75. Begitulah Faktanya.

35 0 0
                                    

Sudut Distrik Tambora.

"Datang juga akhirnya kau, Rhanto," kata Sergam. "Lama kali lah,"

"Paling tidak, aku bawa kabar bagus," kata Rhanto. "Kepolisian bersedia membentuk poros dengan kita. Rapat gabungan bisa diadakan besok, atau paling cepat nanti malam,"

"Sebaiknya besok," saran Toharun. "Malam ini kita ada urusan yang tidak kalah penting. Mengakhiri krisis kopi ngeselin yang sudah beberapa hari ini meliputi Distrik Tambora,"

"Kalau ke tempatnya Pak Sudar, saya setuju," ujar Sergam. "Tapi yakali kita juga jual ke RM Padang?"

"Kita bisa jual agak banyak ke Pak Sudar," Toharun menyusun siasat dagang. "Biar kalau si detektif ngeselin mau beli, jatuhnya lebih mahal,"

"Aku juga meragukan sih kalau Husin ngeselin itu mau beli," pendapat Rhanto. "Bukan tidak mungkin, dia sudah tidak menggunakan kopi bubuk lagi dalam penyelidikannya,"

"Kalau mau profit, kita juga harus jual ke tempat lain," ujar Toharun. "Minimarket bisa, tidak?"

"Minimarket pasti beli stok dari warung seberang yang biasanya tutup kalau siang, makanya berani jual lebih mahal," Rhanto juga punya siasat dagang. "Kalau mau minimarket beli, kopi bubuknya jual ke sana dulu. Bisa, kali?"

"Kalau sana tutup, jualnya ke penjaga warnet juga bisa," tambah Sergam. "Orangnya sama,"

"Bagus," Toharun membuat list target pembeli. "Kepolisian tidak perlu, mereka sudah beli dan masih punya stok,"

"Berarti yang tersisa adalah warung sebelah RM Padang, kantor pos, pangkalan rongsok, dan toko material," Sergam menghitung dengan jari.

Toharun terus mencatat.

"Sebentar," Rhanto mengamati target pembeli yang diusulkan Sergam. "Kalau mau jual kopi bubuk ke warung Amat masih masuk akal, tapi sebelum itu, dia keberpihakannya ke siapa? Menguntungkan kita atau tidak? Kedua, kantor pos. Yakin mau jual ke sana sedangkan biji kopi kita berasal dari sana? Terakhir, pangkalan rongsok dan toko material. Ini paling tidak masuk akal. Kopi bukan sesuatu yang bisa dirongsok atau bahan bangunan, lho,"

"Kamu jangan kebanyakan mikir, Rhanto," saran Toharun. "Jual kopi tidak harus lihat tokonya, tapi asal ada orang yang mau minum kopi di sana, ya gaskan. Gitu saja kok repot?"

"Kalau benar begitu," Rhanto ikut mengusulkan target pembeli. "Itu artinya rumah-rumah lainnya juga bisa,"

"Siplah," Toharun setuju. "Jual kopi bubuk?"

"Gas," kata Rhanto dan Sergam, bersamaan.

Sebelum itu, Serikat B harus menggiling kopi biji menjadi kopi bubuk. Dengan bantuan serangkaian kuasa yang mereka miliki, tidak perlu waktu lama sampai pekerjaan itu rampung.

Sementara itu, di kantor pos Distrik Tambora.

"Serius dah, gabut ni," Pak Saputra mematikan televisi, tidak ada siaran berita yang menarik.

Kalau ada yang menarik juga, tidak bermutu.

Pak Saputra memeriksa list pekerjaan hari ini. Semuanya sudah beres. "Pak Heryanto pergi ke mana, sih? Lama amat?"

Bersamaan itu, Pak Heryanto datang.

"Mengantar anak SMA gak jelas tadi ke suatu tempat, yang dia baru tau kalau jam segini biasanya kosong, sepi," jawab Pak Heryanto. "Malahan dia baru tau, kalau tempat itu sekarang jadi tanah kosong. Beberapa hari yang lalu, di sana masih penuh puing,"

"Kalau tidak salah, tempat itu letaknya di seberang Kali Angke, ya?" tanya Pak Saputra.

"Yap," Pak Heryanto memeriksa list pekerjaan hari ini. "Kalau sudah selesai semua, hari ini kita bisa balik awal. Mampir dulu di suatu tempat hayu,"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 17, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kota Lingkaran Hening.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang