentuk seulas senyuman, sedang iris cokelatnya masih memandangi pintu kayu warna cream itu.
Lalu, setelahnya senyum itu hilang. Sebab, dia kini menyadari kebersamaan akan berlalu jika saatnya telah tiba, perpisahan sudah menunggu mereka di depan sana.
Davi menghela napas, sekilas dia membuang pandangannya pada jendela yang telah tertutup gorden hijau. Padahal dia ingin melihat langit malam, mengagumi langit seperti Zelda mengagumi keindahan ciptaan Tuhan itu.
Ketika iris cokelatnya kembali mengarah pada pintu yang berdecit pelan, sosok lain muncul. Rani.
Perempuan itu memandangi Davi, dia mendekati brankar yang ditempati Davi.
"Nyokap lo udah di jalan, bokap lo masih di luar negeri katanya." Ucapnya saat tubuhnya sudah duduk di kursi yang tadi diduduki Zelda.
Davi membuang pandangannya, enggan melihat Karin. "Kenapa lo nelfon mereka?"
Rani menarik napas, lalu mengembuskannya. "Bukan gue, tapi pihak rumah sakit."
Davi terlalu sibuk menerka-nerka apa yang akan dikatakan mamanya jika melihat kondisinya, hingga dia tidak menyadari tatapan sendu Rani.
"Vi, apa nggak ada yang lo mau ceritain sama gue?"
Davi mengerutkan alisnya, membuat alis tebalnya nyaris menyatu. "Cerita apa?"
Lagi, Rani menarik napas. "Tentang lo yang masih suka Zelda. Lo yang keliatan nggak bahagia saat tau nyokap bakalan datang jenguk lo. Seharusnya lo syukur masih ada mereka."
Davi tersenyum sinis. "Lo nggak tau apapun tentang hidup gue. Jadi, lo nggak usah nebak-nebak."
Rani membuang napasnya. "Tadi gue ketemu Zelda pas di luar. Dia bilang, lo harus bisa ikhlasin semuanya, termaksud dia." Rani mengalihkan pembicaraan, karena kalau membalas perkataan Davi itu percuma.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fate (Completed)
Teen FictionSequel INABILITY, bisa dibaca terpisah:) Menyembunyikan perasaan perihal biasa, berpura-pura tidak suka meski sebenarnya suka. Itulah yang Zelda lakukan, Zelda menyukai Davi, tapi yang dia tahu Davi menyukai Rani dan yang tidak dia tahu Davi menyuk...