Menyadari anak yang diawasinya mendapat keberuntungan tidak diduga, Sersan Safrul buru-buru mencegat Chaira. "Hai neng, barang bukti dari TKP yang sebelumnya tidak diketahui penyelidik masih ada harganya dan harus diserahkan ke pihak berwajib (polisi). Barang itu masih ada harganya dan bisa menjadi petunjuk kunci kasus pembunuhan di sisi Jembatan Kali Angke semalam," Sersan Safrul beralasan dengan licik.
Dini menolak mentah-mentah alasan Sersan Safrul sehingga polisi itu merasa perlu mengancam Dini. Kata Sersan Safrul, jika tidak diserahkan maka yang membawanya akan ditangkap ke kantor polisi.
"Sejak kapan aturan itu berlaku?" Dini tahu apa yang terjadi. "Sersan Safrul main hakim sendiri. Iya kan? Hayo ngaku,"
Sejak kapan ada polisi yang kalah menghadapi anak bocah? Begitu pikir Sersan Safrul. "Begini saja, neng. Kau pasti tahu kan, ini ibu kota. Kehidupan di sini keras. Namun, apa saja bisa diwujudkan, aturan bisa ditelikung, hukum bisa dibeli, asalkan ada uang. Jangan bilang kau tidak diajari itu di sekolah, bahkan ketua kelasmu yang jadi mata-mata juga mengatakan itu, kan?"
Dini bisa merasakan bahaya ancaman dari Sersan Safrul. Polisi yang seharusnya melayani dan mengayomi masyarakat itu kini hendak menodong murid kelas 6 SD. Dini segera melancarkan jurus pamungkasnya. Setelah menyimpan pensil dan buku tulis temuannya di dalam tas, Dini melempar sisa uangnya, koin Rp. 1000, ke kening Sersan Safrul.
"Adaw!" polisi gadungan itu mengaduh, perhatiannya teralihkan, pandangannya gelap sesaat. "Jangan lari! Sini kau anak sialan!"
"Rasakan! Makan tuh uang haram!" teriak Dini sembari berlari pulang ke rumahnya. Dini menangkap koin yang barusan dia lempar dengan tangan kiri.
Sersan Safrul membuka selembar plester untuk menutupi luka di keningnya, membuang bungkus plester itu sembarangan. "Anak sialan itu akan jadi laporan bagus untuk Mintoha," katanya seraya berjalan menuju kantor polisi Distrik Tambora yang tidak jauh dari Jembatan Kali Angke.
"Bagaimana hasil pantauanmu, Sersan Safrul?" tanya Mintoha.
"Kacau," komentar Sersan Safrul. "Biar aku beritahu, anak yang berani menembus garis polisi di TKP pembunuhan itu namanya Dini Safitri. Murid kelas 6B SD Harapan 3. Itu bukan masalah bagi kepolisian Distrik Tambora. Masalahnya, dia mengambil barang bukti dari TKP pembunuhan. Barang bukti yang luput dari pengamatan Detektif Husin, wartawan, bahkan polisi Distrik Tambora yang semalam menyelidiki kasus terkait,"
"Stop, Safrul," Mintoha mencermati sebagian laporan Sersan Safrul. "Barang bukti apa itu?"
"Buku tulis dan pensil. Tidak penting, bukan?" Sersan Safrul hendak meneruskan laporannya.
"Itu penting," Mintoha menggebrak meja kerjanya. "Semakin remeh suatu barang bukti, semakin penting posisinya dalam pemecahan kasus. Dengan kata lain, penggelapan kasus. Begitu pula sebaliknya. Aneh, bukan?"
Sersan Safrul mengiyakan saja.
"Tidak juga," Mintoha memutar balikkan pernyataannya. "Sekarang pertanyaannya begini, apa kau tahu alamat dan keberadaan anak perempuan bernama Dini Safitri itu?"
Sersan Safrul angkat bahu.
Sekali lagi Mintoha menggebrak meja. "Itu artinya lebih aneh lagi kau, Safrul! Kenapa tidak kau ikuti anak itu, kau cari tahu alamatnya, keberadaannya, latar belakangnya?"
"Itu terlalu berbahaya bos," kedua kalinya Sersan Safrul tidak berhasil menjalankan perintah atasannya. "Anak perempuan itu bisa melawan dengan cara yang sulit diperkirakan. Koin seribu Rupiah di tangannya bisa melukai kepala orang,"
Mintoha melihat plester di kening Sersan Safrul, amarahnya naik. "Anak kurang ajar, berani-beraninya dia menyerang polisi Distrik Tambora! Lihat saja, mulai saat ini Distrik Tambora tidak akan aman lagi! Tunggu sampai ada preman jalanan atau siapa saja yang berhasil membunuhnya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kota Lingkaran Hening.
FantasyKota. Tempat orang-orang senasib bersatu. Lingkaran. Peristiwa yang terulang kembali. Hening. Mengenang mereka yang telah pergi. Kota Lingkaran Hening. Rantau para penyaksi.