21. Arahnya Tepat Ke Kepala.

52 2 0
                                    

"Hmm," Detektif Husin mikir agak lama. "Mungkin kalau kau baca teks rekamannya di bagian akhir nama itu jarang disebut. Noor, tolong baca teks di meja uang kembalian halaman kedua dari akhir,"

Beberapa menit hening.

Jika dipikir-pikir sama Detektif Husin, sebenarnya, sebagai saksi ahli kasus JKA, Noor tidak cukup membantu. Penjaga kasir itu punya ingatan yang tidak ingin diingat yang sama dengan Detektif Husin.

Aku sudah siap dengan resiko itu, sebagaimana kau siap menghadapi resiko pekerjaanmu, detektif.

"Yang bilang begini Reiko?" Noor tidak percaya. "Serius?"

Detektif Husin mengangguk sekali. "Padahal aku tidak ingat,"

"Berani juga dia," kata Noor. "Baiklah kalau begitu. Jadi apa pertanyaanmu, detektif?"

"Reiko itu siapanya kamu?" Detektif Husin merasa penjaga kasir itu mengenalnya.

"Temanku semasa SMA," jawab Noor. "Di Bandung, kota kelahiranku,"

"Sepertinya bukan itu saja," Detektif Husin menangkap kilasan tidak terbaca di mata penjaga kasir itu.

"Dia... Pengkhianat," Noor merasakan beban yang teramat berat saat mengucapkannya.

"Pada siapa?" Detektif Husin belum ingat peta politik di sana saat itu.

"Komaru," Noor menekankan, "keluarganya sendiri yang runtuh dalam perang besar preman, sebenarnya dilatarbelakangi dia,"

"Bagaimana bisa?" Detektif Husin sulit mengerti peta politik ini.

"Ada seseorang yang Reiko suka, Raven Chaser namanya," Noor bercerita. "Putra Elang Cadas, tangan kanan preman saat itu. Bukankah jelas itu sebuah pengkhianatan?"

"Belum tentu juga," Detektif Husin punya perkiraan lain. "Preman di Bandung justru menciptakan keamanan, bukan?"

Ngiing!

Kepala Detektif Husin mulai pusing.

"Bukan begitu maksudku," Noor mendikte peta politik yang menurutnya benar. "Rav memanfaatkan kesempatan hilangnya Tio untuk mengobarkan perang besar preman yang meruntuhkan keluarganya sendiri,"

"Tio punya sepupu?" tanya Detektif Husin.

"Tio sepupunya Reiko," jawab Noor.

"Reiko..." Detektif Husin berusaha meraih kembali sebagian ingatan yang hilang kemarin siang di Stasiun Senen. "Bilang..."

"Reiko bilang sesuatu?" Noor tidak sabaran. "Tentang apa?"

"Ah, kelamaan," otak Detektif Husin gagal memuat ingatan itu. "Noor, sebaiknya kau baca saja teks rekaman itu, aku cari kerjaan lain di luar,"

"Kerjaan apa?" Noor perlu tahu.

"Dini sudah kelas 6," kata Detektif Husin. "Sebentar lagi tur sekolah,"

"Lalu kau mau pergi ke SD Harapan 3?" Noor menebak jitu.

"RM Padang Konco Ambo akan ikut lelang acara itu. Semoga saja sukses, supaya kau tidak perlu ambil pusing biaya tur sekolah buat Dini Safitri," ujar Detektif Husin.

Seperti keluarga saja. Hahah.

Kalau bukan karena anak SMA hilang ingatan berambut lurus klimis bermata hitam coklat kopi susu itu, takkan Noor mengingat kembali apa yang tidak ingin diingatnya itu.

SD Harapan 3.

Bel istirahat berdering dua ketukan penjang. Dini tenggelam ke bawah sadar dalam tidur singkatnya. Alif, Saiful, dan Amat main bola, Doko dan Aryo ucing-ucingan sama Pak Sunar di gang sempit.

Kota Lingkaran Hening.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang