6. Habisi Lawan Kalian!

75 4 0
                                    

Dini mencari sesuatu untuk dikerjakan. Diraihnya sampul buku di meja belajar berikut buku tulis 'peninggalan' Chaira.

Dini sempat membaca kelanjutan tulisan Chaira yang sudah sampai halaman ketiga.

... Nama Chaira Larasati bukan rahasia lagi, tapi masih ada rahasia yang tersimpan di dalamnya. Apalah arti sebuah nama, Chaira artinya terbaik. Larasati, teguh pada jalan yang lurus. Begitu kata ayahku. Rahasianya adalah mengapa ayahku merahasiakan nama itu sendiri.

Seketika, Dini menyadari suatu hal yang berbeda. Jarinya yang terbiasa menyampul buku dengan rapi kini gemetar. Hasil sampulnya tidak sebagus kemarin. Berulang kali Dini mencoba, tidak ada perubahan. Akhirnya Dini menyerah, meletakkan buku tulis Chaira di meja belajar sementara pagi mulai terang.

Dini keluar kamar, segera mandi dan sarapan. Setelah itu Dini langsung nonton TV supaya tidak disuruh-suruh ibunya. Sejujurnya Dini merasa bosan menonton TV. Iklannya itu-itu saja, acaranya juga itu-itu saja. Kalau saja Dini tidak dibayangi ketakutan akan menjadi pesuruh, pasti saat itu ia sudah bermain lompat tali bersama anak-anak sebayanya.

Dini tidak berhasil menemukan acara TV yang cocok dengan usianya. Kalaupun ada, tidak bermutu isinya. Terpaksa Dini menonton berita.

Kasus pembunuhan C kemarin lusa ditutup, pelaku tidak ditemukan. Sejumlah peti kemas berisi barang impor gelap disita di Anyer. Pabrik batu bata terbesar di Tasikmalaya ditinggalkan pemiliknya.

Tasikmalaya. Dini langsung teringat kota asal Alif Saputra dan Chaira Larasati. Dini menyimak liputan berita dengan teliti. Pak Komaru, ayah Chaira, muncul di televisi.

"Saya kenal pemilik pabrik ini, Pak Saputra namanya. Kabar yang saya dengar, Pak Saputra meninggalkan pabrik karena kudeta. Namun sampai saat ini situasi pabrik baik-baik saja, tidak ada pekerja yang mogok,"

"Bagaimana dengan jumlah produksi?" tanya wartawan.

"Akhir-akhir ini terus menurun," kata Pak Komaru. "Mungkin itu saja masalah di pabrik batu bata Keluarga Saputra,"

Bosan menonton berita, Dini mematikan televisi. Masuk kamar, mengunci pintu, pergi tidur. Dini tidak berminat untuk membuka buku tulis Chaira. Cukup ia tahu, ayah Chaira muncul di TV. Dini masih bisa menangkap raut wajah sedih pada orang berusia sekitar empat puluhan tahun itu. Apakah Pak Komaru melihat berita di TV kemarin, bahwa Chaira menjadi korban kasus pembunuhan? Dini tidak berani menyangka lebih jauh.

Tahu bahwa Chaira tidak senang jika diajak bicara tentang kasus pembunuhan, Dini enggan berurusan dengan buku tulis, termasuk buku pelajaran. Dini kembali ke kasur, pergi tidur. Celaka, tidur di waktu pagi adalah kesalahan besar. Coba saja Dini membuka buku asal, pasti tidak ada masalah.

Seketika ibu Dini datang ke kamar, tangan kirinya menggenggam centong sayur. "Hoi, Dini! Sialan kau, masih pagi begini sudah tidur?"

"Prak!" Centong sayur menghantam kasur. Untung Dini refleks mengelak. Kalau tidak, pasti sudah tergambar memar merah di lengannya.

Dini segera tersudut di pojokan kamar, tidak ada tempat untuk mengelak. Dini hanya bisa pasrah seandainya ibunya mengayun centong lagi. Dini mengalihkan pandangan ke luar jendela, langit ibu kota tidak biasanya biru bersih. Sebenarnya Dini menghindari tatapan ibunya yang tajam menusuk.

"Dini, kau pergi cuci baju sana. Tidak ada makan siang hari ini. Tidak tuntas, tidak ada makan malam," ibu Dini meninggalkan kamar, mengambil sapu, kain pel, dan kain lap. Rumah harus dibersihkan.

Dini selalu merasa heran melihat gunungan baju kotor dekat mesin cuci. Baju miliknya ditambah ayahnya tidak sampai setengah baju ibunya. Masih untung Dini bisa menggunakan mesin cuci. Bagaimanapun, itu tetap pekerjaan melelahkan bagi seorang anak kelas 6 SD.

Kota Lingkaran Hening.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang