44: Kumpul keluarga

7.2K 894 58
                                    

Usai kepergian para petugas yang membawa tersangka ke kantor polisi, mereka semua kini berpindah posisi berada di ruang tamu sembari meregangkan tubuh mereka masing-masing.

"Kamu kok bisa peka gitu kalau ada maling?  Dan kalian kenapa sudah ada di bawah?" Reno menatap Alify dengan bingung. Kemudian tatapan pria itu beralih pada dua orang ART yang duduk tenang di bawah sofa--Ani dan Sri--.

"Kalau aku sih memang udah di latih dari kecil buat peka dan waspada sama keadaan sekitar. Kayak ada semacem alarm aja gitu yang bisikin kalau ada maling di rumah," jelas Alify santai. Kemudikan wanita itu menguap merasakan rasa kantuk yang menyerangnya.

"Kalau kita sih, karena Bi Darmi waktu habis nganterin kopi buat Mang Parjo, Bi Darmi melihat gerakan mencurigakan gitu di ujung jalan," jelas Ani dengan suara pelan. "Tapi, kasihan Mang Parjo ya, dia di iket sama maling," lanjutnya dengan nada prihatin.

"Salahnya Bi Darmi, masuk rumah kok enggak ngajak atau minimal kasih tahu Mang Parjo, gitu?" sahut Sri yang sedari tadi diam.

"Namanya juga udah tua. Lupa gitu," tutur Bi Darmi yang baru saja masuk dengan Ayu dan Mang Parjo.

"Mang Parjo enggak kenapa-napa 'kan?" Alify menatap Mang Parjo yang mengenakan sarung untuk menutup wajahnya.

"Saya sih enggak apa-apa Ratu. Cuma bibir saya habis kena gigit semut gara-gara di kasih semut hitam sama si maling itu." Mang Parjo menurunkan sarung yang menutup wajahnya dan memperlihatkan bibirnya yang sudah menebal bagian bawah akibat semut hitam yang di letakkan seorang maling di atas wajahnya.

Gelak tawa terdengar di penjuru ruang tamu, terutama suara Alify yang paling keras tertawa membuat suasana hening tengah malam seperti ini menjadi ricuh.

"Ketawa aja terus melihat saya susah begini," gerutu Mang Parjo kesal.

"Wajah Mang Parjo ngingetin aku sama kartun Tom and Jerry, Mang," komentarnya Sri yang mendapat dengkusan Mang Parjo.

"Donald bebek, yang bener, Sri." Ayu menyahut dengan gemas ucapan temannya yang salah ini.

"Ya sudah, mulai besok saya akan tambahkan beberapa satpam untuk menambah keamanan di rumah ini," ujar Reno setelah lama berpikir. Ia juga tidak ingin orang-orang di dalam rumah ini berada di dalam bahaya akibat kurangnya keamanan.

"Enggak usah pake tambahan satpam segala," tolak Alify langsung. "Aku enggak ada duit buat bayar itu satpam," lanjutnya memberitahu. Selama ini meski hanya Mang Parjo saja yang menjaga tidak pernah mendapat kesulitan dan ia tidak ingin keluar uang hanya untuk membayar satpam lagi. Cukup Mang Parjo yang bertugas sebagai tukang kebun, satpam, dan sopir di rumah tanpa perlu tambahan gaji.

"Kalau masalah gaji, kamu tenang saja. Nanti aku yang bayar setiap bulannya," tutur Reno. Tangannya terulur mengusap dengan lembut air mata yang mengalir di sudut mata Alify. Istrinya ini benar-benar mengantuk, komentar Reno dalam hati.

"Nah!  Kalau kayak gitu aku setuju Ren. Keamanan yang paling tentu di utamakan. Kalau masalah uang sih urusan kecil, ya," balasnya semangat, membuat  pria berusia 27 tahun itu mendengkus.

"Tadi tidak setuju dan sekarang setuju. Dasar plin-plan," cibir Reno yang di balas Alify dengan cengirannya.

                     *****

Mobil yang di kendarai Digo memasuki gerbang yang sudah di buka oleh Mang Parjo, membuat Dina yang berada di dalam mobil tidak berhenti untuk berdecap ketika melihat rumah mewah yang di tempati oleh menantunya.

