8. Rumah Tanpa Perspektif.

47 3 0
                                    

"Kalian tidak merasa ada yang tidak beres Saiful, Sifa?" tanya Alif.

"Doko dan Aryo alfa, itu biasa," kata Saiful.

"Dini sakit memang biasa sih, meskipun akibatnya kelas jadi seperti ini, tidak berwarna," Sifa mengaku.

"Bukan itu," sangkal Saiful. "Dua hari sakit itu. Jika begitu polanya, aku merasa ada yang tidak beres dalam keluarganya Dini,"

"Jangan berpikir yang tidak-tidak," Sifa mengakhiri percakapan.

Bel masuk berdering tiga kali.

Pelajaran dimulai.

Pelajaran pertama hari itu - pendidikan agama - selesai sebelum istirahat. Dan Alif masih punya pertanyaan.

"Sifa, apakah ada pola alfa membolos tertentu pada Doko dan Aryo?"

Jawaban Sifa hanya menggeleng.

Bukan suatu petunjuk bagi orang yang tidak punya bakat detektif.

Bel istirahat berdering dua kali. Saiful langsung melesat ke ruang guru. Pak Sudar pasti ada di sana.

Tapi, langkah Saiful dicegah cekalan seseorang di kerah bajunya sebelah belakang. Saiful tidak balik badan. Dari ukuran tangannya, orang di belakangnya itu tidak lebih dari teman sebayanya.

"Saifulsaka, mau ngapain kau?"

"Ke ruang guru..." Saiful mengarang alasan agar tujuan sebenarnya tidak terbongkar. "Mau minta pinjaman uang jajan,"

Jujur saat itu Saiful tidak bawa uang, ditinggal di tas ranselnya.

"Tidak usah, kau main bola saja. Dukung tim kami, kau tak bayar Rp. 10.000,"

"Dari suaramu," Saiful menebak orang di belakangnya. "Kau kelas 6A, kan?"

Sebenarnya Saiful sudah merasa curiga dari awal. Tidak biasanya tim main bola suatu kelas membayar orang cabutan. Kalaupun ada orang cabutan, paling itu sukarela. Kedua, wali kelas 6A tidak lain tidak bukan adalah Pak Muktar. Buah jatuh tak jauh dari pohon berlaku untuk kaki-tangannya.

"Ya," lawan bicara Saiful seperti sedang tebak-tebakan.

"...yang kemarin beritahu aku kalau aku dicari Pak Muktar?" lanjut Saiful.

"Cukup tebak-tebakannya," murid kelas 6A itu - tidak penting siapa namanya- sadar perhatiannya dialihkan Saiful.

"Untuk itu, terima kasih," Saiful menyusun kalimat yang tidak terjangkau pemikiran lawan bicaranya.

Ternyata tidak semudah itu.

"Kau tidak lihat itu peringatan?"

Saiful melirik ke tempat yang ditunjuk murid kelas 6A itu, pintu ruang guru ke atasan sedikit.

MURID DILARANG MASUK RUANG GURU.

"Begitu," jawab Saiful datar, pura-pura tidak tahu. "Tapi itu baru dipasang barusan entah sama siapa,"

"Tapi Pak Muktar bebas," sangkal murid kelas 6A itu.

"Buang waktu saja," Saiful tidak berminat melanjutkan percakapan. "Aku cari utangan di kantin belakang sekolah saja,"

"Coba saja kalau bisa," tantang lawan bicaranya Saiful yang tidak penting itu.

Saiful sadar sepenuhnya bahwa saat pergi ke kantin sekalipun dia masih diawasi orang yang tadi. Sialnya lagi, di kantin belakang sekolah tidak seorangpun bersedia memberi utangan.

"Ini ibu kota, enak kau ngutang, sampai mati mana ada kau bayar, hah?"

Begitu kata penjaga kantin.

Kota Lingkaran Hening.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang