72. Semoga Saja Tidak Perlu.

36 2 0
                                    

Rumah Saiful.

"Akhirnya kau balik juga, mata-mata kelas 6B," Dini selesai membaca ringkasan materi untuk ujian besok. "Oh ya, Saiful. Di jalan tadi, kamu ada melihat suatu hal yang tidak biasa tidak?"

"Kalaupun ada," kata Saiful. "Tadi ada tukang pos yang keliling tapi tidak bawa paket. Mungkin paketnya sudah dikirim semua, tapi sepertinya tidak. Dia bawa lakban transparan, dan papan nama yang dipakainya adalah Heryanto,"

Dengan rapi, Dini menyembunyikan kilasan terkejut di matanya. Aslinya Dini tidak kaget, hanya saja berpikir keras. Dari apa kata Saiful soal ayahnya barusan, banyak hal bisa disimpulkan.

Pertama, rutinitas kantor pos berjalan seperti biasanya. Kalau ada masalah, paling hanya kehabisan lakban. Kedua, lakban yang dibawa ayah Dini transparan. Cukup dari situ, kemungkinan bercabang banyak.

Tidak biasanya lakban tipe itu dipakai saat membungkus paket. Orang biasanya pakai lakban coklat, karena daya rekatnya lebih bagus dan harganya lebih murah. Kalau Pak Heryanto sampai beli lakban transparan, itu artinya ayah Dini terdesak situasi, adanya ya hanya tipe itu.

Dari sana jelas. Minimarket dan warung seberangnya tutup, begitupun warung Amat. Kalaupun warung Amat buka, dia tidak jual lakban. Dari sana, kesimpulannya lebih jelas lagi.

Lakban transparan, dipakai untuk tujuan khusus. Misalnya seperti yang dilakukan Detektif Husin, untuk menyalin sidik jari dari permukaan suatu benda. Tidak salah lagi, lakban transparan itu dari Detektif Husin. Penyelidikan kasus JKA kembali dilanjut, dengan bantuan dari Noor. Dini bisa menyimpulkan begitu, karena tadi sdah disebutkan kalau minimarket tutup.

Dan berhubung sekarang Detektif Husin tidak lagi pegang lakban transparan, itu artinya barang bukti kasus JKA yang sedang ditelusuri bukan lagi sidik jari.

Cukup.

"Kerja bagus, Saifulsaka," kata Dini. "Dari sana aku bisa memastikan hal-hal berjalan normal tanpa harus ada campur tangan dari Alif Saputra,"

"Kalau mau bahas yang satu itu lain kali saja," Saiful fokus pada tujuan awal Dini datang ke rumahnya. "Katanya kamu mau pinjam sambungan telefon kaleng? Siapa yang mau kamu hubungi?"

"Pertama orang seberang Kali Angke," Dini mengontak Doko dan Aryo.

"Kalau mau belajar kelompok, agak sorean lah," kata Aryo dari ujung sana. "Masih pada capek ini habis ngerongsok. Over,"

"Ya lah tu," jawab Dini, datar. "Over. Eh, heh, bilang apa barusan?"

"Siapa yang ngomong, Dini?" tanya Saiful.

"Perantau ngeselin," jawab Dini, pelan.

Saiful mengerti siapa orang yang dimaksud Dini. Alif Saputra.

Saiful menajamkan pendengarannya agar bisa menangkap apa yang diucapkan Alif.

"... Jadi kamu menjaga tangan tetap bersih dengan membiarkan orang lain mengerjakan bagian yang kotor, ya? Persis sekali kamu, seperti keluarga pedagang asal Bandung itu ..."

"Alif ini ngelantur soal apa sih," Saiful jelas bingung, dia tidak tahu apa-apa soal Usaha Dagang Kelurga Komaru. "Gajelas sumpah,"

Saiful baru sadar, bahwa Dini juga sadar.

Bahwa jaringan telefon kaleng yang dibuat Dini mempunyai satu kelemahan besar.

Dengan semua kaleng terhubung pada benang kenur yang sama, kalau ada orang ngomong di satu kaleng, siapa saja di ujung kaleng lainnya pasti bisa dengar. Dengan keputusan Dini untuk menempatkan satu kaleng di rumah Alif, maka perantau asal Tasikmalaya itu bisa menyadap percakapan dari mana saja. Termasuk apa yang dibahas Detektif Husin dan Noor di RM Padang, serta apa yang ditanyakan Dini soal foto Tio dan Mukti semalam.

Kota Lingkaran Hening.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang