Sementara itu di minimarket.
"Sudah ini saja?" Noor memindai barcode kacang S*kro dan Gar*da, masing-masing tiga bungkus.
"Ya, kenapa?" Detektif Husin tanya balik. "Harganya pas Rp.30.000, kan?"
"Tidak beli merek lain?" Noor menjelaskan kalau minimarket juga jual produk olahan kacang di bawah bendera mereka sendiri.
"Saya bawanya uang pas," Detektif Husin meletakkan selembar uang Rupiah warna ungu, selembar lagi warna hijau.
"Merek kami dua bungkus Rp. 9500," Noor menawarkan promosi barang.
"Bisa disusun ulang kalau saya beli tiga merek masing-masing dua bungkus?" yang diinginkan Detektif Husin sekarang Rp.500 itu. "Nanti saya bisa beli permen Y*pi di warung Amat,"
Kali ini posisi Noor serba salah. Banyak hal tumpang tindih dalam pertimbangannya.
Jika Noor menolak permintaan Detektif Husin untuk susun ulang harga, positifnya pendapatan minimarket lebih besar dan tidak butuh uang kembali. Negatifnya, itu sama saja dengan menentang keinginan pembeli, mengurangi kepercayaan pasar, sekaligus menunjukkan sifat tidak konsisten terhadap aturan barang yang dibeli tidak dapat dikembalikan. Itu juga mengurangi peluang promosi bendera minimarket, meskipun jika Noor setuju akan berdampak pada keuntungan dan stok uang receh.
Di tengah tekanan yang sangat besar dari kedua sisi itu, kalimat terakhir Detektif Husin membangunkan ingatan masa lalu Noor yang sudah lama terpendam.
Ketika Noor masih SMA.
Petang menjelang di pertigaan Bukit Cikutra dengan jalan raya distrik, Kota Bandung penjuru utara.
Noor turun dari angkot Kalapa-Caheum yang tadi melewati TMP Cikutra. Di pangkalan ojek seberang jalan, berdiri seorang anak SMA berambut lurus klimis yang punya tempat tersendiri di hati Noor, Tio namanya.
"Bagaimana kabar keluarga?" Tio bertanya.
"Baik," jawab Noor. "Kamu?"
"Ya, sama," Tio menjawab sambil menerawang langit yang mulai gelap.
Terbaca jelas oleh Noor kilasan di mata Tio saat itu.
Ragu.
Tadi siang sepulang kegiatan eskul (ekstra kurikuler), Tio berpesan pada Noor.
"Petang menjelang nanti, temui aku di simpang Bukit Cikutra. Ada sesuatu yang mau aku sampaikan,"
Masa ketika keterbatasan teknologi tidak menjadi penghalang untuk datang tepat waktu atau merumuskan rencana yang akhirnya tinggal wacana forever.
"Kamu mau sampaikan apa, Tio?" Noor bertanya. "Aku penasaran nih,"
Tidak menjawab, Tio memesan dua motor ojek. Tawar menawar berjalan rapi.
"Rp.10.000 dua motor?" Tio merasa itu terlalu mahal, untuk masa ketika bensin bersubsidi masih tersedia di banyak SPBU dengan harga per liter di bawah Rp.5000. "Bisa kah kalau bayarnya Rp.9000 tapi saya bawa motornya?"
Maksud Tio, kedua tukang ojek itu naik di motor yang sama.
"Rp.1000 nya mau buat apa?" tukang ojek tidak mau rugi.
"Nanti saya bisa beli permen N*no-n*no sama permen Y*pi," begitu jawaban Tio.
Jawaban yang membuat Noor di masa kini terjerat mundur ke masa lalu.
Entah dari mana di masa itu, Tio mengerti. N*no-n*no adalah permen yang Noor sukai. Secara tersirat, waktu itu Tio mengatakan, kalau permen kesukaannya adalah Y*pi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kota Lingkaran Hening.
FantasiKota. Tempat orang-orang senasib bersatu. Lingkaran. Peristiwa yang terulang kembali. Hening. Mengenang mereka yang telah pergi. Kota Lingkaran Hening. Rantau para penyaksi.