2: Kopi merah√

19.1K 1.2K 46
                                    

Pagi menjelang, matahari sudah terang menyinari bumi meski jam baru menunjukkan pukul 6 lebih 30 menit.

Suasana di rumah besar Alify terdengar ramai seperti hari-hari biasanya.
Apa lagi para pekerja di rumah tersebut yang selalu di buat kalang kabut di setiap hari akibat ulah majikannya.

Sahutan saling teriak sudah biasa di pagi hari seperti saat ini.

"Sri, sepatu pantofel gue mana?" teriak Alify yang terduduk di tiga anak tangga terakhir. Sedangkan satu orang pelayan tengah menyisir rambut Alify hati-hati di belakangnya.

"Iya Non, ini sepatunya!" Sri yang baru tiba lalu menyerahkan sepatu pantofhel pada Alify.

"Thanks Sri." Alify dengan segera memakai sepatu, sedangkan pelayan bernama Ani di belakangnya sedikit kualahan karena Alify yang menunduk padahal ia tengah menyisir rambut setengah punggung majikannya.

"Bi Darmi sarapan aku nasi goreng udang kering, ya!"

"Iya, Non!"

"Mang Parjo siapin Scoopy warna biru!"

"Siap, Non!"

"Ayu, gue mau susu putih warna kuning!"

"Sedang di sediakan Non," balas Ayu dari dapur membuat kening Sri yang masih berdiri di hadapan nona mudanya ini mengernyit.

"Susu putih warna kuning maksudnya opo to non? Aku ora ngarti," tanya Sri bingung.

"Susunya 'kan warna putih, terus di kasih pewarna makanan warna kuning, Sri," timpal Ani yang berada di belakang Alify menjawab dengan gemas.

"Oh begitu to. Non Alify mah ada-ada saja minumannya," ujar Sri dengan logat jawanya.

"Lo, Sri yang ada-ada aja. Bukan gue," sahut Alify tak mau disalahkan.

Kemudian ia bangkit berdiri dari duduknya dan menuju ruang makan guna mengisi perut penambah tenaga agar ia bisa beraktivitas nanti.

Setelah selesai sarapan ia berangkat menuju sekolah dengan motor matic scoopy.

Suasana di koridor sekolah terlihat ramai karena jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Tetapi, sepertinya bell sekolah belum berbunyi membuat para murid masih tetap bersantai di depan kelas, di koridor, maupun di kantin.

Banyak siswa-siswi yang menyapa Alify sepanjang ia berjalan melewati koridor. Hingga ia berpapasan dengan seorang murid yang membuat Alify memanjangkan tangannya guna menarik kerah baju muridnya itu dari belakang tanpa harus repot-repot memutar tubuhnya.

"Aw! Duh, siapa sih yang narik gue gini woy? Gue bukan kebo," gerutu orang itu dengan kesal, tanpa memperhatikan siapa pelaku yang dengan tega menarik kerah bajunya dengan tidak sopan.

"Kamu memang bukan kebo, tapi kamu itu kayak belut yang licin buat di tangkep," balas Alify tajam membuat orang itu menatap Alify dengan wajah pucat.

"Mak, ternyata yang narik kerah baju gue itu penunggu keramat," ujar orang itu dengan suara pelan yang tentu saja masih bisa terdengar oleh telinga tajam Alify.

"Apa kamu bilang? coba ulangi sekali lagi, Dani," pinta Alify dengan tangan terlipat di dada sembari melotot pada murid yang tak lain adalah Dani, murid kelas 11 yang memiliki utang pulpen padanya.

"Ah, maksud saya itu dari tadi saya nunggu Ms. Alify buat bayar utang saya. Ms," elak Dani dengan wajah melas. Karena ia tahu jika sebentar lagi mungkin ia akan di hukum oleh guru mata duitan ini.
Utang lima ribu saja udah di tagih kayak utang jutaan, dengkus Dani dalam hati.

Saat itu Dani yang ingin mengikuti ulangan di kelas lupa membawa pulpennya. Ingin meminjam pada teman-temannya tetapi tidak ada yang mau memberinya karena setiap Dani pinjam pulpen mereka, hanya bangkai pulpennya saja yang dikembalikan. Sedangkan isinya raib di ambil oleh Dani. Sehingga mau tak mau Dani harus mengutang pulpen dulu pada Ms. Alify karena saat itu ia tak membawa uang sepeser pun.

"Ya sudah bawa sini duitnya." Alify menengadah tangannya memberi tanda pada Dani agar murid badungnya ini segera membayar utang. "Atau kamu mau di makan sama penunggu keramat ini, hm," bisik Alify dengan wajah seram membuat Dani bergidik ngeri. Cepat-cepat remaja berusia 17 tahun itu merogoh saku celananya dan menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan pada Alify.
"Kembaliannya, Miss," ingat Dani dengan wajah tertekuk.

