56. Aku Tidak Terlambat, Kan?

60 1 0
                                    

Nyelonong masuk, Dini nimbrung ngobrol tanpa permisi. "Daripada uang habis buat main warnet, utang lagi, mendingan beli mi instan bungkus putih di warung Amat,"

Tanpa pikir panjang, Doko yang tidak mau meminjamkan uang lagi setuju dengan tawaran Dini.

"Dia muncul di sini ada angin apa sih?" Aryo log out dari akun PB lamanya.

Ngapain buat akun baru kalau akun lama masih bisa diakses? Pangkat turun sebentar juga sudah naik lagi.

"Salah satu dari kalian ada yang kenal Yasa Metahara?" Dini bertanya.

"Pengamen SMP atau SMA tidak jelas yang sering bolos supaya bisa bayar SPP, beli makan, gas, dan sabun?" Aryo hafal ciri lengkap orang aneh itu.

"Ya," jawab Dini. "Kalau tidak keberatan, boleh tolong cari orang itu? Beritahu dia, seseorang menunggunya di RM Padang,"

"Siapa tahu dia lagi ada duit lebih, boleh juga tuh," Aryo cabut dari warnet.

"Terus aku ngapain?" tanya Doko.

"Kamu masih ada cukup duit buat beli mi instan di warung Amat, kan?" Dini punya saran bagus. "Kamu bisa minta masak di RM Padang, paling nanti disuruh Detektif Husin cuci piring. Lumayan untung segitu,"

"Oke," Doko berjalan mengikuti Dini. "Kamu punya rencana lain, ya?"

"Tentu saja," jawab Dini. "Tama dan Tako sudah menunggu di sana,"

"Kamu mengumpulkan perwakilan dari kelas 5, 6A, dan 6B?" Doko mencirikan siapa saja yang hadir.

"Tambahkan pengamen tidak jelas itu," Dini tidak terlewat menghitung pihak ketiga.

"Rencana apa sih," Doko mengira-ngira. "Belajar kelompok?"

"Sederhananya begitu," Dini menjelaskan rinciannya nanti. "Tujuannya, supaya kita tetap aman di tengah situasi distrik yang sedang tidak stabil,"

"Sadar tidak sadar, kita adalah kerikil dalam sepatu buat orang-orang yang cari kuasa di distrik ini," kata Dini. "Ingat kejadian tempo hari di Menara Saidah?"

"Mau bagaimana juga, rekam jejakku bersih. Bukan aku yang punya masalah, kenapa aku yang kena getahnya?" Doko mencari kesempatan buat cuci tangan.

"Rencanaku bukan sembarang rencana," Dini hanya menunjukkan bagiannya seperti es batu di atas air. "Nah, kita sampai,"

"Lama kali kau," Tama masih kesal, sudah mah tenggat pengumpulan informasinya dipercepat dari besok pagi jadi sore ini, masih disuruh mengantar pesanan nasi Padang, pula. "Masih untung Detektif Husin kasih makan siang gratis,"

"Ah ya, aku juga lapar!" Tako mengibaskan selembar Rupiah warna ungu. "Detektif Husin, nasi Padang satu,"

"Siap," Detektif Husin menyambar piring dan centong nasi. "Lauk apa?"

"Ayam bakar," dari tadi Tako sudah kepingin gara-gara wanginya.

Bersamaan itu, Yasa baru saja pulang ngamen di beberapa metromini ibu kota. Doko juga habis dari warung Amat beli mi instan bungkus putih.

"Masak mi instan di sini bisa?" tanya Doko.

"Silakan," Detektif Husin menunjuk kompor gas yang sedang tidak dipakai.

"Oi, senang berbisnis dengan anda," Yasa menyapa Detektif Husin.

"Makan?" Detektif Husin bertanya langsung ke intinya. "Lauk apa?"

"Tidak," Yasa menolak dengan alasan masih kenyang. "Habis makan angin, wkwk,"

"Wkwk," Tama ikutan tertawa.

Kota Lingkaran Hening.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang