Markas preman jalanan.
"Ayolah," Sersan Safrul memeriksa tempat mangkalnya perkumpulan orang yang diduga meresahkan warga Distrik Tambora itu. "Yakali tidak ada barang bukti soal kegiatan kalian?"
Yang ditemukan Sersan Safrul di sana hanya sebuah gerobak nasi goreng, satu unit metromini rongsok, dan bangunan kosong yang nampak terbengkalai.
"Permisi pak," sapa Noor. "Ini dengan Sersan Safrul, kan?"
"Saya tidak kelihatan seperti Mintoha si kilat kuning Distrik Tambora, kan?" Sersan Safrul tanya balik. "Artinya, itu benar. Situ mau nanya apa, buruan gih,"
"Terkait kasus JKA," kata Noor. "Apakah kepolisian sudah mengumpulkan semua barang buktinya?"
"Ya sudah, lah!" Sersan Safrul mengingkari fakta bahwa mereka tidak menganggap pensil dan buku tulis Chaira termasuk barang bukti, untuk menjaga nama dan reputasi pihak kepolisian.
Noor juga hati-hati, karena dia punya bukti lain yang polisi tidak punya. Sketsa bahwa Chaira sempat membeli pensil dan buku tulis sebelum terbunuh dalam kasus JKA, yang menjadi dasar bahwa dua benda itu, meskipun saat ini keberadaannya tidak diketahui, bisa jadi merupakan bukti kunci.
"Wajar saja ya kalau sudah begitu kasusnya ditutup," Noor menutupi kecurigaan Sersan Safrul bahwa penjaga kasir itu bekerjasama dengan Detektif Husin. "Aneh gitu, melihat ada anak SMA hilang ingatan yang memilih untuk mengusut kasus itu lagi,"
"Dan lebih anehnya lagi, ada perantau asal Bandung yang mau saja membantu detektif ngeselin itu," sindir Sersan Safrul.
Kata Noor dalam hati, percuma saja main rapi kalau begini. Langsung ke intinya saja lah, biar gak ribet.
Masih mengacu pada apa yang dilakukan Dini semalam, Noor mencermati apa yang terlewat dari pengamatannya terhadap kasus JKA.
"Anu, pak," kata Noor sambil mikir. "Kasus JKA ini cukup besar kah, sampai masuk siaran berita televisi?"
"Sepertinya iya," Sersan Safrul garuk kepala. "Tapi itu setelah kasusnya ditutup,"
Sekali lagi, Noor meniru cara Dini mencari petunjuk. Perhatikan lebih teliti pada detail yang sering terlewat. Kasusnya ditutup, itu poin pentingnya. Tapi masuk siaran berita televisi, tidak semua orang sadar akan hal itu. Di sanalah ikan besarnya berada.
"Wartawan yang meliput berita kasus JKA itu," kata Noor. "Mereka tidak mengambil apapun di TKP, kan?"
"Sebagaimana mestinya," kata Sersan Safrul. "Tentu saja tidak,"
"Bagaimana dengan orang-orang selain wartawan?" Noor mencari sesuatu yang tidak umum.
"Kau ini," Sersan Safrul mulai merasa ada yang tidak beres. "Sebagai perantau, baik kau tau diri sikit. Kasus JKA itu urusannya orang sini, jangan ikut campur ngapa, kecuali kamu tahu sesuatu,"
Merasa terancam, Noor mencari posisi tawar yang lebih bagus. Kalau bisa, temukan alat tekan.
"Kalau dari tadi Sersan Safrul mencari tanda-tanda aktivitas preman jalanan," Noor mengambil busur silang semi otomatis dan mengokangnya. "Bagaimana dengan ini?"
"Oi, stop!" Sersan Safrul angkat tangan tanda menyerah. "Saya jawab!"
"Buru!" Noor mengotak-atik tuas peluncur di sisi kanan senjata tembak itu.
Kata Noor dalam hati, kok macet?
"Orang itu ada," kata Sersan Safrul. "Tidak perlu saya sebut langsung siapa namanya, kamu pasti tahu siapa dia. Perempuan, salah satu murid SD Harapan 3. Dia dari kelas 6, sepertinya 6B. Apapun yang berada dalam genggamannya, menjadi bahaya bagi orang di sekitarnya. Anak itu memang patut diperhitungkan bukan saja hanya karena itu, tapi juga orang tuanya. Ayah dari anak perempuan itu, hampir tidak ada sesuatu yang dapat disembunyikan darinya. Tukang pos serba tahu, andalan Distrik Tambora,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kota Lingkaran Hening.
FantasyKota. Tempat orang-orang senasib bersatu. Lingkaran. Peristiwa yang terulang kembali. Hening. Mengenang mereka yang telah pergi. Kota Lingkaran Hening. Rantau para penyaksi.