Alify berdecap sebelum merogoh tas yang ia selempangkan di bahunya
"Nih kembaliannya." Alify menyerahkan uang kembalian pada Dani.

"Ya ampun Ms. Alify, ini uang apa koran bekas sih jelek, kumal banget!"

"Kenapa? Kamu enggak mau? Ya sudah bawa sini lagi uangnya." pelototan Alify membuat Dani cepat-cepat menyimpan uang tersebut di dalam saku. Bisa bahaya jika uangnya juga di ambil oleh penunggu keramat ini, salah-salah ia tidak akan bisa jajan di kantin. Tidak apa-apa lah pikir Dani meskipun uangnya jelek dan kumal yang penting utang sudah lunas dari penunggu keramat.

Setelah memasukkan uang 20 ribu ke dalam tas, Alify melangkah pergi meninggalkan Dani dan beberapa murid yang juga tengah menatap Dani dan Alify secara bergantian.

"Apa lo semua lihat-lihat!" seru Dani dengan tampang sengak setelah Alify sudah tidak berada di dekatnya lagi. "Mau gue buat wajah kalian mirip uang lecek ini?" timpalnya melampiaskan rasa kesal pada murid lainnya karena Alify memberinya uang lecek.

"Huuu!" sorak-sorai murid di koridor membuat Dani makin mendengkus jengkel.

*****

"Mulan woy Mulan!" Teriakan membahana terdengar di penjuru ruangan dengan dinding cat abu-abu membuat orang yang dipanggil membuka pintu dengan kasar dan melangkah terburu-buru memasuki ruangan suram tersebut dengan napas yang masih tersengal-sengal.

"Ini bos benar-benar bos dusun yang mirip sama penghuni hutan aja deh," gerutu Mulan dalam hati, sembari menetralkan deru napasnya yang belum teratur akibat berlari dari ruangannya menuju ruangan bos.

"Apa gunanya interkom kalau bos galak ini harus teriak-teriak manggil gue." Mulan masih membatin dengan kesal karena tingkah bosnya ini yang memang memiliki hobi berteriak.

Memasang senyum manis dan wajah polos yang di buat-buat Mulan bertanya dengan nada halus,
"Iya bos, ada apa ya bos manggil saya? Suaranya kencang banget bos. Enggak takut kalau vita suaranya rusak?"

Bosnya yang tak lain adalah Moreno Davis Jarec tentu saja melotot mendengar suara sekretaris yang menurutnya sangat sok kecantikan ini.
"Apa kamu bilang?" seru Moreno tajam.

"Eh, enggak bos. Maksud saya bos ada apa manggil saya?" ulang Mulan dengan wajah yang di buat semanis mungkin. Padahal di dalam hati ia merutuki sifat atasannya ini yang memiliki sifat tempramen.

"Kamu lihat kopi ini?" Bukan menjawab pertanyaan Mulan, Reno justru balik bertanya membuat Mulan mengikuti arah telunjuk Reno yang menunjukan satu cangkir kopi hitam di atas meja.

"Udah saya lihat bos. Terus kenapa ya?"

Reno bangkit dari duduknya dengan wajah geram menahan amarah, ia berteriak pada Mulan.
"Saya mau kamu ganti kopi ini dengan warna merah. Saya enggak mau tahu kamu harus buatkan kopi merah sekarang juga," perintah Reno tegas membuat Mulan menganga dengan mulut terbuka lebar.

Selain hobby berteriak dan memaki orang, rupanya Reno juga memiliki penyakit kejiwaan yang harus segera mendapatkan penanganan intensif.
Kopi merah nyarinya di mana? Boleh enggak sih Mulan mencampurkan kopi pesanan bosnya ini dengan sianida? Tidak usah banyak-banyak cukup setetes saja sepertinya itu sudah cukup untuk membalaskan dendam pada atasannya ini yang selalu menyiksa Mulan dengan perintah yang aneh-aneh.

"Kenapa diem ha? Enggak bisa?" sentak Reno membuat lamunan rencana pembunuhan bosnya ini buyar seketika.

"Eh bisa kok bos. Tenang saja. Apa sih yang enggak buat bos saya ini."

"Ya sudah sekarang tunggu apalagi? Pergi sana!" usir Moreno dengan santai tak memerdulikan Mulan yang kini wajahnya sudah tertekuk tak berbentuk.

Oke fix, sudah dinyatakan Mulan untuk hari ini jika bosnya ini mengalami sakit setengah jiwa.

Sementara itu Reno yang melihat kepergian Mulan hanya mendengkus dengan bibir yang mencibik kesal.
"Dasar sekretaris aneh," gerutunya.

Bukan Mulan yang aneh, memang pada dasarnya Reno sendiri lah yang aneh. Memesan kopi warna merah. Memang ada?

****

PENGANTIN DADAKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang