40. Makan Siang Dulu Pak.

49 1 0
                                    

Dari jejak bannya, kentara kendaraan yang sulit dipercaya STNK nya masih hidup itu bergeser satu inci.

"Seseorang belum lama beli sesuatu di toko material," katanya.

Menyelidiki lebih jauh, Sidak menyapu pandang barang-barang di toko material.

Gulungan amplas tipe 300 bergeser sedikit, kusen jendela berkurang satu. Sidak cukup teliti untuk mencirikan hal itu.

Sidak juga masih ingat hari ketika mobil losbak itu terakhir kali mengangkut muatan berlebih. Siapa penumpangnya, salah seorang wali murid SD Harapan 3 yang seangkatan dengannya dan seorang anak perempuan yang cukup dia kenal sebagai seorang pemulung. Wajah tidak terlalu kenal, tapi lengkung tongkat pengait dan warna karungnya Sidak hafal, itu identitas mutlak para pemulung.

"Begitu, ya?" Sidak bertanya tidak pada siapapun sambil mengangkat jemuran. "Jangan kira aku tidak ingat, aku ada di sana, di depan layar televisi waktu berita itu disiarkan, detektif,"

Sebelumnya, Sidak pernah bertemu detektif SMA hilang ingatan itu dalam penyelidikan kasus korupsi internal. Tapi bukan Husin Sodiki yang membuat pengepul rongsokan itu tidak habis pikir.

Melainkan Dini Safitri.

Hampir sebulan lewat kasus pembunuhan di JKA ditutup tanpa kabar yang jelas siapa pelakunya, tapi identitas pemulung yang diduga Sidak milik korban kasus itu muncul lagi ke permukaan. Dalam wujud teman satu angkatannya sendiri, anak perempuan seorang tukang pos bernama Pak Heryanto.

Ya, Dini Safitri.

"Bagaimana bisa?" Selesai mengangkat jemuran, Sidak rebahan.

Sementara itu di Jalan Raya Distrik Tambora, Alif memata-matai adik kelasnya, Amat penjaga warung.

"Tidak ada yang mencurigakan," katanya seraya menahan langkah menjelang perempatan kantor polisi supaya pergerakannya tidak nampak mencolok. "Aih, begitu rupanya?"

Alif menyapu pandang, terhenti di kusen jendela rumah Bu Nin.

Kusen jendela itu sudah kembali seperti semula, tanpa retak sama sekali.

Sebelumnya, waktu pulang sekolah.

Benar perkiraan Alif, kalau Dini dan Amat sempat berbicara lewat mata mereka.

Amat kau ke selatan aku ke utara, demikian isi pesannya. Tidak biasa memang, cukup sekali ini saja.

Sekilas, Dini ambil jalan memutar supaya dikira Alif menghindari bertemu Amat. Tujuan sebenarnya, Dini mengalihkan perhatian Alif. Kenapa harus begitu, karena masalah 'jangan khianati arti namamu' itu belum sepenuhnya kelar.

Dini pergi memulung gelas plastik dengan tujuan tersendiri, memastikan keberadaan ruangan rahasia di bawah Jembatan Kali Angke yang disebut Chaira dalam buku tulisnya adalah benar.

Dini berlari tanpa suara melewati warung Amat dan RM Padang Konco Ambo, lolos dari perhatian adik kelasnya yang sedang memeriksa KWH meter dan Detektif Husin yang sibuk mengaduk rendang. Setibanya di kontrakan Bu Nin, Dini langsung menyambar karung goni dan tongkat pengait yang dulu dipakai Chaira untuk memulung gelas plastik. Bergentayangan dengan leluasa karena warga Distrik Tambora sedang pada sibuk kerja, makan, atau rebahan. Bahkan preman jalanan yang paling santuy sanskuy sekalipun.

RM Padang Konco Ambo.

"Gak makan siang, Sir D?" tanya salah satu preman jalanan pada yang paling tua di antara mereka. "Mikirin apa kah?"

"Serikat B," jawab Sir D. "Siasat mereka,"

Sir D, baca : Sir Di. Di nya persis baca Gol D Roger raja bajak laut pertama serial anime One Piece).

Kota Lingkaran Hening.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang