22. Lampu Gudang Sudah Menyala.

51 2 0
                                    

Grep! Grep!

Dini menangkap kedua koin seribu Rupiah miliknya yang masih melayang di udara.

"Aku baru mulai," Dini tidak hirau akan dua temannya yang terkapar bergelimpangan, pun barang bukti yang tergeletak di jalan beraspal. "Segitu doang?"

"Kau bukan lawan seimbang denganku, bocah," Sergam berlari maju dengan tangan kosong. "Habislah,"

Dini mengelak ke samping, terjangan Sergam mengenai udara kosong. Mendapat kesempatan, Dini menimpuk kepala koboi jadi-jadian itu dengan koin seribu Rupiah.

Bletak!

"Aih?" Dini heran bukan main.

Manusia seberat lebih dari satu kuintal itu, jangankan pingsan, tanda-tanda kesakitan pun tidak ada.

Ilmu kebal Sergam telah aktif.

Celakanya, sekarang Dini membawa buku tulis Chaira. Menang atau kalah, bukti kunci itu jadi taruhannya.

Giliran Sergam yang bilang 'segitu doang'.

Segitu doang tanpa perhitungan matang, bahwa ia membelakangi Dini Safitri.

Sekali lagi, Dini menimpuk kepala koboi jadi-jadian itu dengan koin seribu Rupiah, kali ini dari belakang. Sergam tidak sempat mengaktifkan ilmu kebalnya, jatuh pingsan dengan dagu menghantan aspal.

Tanpa rasa takut, Dini melangkahi jasad anggota Serikat Jaringan yang pingsan setengah sadar itu, memungut dua koin seribu Rupiah yang tadi dia lemparkan, mengambil belati Sergam dengan bantuan buku tulis Chaira supaya sidik jarinya tidak tercetak pada barang bukti itu.

Tanpa sepengetahuan Dini, Sergam tidak sepenuhnya pingsan. Koboi jadi-jadian itu sempat menyaksikan apa yang dilakukan target sasarannya.

Dan itu bisa jadi masalah besar.

Dini menyusul Saiful dan Sifa menuju gang sempit di antara SD Harapan 3 dan SMP Harapan 5. Dini tidak menyangka, dua temannya itu masih menunggu.

"Kalau tadi ada yang bertanya," Dini berujar. "Aku baik-baik saja. Ayo pulang,"

"Apa yang terjadi barusan?" Saiful perlu tahu. "Tadi aku dengar denting logam dan gedebuk badan jatuh,"

"Koin seribuku jatuh," jawab Dini.

Tidak bohong, kan?

"Lalu siapa yang jatuh?" tanya Sifa.

"Mungkin Doko atau Aryo," Dini pura-puranya tidak tahu.

Masih tidak bohong, kan?

"Terus, bahaya apa yang tadi kau sebutkan, Dini Safitri?" Saiful masih penasaran.

"Entah," Dini angkat bahu. "Seperti tadi kau lari karena perasaan, aku pun bilang ada bahaya karena perasaan. Itu saja,"

"Tidak masuk akal," Sifa garuk kepala.

"Aku balik duluan ya," Dini belok ke jalan belakang. "Daah!"

Saiful dan Sifa baru sadar.

Tiidak biasanya.

Sejak kapan Dini pulang sekolah lewat jalan belakang? Biasanya dia lewat jalan raya Distrik Tambora.

Alif Saputra.

"Tidak banyak orang tahu," katanya. "Sejak peristiwa JKA, aku mengikuti siaran berita dari Tasikmalaya. Apa yang rencanamu di pabrik bata keluargaku, Kaharu pewaris Keluarga Komaru?"

"Anak pandai!" panggil Bu Nin. "Mari sini. Bisa minta waktu sebentar?"

"Ada apa ni?" Alif mendapati kunci pas dan obeng berserakan di teras rumah Bu Nin.

Kota Lingkaran Hening.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang