11. Titipan dari Detektif Husin.

41 3 0
                                    

Deg.

Apa yang dibutuhkan Detektif Husin jauh di luar perkiraan Dini.

"Duluan, detektif?" aneh, seharusnya Dini pakai tanda seru, bukan tanda tanya.

Setengah jalan pulang berpedoman GPS buku tulis Chaira, Dini berpapasan dengan Noor, sadar sama sadar.

"Kak Noor?"

"Dini?"

"Kak Noor pulang awal?" tanya Dini.

Noor mengangguk sekali. "Burhan atasan saya bilang begitu. Balik saja, ganti jaga,"

"Kak Noor kan perantau," kata Dini. "Lalu, apa alasan Kak Noor merantau ke ibu kota?"

"Alasan?" Noor menengadah sesaat tanda mengarang alasan.

"Bukan karena perputaran uang lebih cepat di ibu kota?" Dini menebak.

Noor geleng kepala. "Bukan, Dini. Sekalipun ibu kota diam dan hening seperti Distrik ini, aku akan tetap merantau ke ibu kota,"

Berarti, bukan itu alasannya.

"Aku merantau ke ibu kota karena seseorang," kata Noor.

"Mencari seseorang?" Dini memastikan.

Noor mengangguk.

"Siapa?" Dini penasaran.

"Namanya Tio," Noor menengadah lagi.

Tapi Dini tidak bisa dibohongi, apa kata Noor benar adanya.

"Tio teman Kak Noor?" Dini asal tebak, tambah penasaran. "Dia lebih dahulu merantau ke ibu kota?

"Tepatnya, dia menghilang," kata Noor. "Delapan tahun lalu, di Bukit Cikutra penjuru utara Bandung. Terhisap pusaran udara tak kasat, bilang pergi ke ibu kota,"

Pusaran udara tak kasat mengingatkan Dini pada tiga orang asing yang dia kalahkan di Menara Saidah minggu lalu bersama Alif dan Saiful.

Adakah suatu keterkaitan?

"Dini. Sering, aku merasa orang yang kucari itu dekat. Tapi aku tidak tahu pasti di mana tepatnya," ujar Noor.

Detektif Husin lewat tanpa menyapa. Di balik pengkolan, dia menutup sebelah mata dengan dua jari, hilang terbawa pusaran udara tak kasat kuasa portal ruang.

Entah dari mana datangnya, suara lain menyapa. Baru, sama sekali asing.

"Woi, harta nyawa? Jangan cari masalah, saya preman jalanan,"

Celaka, Dini melawan.

"Situ berani lawan saya?" Dini merogoh koin seribu Rupiah. "Ibu kota itu keras,"

"Siapa takut?" preman jalanan itu menghunus belati.

Tanpa pikir panjang - di luar kendalinya pula - Dini menimpuk koin seribu Rupiah ke arah preman jalanan itu. Sasarannya bukan kepala untuk membuat pingsan. Tidak tanggung-tanggung, urat nadi leher.

Serangan maut.

Tapi siapa sangka, preman jalanan itu jauh di luar perhitungan Dini.

Dia bisa membaca serangan koin seribu itu!

Preman jalanan itu membuat gerakan mencongkel dengan belatinya.

Cting!

Denting logam beradu, koin yang melesat dengan kecepatan maut itu nyasar lurus ke arah langit.

"Dini! Awas!"

Dini tidak sempat menanggapi peringatan Noor, dia masih menengadah melihat ke mana koinnya melambung ketika bayangan belati menghalangi pandangannya.

Kota Lingkaran Hening.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang