Terkadang aku berpikir bahwa kamu hanyalah ilusi, namun terkadang ilusi itu membuatku lupa diri.
-Uknown
🍁🍁🍁
Hari sudah beranjak larut malam, matahari telah lama tenggelam di ujung Barat. Zelda telungkup di ranjang dengan dagu tertumpu pada bantal.
Perempuan berbaju kaos biru panjang dipadukan jeans selutut itu sedang berpikir antara ingin mengikuti kegiatan yang diadakan oleh senior atau tidak. Ada dua pilihan di situ, jika dia tidak ikut, dia tidak akan merasakan kesenangan di sana, tapi jika ikut, dia takut kalau penyakitnya kambuh saat dia sedang bersenang-senang.
Zelda meraih handphone yang dia taruh di atas nakas, lalu menatap layar hitam itu untuk beberapa detik, sebelum akhirnya dia membuka lock screen ponselnya itu.
Satu privat chat dari Leo muncul ketika ponselnya telah menampilkan menu utama.
Leonard A
Jadi ikut?
Zelda tampak berpikir, dia bangun dan duduk bersila, bantal kepala kini ditaruhnya di atas paha sambil memandangi pesan Leo, seolah jika dia mengalihkan pandangan ke arah lain pesan itu bisa hilang.
Tangannya kini bergerak lincah di atas keyboard, merangkai kata yang sebagai jawabannya.
Nggak tau, msih sdang mikir
Lalu, setelah beberapa detik pesan itu terkirim, kembali satu pesan masuk.
Leonard A
Jngan klamaan mkir, nanti keburu setan dahuluin lo
Zelda mendengus dan hanya membalas pesan Leo dengan emoticon sinis.
Perempuan itu menghembuskan napas. Setelahnya dia bergegas ke lemari pakaiannya.
Zelda mangambil ransel besar dan mengeluarkan pakaian-pakaian dari dalam lemari, pakaian yang akan dia gunakan selama tiga hari di tempat mereka mengadakan kegiatan Bina Akrab.
Tok tok tok
Ketukan pintu membuat Zelda menarik napas, dia yakin yang berkunjung ke kamarnya malam-malam seperti ini pasti Ivan. Siapa lagi kalau bukan pria menyebalkan itu? Orang tuanya dan Zerina tidak pernah mengganggunya kalau malam sudah mulai larut.
"Masuk aja, nggak dikunci." Ivan membuka pintu kamar Zelda, lalu laki-laki itu menyembulkan kepalanya untuk melihat aktivitas sang adik.
"Heh, mau ke mana lo? Pake bawa tas besar segala?" tanya Ivan membawa tubuhnya ke arah Zelda yang bersimpuh di depan lemari.
Zelda sedikit melirik kakaknya yang berdiri di belakangnya, laki-laki itu sedang mengamati setiap gerakannya yang tengah memasukkan switer warna soft pink.
"Perasaan gue udah bilang, deh." Katanya, tanpa menoleh lagi pada Ivan.
Ivan mengambil tempat duduk di pinggir ranjang Zelda, laki-laki itu mengerutkan alis, mengingat-ngingat.
"Lah, kok gue nggak ingat, yah?" tanyanya memandang langit-langit kamar Zelda yang berwarna putih polos.
"Otak lo kelamaan dianggurin, jadi pikun, deh." Cibir Zelda, membuat Ivan berdecak kesal.
"Setiap detik gue itu mikir, jadi nggak ada istilahnya otak dianggurin." Laki-laki itu beringsut ketika Zelda akan menaruh tas ranselnya yang telah terisi penuh di atas ranjang.
"Serius, masa?" Ivan mengerucutkan bibir dan menarik kursi pasangan meja belajar Zelda.
Lalu, dia beralih duduk di kursi itu saat Zelda telah duduk di pinggir ranjang. Dia duduk sejajar dengan Zelda.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fate (Completed)
Teen FictionSequel INABILITY, bisa dibaca terpisah:) Menyembunyikan perasaan perihal biasa, berpura-pura tidak suka meski sebenarnya suka. Itulah yang Zelda lakukan, Zelda menyukai Davi, tapi yang dia tahu Davi menyukai Rani dan yang tidak dia tahu Davi menyuk...