Keluarga Chaira dan Kaharu berasal dari Tasikmalaya. Mereka merantau ke ibu kota lima tahun silam, ketika gempa bumi 7,2 SR meluluhlantakkan kota penghasil bata itu pada 2 September 2009.
Menghadapi kerasnya hidup di ibu kota, Chaira dan Kaharu harus mengais Rupiah untuk mengisi perut. Chaira jadi pemulung, Kaharu jadi pengamen. Ayah mereka buruh kasar di sebuah pabrik tekstil, sedangkan ibunya petugas kebersihan di Bundaran HI.
Penghasilan mereka hanya cukup untuk menyewa kontrakan 2 x 2 meter yang jelas tidak cukup untuk empat orang. Karena itulah Chaira dan Kaharu bertempat tinggal di bawah Jembatan Kali Angke yang rawan terkena penggusuran mengingat letaknya dekat kantor polisi Distrik Tambora. Meskipun demikian, preman jalanan tetap tidak segan mengancam setiap saat.
Bagaimanapun, Chaira dan Kaharu selalu siap menghadapi siapapun yang berniat jahat. Sebilah pisau, meskipun berkarat, selalu terselip di balik saku mereka. Dan jangan anggap remeh Kaharu, sejak masih tinggal di Tasikmalaya ia sudah menyandang gelar pendekar silat cilik. Di atas semua itu, Kaharu sangat menyayangi adiknya melebihi siapapun.
Malam itu di sebuah kontrakan sempit di tengah pemukiman padat, lengkap keluarga perantau itu berkumpul berdesak-desakan. Pak Komaru, Bu Mustika, Kaharu, dan Chaira. Mereka duduk bersila melingkari sebuah kaleng biskuit yang biasanya berisi rengginang. Yang tidak biasanya, sekarang kaleng itu penuh berisi uang ribuan.
Pak Komaru menyampaikan pesan pentingnya. "Tabungan yang kita kumpulkan sudah lebih dari cukup untuk mendirikan pabrik bata lagi. Besok kita akan pulang ke Tasikmalaya, naik kereta api dari Stasiun Senen,"
Sementara itu di sisi lain Distrik Tambora yang senantiasa hening, tiga orang tengah berkumpul dalam sebuah bilik sempit lagi gelap. Berkata orang pertama dengan suara serak kakek tua, "Bersatulah kita para pemilik kekuatan, bangkitkan Serikat B. Aku Toharun, pimpinan kalian. Rhanto pemilik kekuatan baku tembak, Sergam pemilik kekuatan baku hantam. Berangkat dari jalanan, kita kuasai ibu kota dengan percik darah ketakutan,"
"Baik, pimpinan. Sekarang, apa langkah pertama kita?" tanya Sergam.
"Singkirkan siapapun yang menghalangi jalan kita. Ada satu di Jembatan Kali Angke, dia yang tahu kisah mawar terakhir di bawah jembatan. Habisi dia," Toharun mengacungkan beberapa bilah belati yang berkilau dalam gelap, namun tidak terlihat siapa yang menerimanya.
Larut malam di Tasikmalaya, ayah dan anak itu masih terjaga memandang langit hitam pekat. Sang ayah menunjuk ke satu arah.
Kata sang ayah, "Alif Saputra. Kau lihat pabrik bata itu, yang cerobong asapnya tunggal menjulang tinggi ke langit? Itulah pabrik bata Keluarga Saputra, didirikan dan dipimpin oleh ayah sehingga menjadi salah satu yang terbesar di Tasikmalaya. Namun kau tahu apa yang terjadi sekarang, nak? Mereka berkhianat, melengserkan ayah dari posisi pimpinan di sana. Tanpa ayah mereka hanya kaki-tangan tanpa kepala, seperti jasad yang mati. Beritahu ibu, panggil truk angkutan barang. Malam ini juga kita berkemas. Sebelum matahari terbit kita harus sudah meninggalkan Tasikmalaya,"
"Ke mana, ayah?" tanya sang anak, Alif Saputra.
"Ibu kota," jawab Pak Saputra, ringkas.
Dan semuanya terlaksana.
Jumat, 28 Maret 2014.
Dini nekat datang ke sekolah tanpa membawa alat tulis. Masa bodo disuruh keluar kelas gara-gara tidak punya pensil. Mau bagaimana lagi, Dini tidak mampu beli. Tahu sendiri kan, di ibu kota segala sesuatu harus dengan duit.
Sudah jadi rahasia umum kalau ada murid putus sekolah karena tidak mampu bayar iuran bulanan, apalagi sejak kejadian Pak Sunar berhenti mengajar kemarin sehingga Saiful berhasil membongkar kelicikan Pak Muktar yang ia sampaikan di depan kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kota Lingkaran Hening.
FantasyKota. Tempat orang-orang senasib bersatu. Lingkaran. Peristiwa yang terulang kembali. Hening. Mengenang mereka yang telah pergi. Kota Lingkaran Hening. Rantau para penyaksi.