Oma Nani yang duduk di kursi bagian belakang bersama Dina dan Tomy dalam hati tidak berhenti mengagumi arsitektur rumah mewah yang terlihat silau di pandang oleh mata tuanya.

Oma Nani tidak menyangka saja jika perempuan stress seperti Alify memiliki rumah yang mewah dan berkelas. Kalau seperti ini sih bisa kalah si Tasya bersaing dengan Alify, ujar Oma Nani dalam hati.

"Prissy, ini beneran rumahnya Alify?" tanya Tomy tak yakin. Di lihat dari cara berpakaian Alify yang sederhana dan cendrung seperti manusia pengangguran, ia tak begitu yakin jika rumah menantunya yang ada di hadapan mereka saat ini. Rumah dengan luas yang tidak bisa Tomy ukur dengan 3 lantai terpampang di hadapan mereka.

"Iya, yakin, Pa. Aku 'kan sering minap di sini waktu masih muda dulu," balas Prissy yakin.
"Memang sekarang kamu sudah tua, Sayang?" timpal Digo tersenyum geli.

"Hehe, itu 'kan Perumpamaan aja, Bang." Prissy tersenyum lebar sembari menyenggol lengan Oma Nani yang duduk di sampingnya.

"Gimana, Oma? Alify kaya "kan?" tanyanya sembari menaik turun alisnya.

Oma mendengkus dengan wajah angkuh ia menjawab, "enggak juga. Biasa aja rumahnya."

"Biasa saja gimana, Bu?  Rumahnya  bagus begini kok," sahut Dina yang duduk di samping Prissy dengan aneh.

"Ma, Oma, Sayang. Kita sudah sampai, ayo turun," ajak Digo tanpa sadar mereka sudah tiba di parkiran mobil yang terletak  tidak jauh dari pintu utama.

Prissy menatap sekeliling dan tersenyum lebar karena nyatanya mereka sudah tiba. Wanita itu turun dari mobil setelah Dina sudah lebih dulu turun. Tak lama Oma Nani juga turun dan melihat sekeliling halaman rumah yang di buat taman dengan air mancur di tengahnya.

"Eh, kok ini banyak mobil?" tegur Dina ketika melihat jejeran mobil mewah terparkir di halaman rumah Alify.

"Mungkin itu paman sama bibinya. Alify, Ma," sahut Prissy. Kemudian dengan langkah santai Prissy masuk ke dalam rumah di mana pintu sudah terbuka tanpa mengucapkan salam.

"Assalamualaikum, Prissy," sindir Opa Hamdan yang sudah tiba lebih dulu. Pria tua itu menatap sengit cucunya yang sudah masuk ke dalam rumah orang tanpa mengucapkan salam sapaan.

"Wa'alaikumsalam, Opa. Udah sampe duluan?" sapa Prissy dengan senyum lebar yang tidak luntur dari bibirnya. Wanita hamil itu mencium punggung tangan sang opa dan menatap wajah opanya dengan lekat.

"Jangan dibiasakan kamu masuk rumah tanpa salam, Prissy," tegur sang opa menyentil kening cucunya dengan kuat.

"Ini udah kayak rumah aku sendiri, Opa. Jadi, meskipun aku enggak ngucapin salam, sah aja kok," sahutnya santai.

"Biarkan saja, Opa. Setan kalau masuk rumah memang jarang ngucapin salam," sahut Alify yang sudah tiba di hadapan keluarga suaminya. Kemudian tatapan Alify beralih pada Oma Nani yang berdiri di dekat Tomy.

Senyum wanita yang mengenakan celana levis selutut dan menatap Oma dengan kelingan jail.
"Selamat datang oma di gubuk derita aku dan maaf ya kalau gubuk ini bikin Oma sakit mata," ujarnya dengan wajah sedih yang di buat-buat, membuat Oma berdecih sinis.

"Sombong sekali," ketus Oma Nani tak suka.

"Sombong adalah motto hidup aku, Oma. Tiada hari tanpa kesombongan," sahut Alify dengan kesombongan tiada tanding.

PENGANTIN DADAKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang